Sawang Sinawang Berkah Puasa
Puasa, konon, adalah medium berempati terhadap kondisi orang-orang susah. Yakni mereka yang tidak (kurang) beruntung, tidak setiap hari bisa makan enak, dan (sangat) jarang beli baju bagus. Ramadan menjadi bulan yang tepat untuk muhasabah (introspeksi diri) demi mengukur kualitas keberagamaan orang-orang yang kaya dan berkecukupan.
Puasa menjadi cambuk bagi orang-orang yang 30 hari dalam hidupnya, mereka berharap merasakan derita kaum papa. Merasakan lapar dan dahaga adalah manifestasi empati. Toh, masih ada 335 hari miliknya yang bergelimang kecukupan, bahkan keberlebihan. Kata para agamawan, Tuhan bersama kaum papa. Dengan merasakan derita kaum papa, orang kaya berharap menemukan Tuhan.
Ini adalah pandangan top down, dari atas ke bawah. Dalam pandangan kelas masyarakat a la Marxisme, kira-kira, kaum borjuis ini akan merasakan penderitaan kaum proletar. Yang selama ini dihisap tenaga, dieksploitasi seluruh potensinya. Kaum borjuis yang kaya dan punya modal, bisa menetapkan nilai lebih atas produksi yang dikerjakan kaum proletar. Sementara kelompok proletar hanya punya bahu (modal tenaga).
Di Indonesia, tidak jelas mana borjuis mana proletar. Aktor borjuis bisa multinasional, atau transnasional, yang punya kuasa modal (investasi) di Indonesia. Orang kaya dan miskin di sini bisa jadi merupakan sama-sama korban. Tapi tetap saja ada acara reality show yang menjadikan tukar peran (orang kaya menjadi miskin) sebagai narasi.
Orang kaya, kelas menengah, dan ekonomi pas-pasan itu sering sama-sama "kake'ane". Agama mengajarkan bahwa kaya dan miskin itu ujian. Tapi ada saja umat yang usil berdoa: jika kaya dan miskin sama-sama ujian, dia memilih diuji menjadi kaya saja. Minimal, kenikmatan duniawi bisa dirasakan. Daripada diuji dengan kemiskinan, sengsara dunia akhirat, ini tentu hidup yang tidak menarik.
Mereka, yang menjadi korban pemiskinan struktural ini, atau merasa kesusahan hidup adalah takdir, punya logika sendiri untuk menikmati hidup. Logika ini sebetulnya adalah bentuk “balas dendam” yang terselubung, atas kenyataan hidup yang tak berpihak kepada mereka. Gampangnya, mereka ini 11 bulan kalah, dan ingin sebulan saja menjadi pemenang. Meski cuma kemenangan semu yang dia kejar. Setidaknya, mereka bisa “balas dendam”.
Hidup memang sering tampak sederhana. Orang kaya melihat ke orang miskin, orang miskin melihat ke orang kaya. Sambil membayangkan jika nasib mereka berubah menjadi sebaliknya. Orang kaya menjadi orang miskin itu mudah, bahkan bisa dijual menjadi program televisi. Orang miskin menjadi orang kaya, hadir dalam kisah-kisah heroik dalam balutan motivasi.
Tapi hidup, dalam pola pertentangan kelas ini tidak lantas menghadirkan kisah yang melankolik: laki-laki kaya dan ganteng, jatuh cinta pada gadis cantik, tapi miskin. Kekayaan dan kemiskinan rupanya kadang tidak saling menopang. Kelas menengah kita hari ini dijejali masyarakat yang “me me me”, narsistis-apatis. Mereka gampang berteriak lantang saat kepentingan mereka (dalam arti kenyamanan) direcoki pemerintah atau pihak lain. Namun apatis ketika nasib saudara mereka yang miskin dikoyak-koyak.
Beruntunglah ada bulan Ramadan yang sering ditahbiskan sebagai bulan penuh berkah. Orang kaya memandang berkah ketika dengan puasa, dia bisa merasakan derita kaum papa. Orang miskin memandang berkah dengan kenikmatan yang jarang dia rasakan. Orang miskin merasa, bulan puasa adalah legimitasi paling sah untuk mereguk sedikit kenikmatan dunia (makanan enak dan pakaian bagus).
Berkah, dalam terminologi Arab sering dimaknai dengan ziyadatul khair wa al sa’adah (bertambahnya kebaikan dan keberuntungan). Sebuah definisi yang sangat abstrak dan bebas dimaknai sesuai posisi dan tujuannya. Dan katanya, Idul Fitri atau Lebaran adalah hari kemenangan, tak bolehkah orang miskin merasa menang dalam pertarungan kehidupan dunia? Meneguk lezatnya anasir-anasir material yang hiruk pikuk meramaikan dunia.
Nah, orang-orang susah yang tiap harinya tidak makan enak, tidak beli baju baru, di bulan puasa mereka ingin makan enak saat berbuka dan sahur. Menjelang Lebaran bisa beli baju baru, toh mereka bisa beli baju setahun sekali. Masak orang miskin tak boleh bahagia dengan hidupnya, batinnya. Ini adalah pandangan bottom up, dari bawah ke atas. Orang-orang miskin juga merasa berhak menikmati hidup, yang akhir-akhir ini paramternya adalah keterpenuhan materi, ketika kelas ekonomi ditentukan dari pendapatan dan pengeluaran bulanan.
Urip mung sawang sinawang, kata bijak orang Jawa. Segala yang tampak beda dengan hakikatnya. Ada orang yang secara kasat mata kaya, rumah mewah, mobil bagus, tapi hutang banyak. Bahkan keluarga tidak bahagia. Sebaliknya, ada orang miskin yang tak punya hutang, rumah sangat sederhana, tapi tak punya masalah keluarga. Kadang mereka disebut sebagai keluarga bahagia.
Meski cuma 30 hari dari 365 hari, segala daya diupayakan untuk merasakan 30 hari yang membahagiakan itu. Atau mungkin kebahagaiaan bisa dikurangi lagi, hanya seminggu saja saat libur Lebaran. Hidup dan bekerja di kota yang semakin kompetitif, tak mengenal waktu. Di bulan puasa, kerja justru dikejar target. Untuk mengganti yang ditinggalkan selama libur hari raya.
Para perantau merasa wajib untuk pulang kampung (mudik), menjalani kesemrawutan transportasi saat mudik, demi meraup nuansa spiritualitas sangkan paraning dumadi. Tak peduli tiket mahal, harga barang melambung tinggi, itu tidak ada apa-apanya dengan keindahan berkumpul bersama keluarga.
Bahkan ketika sebelum puasa harga BBM naik, dan lantas diikuti kenaikan harga kebutuhan pokok, masyarakat tak berdaya. Perlahan namun pasti, melambungnya harga-harga akan dimaklumi. Sikap mudah memaklumi itu yang membuat masyarakat tidak merasa bersalah dan ora eman-eman mengeluarkan uang untuk memenuhi kebutuhan. Padahal, atas dasar apa suatu barang menjadi kebutuhan pokok?
Di situlah, kenapa, yang dicaci sebagai kapitalisme, konsumerisme, tetap mendapatkan umat. Mungkin kapitalisme dan konsumerisme kehilangan orang kaya selama 30 hari, tapi mereka tetap dapat gantinya, yakni kaum menengah, orang yang hidupnya pas-pasan, siap menjadi umatnya, meski cuma umat yang usianya 30 hari. Semua manusia, sama-sama “sah” menikmati kelezatan “genderuwo” kapitalisme itu.
Tapi ada orang yang 365 hari dalam hidupnya susah terus, selalu gagal menikmati hidup dengan materi. Nah, puasa, dengan zakat fitrahnya, dengan iming-iming pahala filantropi-nya, mesti menemukan orang-orang seperti ini. Orang-orang yang mustahil menjadi umat kapitalisme dan “sundel bolong” konsumerisme.
Pernah dimuat di Sang Pamomong, Suara Merdeka Edisi Minggu
Komentar