coretan iseng tentang masa kecil
Hilangnya Kultur Pekarangan Kita
Oleh Junaidi Abdul Munif
Teringat masa kecil saya di awal 1990-an. Rumah saya di desa. Dengan pekarangan yang cukup luas. Di sekitar rumah saya ada berbagai buah-buahan (jeruk, jambu air, jambu bangkok, jambu kluthuk, sirkaya, sirsak, kedondong, belimbing, dan mangga). Saya juga sering bersama nenek ”memanen” telo rambat (ubi jalar), wirut (garut), wi (semacam gadung) yang banyak tumbuh di pekarangan. Nenek saya juga menanam daun sirih di belakang rumah. Jika akan membuat sayur, tinggal memetik terong atau ramban daun telo rambat untuk sayur bening.
Bahkan, terdorong pelajaran di SD tentang apotek hidup yang ada di sekitar rumah, saya bersama teman-teman sebaya sering mencoba menanam cabe, bawang merah, bawang putih, kunci, laos, kunir, jahe dan macam-macam. Meski akhirnya tak bisa tumbuh dengan baik. Saya juga belajar mencangkok, okulasi, karena mendapatkan pelajaran itu di sekolah.
Saya juga ingat, jika ada orang yang meninggal, sering ibu-ibu tetangga mencari berbagai ramuan untuk bobok yang diberikan kepada bayinya karena takut sawanen (trauma) pada orang yang meninggal. Tanaman-tanaman itu telah sirna dari pekarangan rumah saya. Kini berganti dengan pisang dan mangga yang lebih bernilai ekonomis, di samping juga mudah perawatannya.
Sekarang, saya sulit menjumpai pekarangan-pekarangan di sekitar rumah warga. Beberapa halaman rumah warga telah berdiri rumah baru. Ketika harga pangan dan kebutuhan sayuran yang semakin mahal, elok kiranya menilik kembali pekarangan sebagai sebuah strategi untuk ”berswasembada” pangan.
Andreas Maryoto dalam bukunya Jejak Pangan: Sejarah, Silang Budaya, dan Masa Depan (2009) menyebutkan bahwa pekarangan telah hilang dari sekitar rumah-rumah warga. Digantikan jalan atau berhimpitan dengan rumah-rumah warga yang lain. Lahan semakin sempit.
Padahal dulu pekarangan juga menjadi sentra ketahanan pangan, dengan dibuatnya lumbung padi sebagai tempat menyimpan persediaan makanan. Lenyapnya pekarangan juga menjadi tanda awal hilangnya budaya menyimpan persediaan pangan. Di desa-desa sekarang, padi tidak lagi hanya dikonsumsi sendiri. Tapi beralih fungsi menjadi ”penyangga ekonomi”. Hasil panen lebih banyak dijual untuk menutupi kebutuhan hidup lainnya: sekolah, kredit kendaraan, dan lain-lain.
Urbanisasi
Kuntowijoyo dalam karyanya Selamat Tinggal Mitos, Selamat Tinggal Realitas (2002) menyebut faktor desakralisasi tanah sebagai variabel mengapa kultur pekarangan mulai hilang. Orang Jawa dulu menganggap bahwa tanah adalah barang yang sakral, tak boleh dijual dan diwariskan secara turun temurun. Namun, pada akhirnya sakralitas tanah harus tunduk pada kuasa ekonomi: uang dan pasar.
Hilangnya kultur pekarangan bisa dilihat dari dua faktor. Pertama, adalah apatisme warga terhadap ligkungannya. Persoalan warga lebih kompleks. Dan pekerjaan tidak lagi semata-mata bergantung dengan tanah (agraris). Generasi masyarakat hari ini adalah generasi yang menjadi bagian ekonomi ”kapitalisme” dunia.
Para wanita banyak yang bekerja di sektor garmen (konveksi), sedangkan yang laki-laki bekerja di sektor swasta. Mobilitas yang tinggi, waktu yang banyak tersita, akhirnya membuat mereka merasa tak perlu lagi ”menghidupkan” pekarangan. Daripada membuat apotek hidup di pekarangan sendiri, lebih praktis membeli jamu yang telah banyak dijual di kampung-kampung. Dengan sistem pemberian gaji mingguan atau bulanan, semakin membuat mereka ”beralih fungsi” dari ekonomi agraris ke ekonomi bisnis.
Membersihkan rumput liar di pekarangan pun mungkin hanya dilakukan seminggu sekali atau hanya saat datang mood-nya. Itu pun kalau pada hari minggu tak diisi dengan acara liburan keluarga atau yang lainnya. Semakin lengkaplah apatisme warga terhadap tanah pekarangannya.
Kedua, urbanisasi warga desa ke kota telah menghilangkan pula kultur pekarangan ini. Urbanisasi ini tidak hanya bermakna perpindahan fisik dari desa ke kota, tapi juga psikologis-kultur-nilai. Bisa jadi, fisik mereka masih tinggal di desa, tapi pikiran, gaya hidup seperti orang kota saja.
Pola hidup warga kota yang praktis-pragmatis tampak misalnya pada hilangnya kultur merebus air. Sekarang mulai banyak warga desa yang lebih memilih membeli air minum dalam galon. Mereka juga enggan memasak sarapan pagi, lebih memilih membeli sarapan yang juga mulai banyak dijual di desa-desa.
Di tengah sulit dan mahalnya mendapatkan bahan pangan, mengembalikan fungsi pekarangan sebagai sentra ketahanan pangan keluarga adalah alternatif yang bisa dipilih. Sayuran dari hasil pekarangan tentu lebih terjamin kesehatannya karena kita sendiri yang merawat dan tahu bagaimana kondisinya, pupuk apa saja yang telah kita taburkan.
Sekolah Alam
Di samping itu, pekarangan bisa menjadi estetika rumah yang bisa digunakan sebagai ruang publik dan tempat bermain anak-anak. Pekarangan bisa difungsikan menjadi taman yang ditanami bermacam bunga. Keuntungan yang didapat adalah pekarangan sekaligus sebagai ”sekolah alam” bagi anak-anak. Imbas yang saya rasakan ketika pekarangan ini mului hilang adalah hilang pula serangga yang dulu sering tampak di sela-sela tanaman di pekarangan.
Ketika di kampung saya pekarangan masih banyak, saya sering bermain menangkap kupu-kupu, capung, dan mencari ulat hijau. Sekarang, sangat sulit kita temui lebah, capung dan ulat hijau seiring hilangnya pekarangan. Bukankah model sekolah alam, wisata alam, out bond ke persawahan juga muncul karena tak dekatnya anak-anak sekarang dengan alam?
Sedikit meluangkan waktu untuk menghidupkan pekarangan, adalah jalan untuk mengenalkan anak-anak, generasi setelah kita dengan alam yang merupakan ekosistem penyeimbang kehidupan.
Oleh Junaidi Abdul Munif
Teringat masa kecil saya di awal 1990-an. Rumah saya di desa. Dengan pekarangan yang cukup luas. Di sekitar rumah saya ada berbagai buah-buahan (jeruk, jambu air, jambu bangkok, jambu kluthuk, sirkaya, sirsak, kedondong, belimbing, dan mangga). Saya juga sering bersama nenek ”memanen” telo rambat (ubi jalar), wirut (garut), wi (semacam gadung) yang banyak tumbuh di pekarangan. Nenek saya juga menanam daun sirih di belakang rumah. Jika akan membuat sayur, tinggal memetik terong atau ramban daun telo rambat untuk sayur bening.
Bahkan, terdorong pelajaran di SD tentang apotek hidup yang ada di sekitar rumah, saya bersama teman-teman sebaya sering mencoba menanam cabe, bawang merah, bawang putih, kunci, laos, kunir, jahe dan macam-macam. Meski akhirnya tak bisa tumbuh dengan baik. Saya juga belajar mencangkok, okulasi, karena mendapatkan pelajaran itu di sekolah.
Saya juga ingat, jika ada orang yang meninggal, sering ibu-ibu tetangga mencari berbagai ramuan untuk bobok yang diberikan kepada bayinya karena takut sawanen (trauma) pada orang yang meninggal. Tanaman-tanaman itu telah sirna dari pekarangan rumah saya. Kini berganti dengan pisang dan mangga yang lebih bernilai ekonomis, di samping juga mudah perawatannya.
Sekarang, saya sulit menjumpai pekarangan-pekarangan di sekitar rumah warga. Beberapa halaman rumah warga telah berdiri rumah baru. Ketika harga pangan dan kebutuhan sayuran yang semakin mahal, elok kiranya menilik kembali pekarangan sebagai sebuah strategi untuk ”berswasembada” pangan.
Andreas Maryoto dalam bukunya Jejak Pangan: Sejarah, Silang Budaya, dan Masa Depan (2009) menyebutkan bahwa pekarangan telah hilang dari sekitar rumah-rumah warga. Digantikan jalan atau berhimpitan dengan rumah-rumah warga yang lain. Lahan semakin sempit.
Padahal dulu pekarangan juga menjadi sentra ketahanan pangan, dengan dibuatnya lumbung padi sebagai tempat menyimpan persediaan makanan. Lenyapnya pekarangan juga menjadi tanda awal hilangnya budaya menyimpan persediaan pangan. Di desa-desa sekarang, padi tidak lagi hanya dikonsumsi sendiri. Tapi beralih fungsi menjadi ”penyangga ekonomi”. Hasil panen lebih banyak dijual untuk menutupi kebutuhan hidup lainnya: sekolah, kredit kendaraan, dan lain-lain.
Urbanisasi
Kuntowijoyo dalam karyanya Selamat Tinggal Mitos, Selamat Tinggal Realitas (2002) menyebut faktor desakralisasi tanah sebagai variabel mengapa kultur pekarangan mulai hilang. Orang Jawa dulu menganggap bahwa tanah adalah barang yang sakral, tak boleh dijual dan diwariskan secara turun temurun. Namun, pada akhirnya sakralitas tanah harus tunduk pada kuasa ekonomi: uang dan pasar.
Hilangnya kultur pekarangan bisa dilihat dari dua faktor. Pertama, adalah apatisme warga terhadap ligkungannya. Persoalan warga lebih kompleks. Dan pekerjaan tidak lagi semata-mata bergantung dengan tanah (agraris). Generasi masyarakat hari ini adalah generasi yang menjadi bagian ekonomi ”kapitalisme” dunia.
Para wanita banyak yang bekerja di sektor garmen (konveksi), sedangkan yang laki-laki bekerja di sektor swasta. Mobilitas yang tinggi, waktu yang banyak tersita, akhirnya membuat mereka merasa tak perlu lagi ”menghidupkan” pekarangan. Daripada membuat apotek hidup di pekarangan sendiri, lebih praktis membeli jamu yang telah banyak dijual di kampung-kampung. Dengan sistem pemberian gaji mingguan atau bulanan, semakin membuat mereka ”beralih fungsi” dari ekonomi agraris ke ekonomi bisnis.
Membersihkan rumput liar di pekarangan pun mungkin hanya dilakukan seminggu sekali atau hanya saat datang mood-nya. Itu pun kalau pada hari minggu tak diisi dengan acara liburan keluarga atau yang lainnya. Semakin lengkaplah apatisme warga terhadap tanah pekarangannya.
Kedua, urbanisasi warga desa ke kota telah menghilangkan pula kultur pekarangan ini. Urbanisasi ini tidak hanya bermakna perpindahan fisik dari desa ke kota, tapi juga psikologis-kultur-nilai. Bisa jadi, fisik mereka masih tinggal di desa, tapi pikiran, gaya hidup seperti orang kota saja.
Pola hidup warga kota yang praktis-pragmatis tampak misalnya pada hilangnya kultur merebus air. Sekarang mulai banyak warga desa yang lebih memilih membeli air minum dalam galon. Mereka juga enggan memasak sarapan pagi, lebih memilih membeli sarapan yang juga mulai banyak dijual di desa-desa.
Di tengah sulit dan mahalnya mendapatkan bahan pangan, mengembalikan fungsi pekarangan sebagai sentra ketahanan pangan keluarga adalah alternatif yang bisa dipilih. Sayuran dari hasil pekarangan tentu lebih terjamin kesehatannya karena kita sendiri yang merawat dan tahu bagaimana kondisinya, pupuk apa saja yang telah kita taburkan.
Sekolah Alam
Di samping itu, pekarangan bisa menjadi estetika rumah yang bisa digunakan sebagai ruang publik dan tempat bermain anak-anak. Pekarangan bisa difungsikan menjadi taman yang ditanami bermacam bunga. Keuntungan yang didapat adalah pekarangan sekaligus sebagai ”sekolah alam” bagi anak-anak. Imbas yang saya rasakan ketika pekarangan ini mului hilang adalah hilang pula serangga yang dulu sering tampak di sela-sela tanaman di pekarangan.
Ketika di kampung saya pekarangan masih banyak, saya sering bermain menangkap kupu-kupu, capung, dan mencari ulat hijau. Sekarang, sangat sulit kita temui lebah, capung dan ulat hijau seiring hilangnya pekarangan. Bukankah model sekolah alam, wisata alam, out bond ke persawahan juga muncul karena tak dekatnya anak-anak sekarang dengan alam?
Sedikit meluangkan waktu untuk menghidupkan pekarangan, adalah jalan untuk mengenalkan anak-anak, generasi setelah kita dengan alam yang merupakan ekosistem penyeimbang kehidupan.
Komentar