coretan mengenang Michael Jackson
Bahagia Itu dari Hati
Oleh Junaidi Abdul Munif
Kamis, 25 Juni kemarin dunia musik berduka. Salah satu putra terbaiknya (kayak pahlawan aja, hehe) telah ninggalin kita untuk selama-lamanya. The King of Pop, Michael Jackson meninggal dunia karena gagal jantung.
Dunia pun terhenyak (walah!), apalagi dia akan menggelar konser “terakhir” di London bulan Juli. Belum kesampean niat itu, ajal telah lebih dulu menjemputnya. Rekaman saat ia pidato tentang konser itu dianggap sebagai firasat kalau ia akan mati.
Kematiannya pun terselubungi misteri yang belum terkuak. Kematian yang mendadak dan misterius ngingetin kita sama bintang-bintang Hollywood yang mati saat mereka tengah berada di puncak popularitas. Jim Morrison, Marlyn Monroe, Jimi Hendrix, John Lennon, Elvis Presley dan Kurt Cobain adalah sederet nama musisi dan artis yang mati mendadak dan penyebabnya masih misterius.
Setelah Jacko meninggal dalam usia 50 tahun, kita disuguhin episode kilas balik kisah hidupnya yang mengharu biru (puitis ya). Mirip dongeng klasik yang sad ending, anak miskin lalu berada di puncak popularitas, redup lagi, ketika ia ingin membangun popularitasnya kembali, ia keburu mati.
Ucapan simpati dan belasungkawa berdatangan dari penggemarnya di seluruh dunia. Karena banyak orang terinspirasi dengan lagu-lagunya dan gaya pakaiannya. Televisi, Koran, dan majalah semua mengekspos kisah hidupnya. Yang penting buat dicatet di sini, Jacko ternyata seorang manusia biasa.
Kesuksesan luar biasa dalam musik, menghasilkan rekor penjualan album terbanyak sepanjang masa, meraih grammy adalah sederet prestasi yang sulit dicari bandingannya.
Kita sepakat itu dan harus iri. Tapi seperti sinetron kita (di Amerika ada nggak ya?), kehidupan pribadinya nggak semulus dan sebagus karya-karyanya musiknya. Gagal membina rumah tangga, dicemooh karena dituduh mengganti “ras” dari kulit hitam menjadi kulit putih, kecanduan obat penenang, dan pelecehan seksual terhadap anak-anak adalah banyak kontrovesi yang mengiringi hidupnya.
Jacko, seperti diceritakan dalam sebuah acara wawancara stasiun tv Inggris, mengalami masa kecil yang suram dan menyedihkan. Ayahnya sering mukul ketika ia berbuat salah.
Ketika pada akhirnya bersama saudara-suadaranya membentuk The Jackson Five dan terkenal, kisah hidupnya berubah. Ia mendadak jadi jutawan. Terkenal tapi sekaligus kehilangan masa kanak-kanak dan remajanya.
Album-albumnya sukses di pasaran. Ia dianggap telah menyatukan musisi kulit putih dan kulit hitam. Lagunya, We Are the World, menjadi inspirasi untuk membantu penduduk di Afrika yang tertimpa bencana kelaparan dan perang.
Dari Hati
Dengan uang yang ia punya, ia ciptakan istana Neverland untuk melunasi impian masa kecilnya yang nggak ia dapatkan. Tapi ia nggak bahagia. Dan masih saja berbuat aneh-aneh.
Menyimak perjalanan hidupnya, kita semakin yakin, bahwa kehidupan dan kebahagiaan orang, apalagi bintang ternyata hanyalah sawang-sinawang, keliatan permukaannya aja.
Nah, kita emang gampang mencemooh anak yang kaya, semua keinginannya terpenuhi, tapi masih aja berbuat aneh-aneh. Mengonsumsi narkoba, balapan liar, sok menangan dan lain-lainnya. Kurang apa mereka? Kenapa nggak duduk manis aja di rumah nikmatin fasilitas yang ada?
Kata-kata bijak bilang gini: kebahagiaan seseorang adalah memiliki apa yang ia tidak punya. Orang yang nggak punya pacar, kebahagiaannya adalah punya pacar. Nggak punya motor atau mobil adalah ketika ia punya kendaraan. Nggak punya uang adalah ketika ia punya uang.
Lantas kalau semua materi sudah ia punya, tapi belum merasa bahagia, apa yang salah? Bahkan kalau bisa memiliki seluruh isi dunia, ia belum bahagia? Apa yang kurang?
Kita kembali sadar, kebahagiaan ternyata nggak bisa dibeli dengan uang atau materi sebanyak apapun. Nggak bisa muncul dari istana impian yang spektakuler. Betapa kebahagiaan itu ternyata adalah urusan hati. Mensyukuri apa yang kita punya dengan hati. Sepakat?
Suara Merdeka, 12 Juli 2009, halaman Remaja
Oleh Junaidi Abdul Munif
Kamis, 25 Juni kemarin dunia musik berduka. Salah satu putra terbaiknya (kayak pahlawan aja, hehe) telah ninggalin kita untuk selama-lamanya. The King of Pop, Michael Jackson meninggal dunia karena gagal jantung.
Dunia pun terhenyak (walah!), apalagi dia akan menggelar konser “terakhir” di London bulan Juli. Belum kesampean niat itu, ajal telah lebih dulu menjemputnya. Rekaman saat ia pidato tentang konser itu dianggap sebagai firasat kalau ia akan mati.
Kematiannya pun terselubungi misteri yang belum terkuak. Kematian yang mendadak dan misterius ngingetin kita sama bintang-bintang Hollywood yang mati saat mereka tengah berada di puncak popularitas. Jim Morrison, Marlyn Monroe, Jimi Hendrix, John Lennon, Elvis Presley dan Kurt Cobain adalah sederet nama musisi dan artis yang mati mendadak dan penyebabnya masih misterius.
Setelah Jacko meninggal dalam usia 50 tahun, kita disuguhin episode kilas balik kisah hidupnya yang mengharu biru (puitis ya). Mirip dongeng klasik yang sad ending, anak miskin lalu berada di puncak popularitas, redup lagi, ketika ia ingin membangun popularitasnya kembali, ia keburu mati.
Ucapan simpati dan belasungkawa berdatangan dari penggemarnya di seluruh dunia. Karena banyak orang terinspirasi dengan lagu-lagunya dan gaya pakaiannya. Televisi, Koran, dan majalah semua mengekspos kisah hidupnya. Yang penting buat dicatet di sini, Jacko ternyata seorang manusia biasa.
Kesuksesan luar biasa dalam musik, menghasilkan rekor penjualan album terbanyak sepanjang masa, meraih grammy adalah sederet prestasi yang sulit dicari bandingannya.
Kita sepakat itu dan harus iri. Tapi seperti sinetron kita (di Amerika ada nggak ya?), kehidupan pribadinya nggak semulus dan sebagus karya-karyanya musiknya. Gagal membina rumah tangga, dicemooh karena dituduh mengganti “ras” dari kulit hitam menjadi kulit putih, kecanduan obat penenang, dan pelecehan seksual terhadap anak-anak adalah banyak kontrovesi yang mengiringi hidupnya.
Jacko, seperti diceritakan dalam sebuah acara wawancara stasiun tv Inggris, mengalami masa kecil yang suram dan menyedihkan. Ayahnya sering mukul ketika ia berbuat salah.
Ketika pada akhirnya bersama saudara-suadaranya membentuk The Jackson Five dan terkenal, kisah hidupnya berubah. Ia mendadak jadi jutawan. Terkenal tapi sekaligus kehilangan masa kanak-kanak dan remajanya.
Album-albumnya sukses di pasaran. Ia dianggap telah menyatukan musisi kulit putih dan kulit hitam. Lagunya, We Are the World, menjadi inspirasi untuk membantu penduduk di Afrika yang tertimpa bencana kelaparan dan perang.
Dari Hati
Dengan uang yang ia punya, ia ciptakan istana Neverland untuk melunasi impian masa kecilnya yang nggak ia dapatkan. Tapi ia nggak bahagia. Dan masih saja berbuat aneh-aneh.
Menyimak perjalanan hidupnya, kita semakin yakin, bahwa kehidupan dan kebahagiaan orang, apalagi bintang ternyata hanyalah sawang-sinawang, keliatan permukaannya aja.
Nah, kita emang gampang mencemooh anak yang kaya, semua keinginannya terpenuhi, tapi masih aja berbuat aneh-aneh. Mengonsumsi narkoba, balapan liar, sok menangan dan lain-lainnya. Kurang apa mereka? Kenapa nggak duduk manis aja di rumah nikmatin fasilitas yang ada?
Kata-kata bijak bilang gini: kebahagiaan seseorang adalah memiliki apa yang ia tidak punya. Orang yang nggak punya pacar, kebahagiaannya adalah punya pacar. Nggak punya motor atau mobil adalah ketika ia punya kendaraan. Nggak punya uang adalah ketika ia punya uang.
Lantas kalau semua materi sudah ia punya, tapi belum merasa bahagia, apa yang salah? Bahkan kalau bisa memiliki seluruh isi dunia, ia belum bahagia? Apa yang kurang?
Kita kembali sadar, kebahagiaan ternyata nggak bisa dibeli dengan uang atau materi sebanyak apapun. Nggak bisa muncul dari istana impian yang spektakuler. Betapa kebahagiaan itu ternyata adalah urusan hati. Mensyukuri apa yang kita punya dengan hati. Sepakat?
Suara Merdeka, 12 Juli 2009, halaman Remaja
Komentar