Memahami "Sang Lain" Lewat Media
Perkembangan masyarakat dan kebudayaan sekarang tak bisa dilepaskan dari media. Media menjadi “agen kebudayaan” tersendiri untuk memahami fenomena masyarakat.
Cultural studies menjadi genre teoretis untuk menguak bagaimana media itu beroperasi untuk membentuk, menghegemoni, dan menciptakan opini di masyarakat. Melepaskan media dari konteks sosial, politik, ekonomi adalah pekerjaan yang tolol untuk saat ini.
Dunia yang beranjak dari modernisme ke pascamodernisme menjadikan semua disiplin ilmu dan teori berjalin kelindan seperti tidak mengenal batasan. Terjadi simultanitas (keserentakan) menempatkan media dengan beragam tujuan.
Film yang sebelumnya hanya berfungsi sebagai hiburan, kini bisa bertransformasi menjadi alat propaganda politik.
Lagu rap yang sebelumnya dikenal sebagai lagu orang kulit hitam sebenarnya adalah media pencarian identitas, eksistensialisme, dan rasa muak dari Afro-Amerika yang dianaktirikan di AS, yang mengaku sebagai negara paling demokratis dan menjunjung tinggi HAM.
Lagu-lagu Madonna adalah pemberontakan feminisme dan “jualan” busana generasi MTV. Douglas Kellner banyak mengungkap bagaimana media, terutama audio visual (televisi), menjadi corong bagi kekuasaan dan kaum minoritas untuk tampil ke publik.
Kellner mengungkap bagaimana film legendaris Rambo, First Blood (1982), yang dibintangi Sylvester Stallone merupakan propaganda Amerika untuk menyudutkan Vietnam dan Rusia.
Film ini berusaha meneguhkan ideologi Amerika yang dibenturkan dengan ideologi komunis Vietnam dan Rusia. Hal ini terjadi seusai kekalahan Amerika di Vietnam dan memanasnya perang dingin dengan Uni Soviet (Rusia).
Lewat film Rambo, Vietnam dan Rusia diasosiasikan sebagai representasi orang lain dan kejahatan. Rambo adalah simbol bagaimana heroisme individual mampu mengalahkan sistem.
Pola yang khas dipakai Hollywood untuk meneguhkan superioritas Amerika terhadap bangsa lain.
Dengan propaganda media pula Amerika memunculkan berita kepada masyarakat dunia dengan penyesatan informasi untuk mencari dukungan bahwa apa yang dilakukannya terhadap Irak saat Perang Teluk adalah benar adanya.
Media dikontrol oleh pemerintahan Bush senior demi suksesnya invasi ke Irak. Buku ini secara komprehensif mengulas bagaimana (politik) media dan disiplin cultural studies bergerak bersamaan untuk membaca dan memahami realitas serta fenomena yang berkembang di masyarakat.
Kellner mencoba menyinergikan dua pandangan kebudayaan, yakni cultural studies yang abai pada pengembangan strategi dan praktik untuk melakukan intervensi media dan produksi media alternatif serta pandangan mazhab Frankfurt yang cenderung skeptis dan menganggap media telah dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan kapitalis (halaman 454).
Kellner menutup bukunya dengan harapan bahwa media dan cultural studies akan memberikan pencerahan kepada masyarakat dengan menghadirkan perubahan ke arah iklim demokratis, kebahagiaan, kebebasan, dan nilai-nilai yang ingin kita lestarikan dan kembangkan.
Peresensi adalah Junaidi Abdul Munif, peneliti el-Wahid Center, Universitas Wahid Hasyim, Semarang
Dimuat Koran Jakarta, 13 September 2010
Cultural studies menjadi genre teoretis untuk menguak bagaimana media itu beroperasi untuk membentuk, menghegemoni, dan menciptakan opini di masyarakat. Melepaskan media dari konteks sosial, politik, ekonomi adalah pekerjaan yang tolol untuk saat ini.
Dunia yang beranjak dari modernisme ke pascamodernisme menjadikan semua disiplin ilmu dan teori berjalin kelindan seperti tidak mengenal batasan. Terjadi simultanitas (keserentakan) menempatkan media dengan beragam tujuan.
Film yang sebelumnya hanya berfungsi sebagai hiburan, kini bisa bertransformasi menjadi alat propaganda politik.
Lagu rap yang sebelumnya dikenal sebagai lagu orang kulit hitam sebenarnya adalah media pencarian identitas, eksistensialisme, dan rasa muak dari Afro-Amerika yang dianaktirikan di AS, yang mengaku sebagai negara paling demokratis dan menjunjung tinggi HAM.
Lagu-lagu Madonna adalah pemberontakan feminisme dan “jualan” busana generasi MTV. Douglas Kellner banyak mengungkap bagaimana media, terutama audio visual (televisi), menjadi corong bagi kekuasaan dan kaum minoritas untuk tampil ke publik.
Kellner mengungkap bagaimana film legendaris Rambo, First Blood (1982), yang dibintangi Sylvester Stallone merupakan propaganda Amerika untuk menyudutkan Vietnam dan Rusia.
Film ini berusaha meneguhkan ideologi Amerika yang dibenturkan dengan ideologi komunis Vietnam dan Rusia. Hal ini terjadi seusai kekalahan Amerika di Vietnam dan memanasnya perang dingin dengan Uni Soviet (Rusia).
Lewat film Rambo, Vietnam dan Rusia diasosiasikan sebagai representasi orang lain dan kejahatan. Rambo adalah simbol bagaimana heroisme individual mampu mengalahkan sistem.
Pola yang khas dipakai Hollywood untuk meneguhkan superioritas Amerika terhadap bangsa lain.
Dengan propaganda media pula Amerika memunculkan berita kepada masyarakat dunia dengan penyesatan informasi untuk mencari dukungan bahwa apa yang dilakukannya terhadap Irak saat Perang Teluk adalah benar adanya.
Media dikontrol oleh pemerintahan Bush senior demi suksesnya invasi ke Irak. Buku ini secara komprehensif mengulas bagaimana (politik) media dan disiplin cultural studies bergerak bersamaan untuk membaca dan memahami realitas serta fenomena yang berkembang di masyarakat.
Kellner mencoba menyinergikan dua pandangan kebudayaan, yakni cultural studies yang abai pada pengembangan strategi dan praktik untuk melakukan intervensi media dan produksi media alternatif serta pandangan mazhab Frankfurt yang cenderung skeptis dan menganggap media telah dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan kapitalis (halaman 454).
Kellner menutup bukunya dengan harapan bahwa media dan cultural studies akan memberikan pencerahan kepada masyarakat dengan menghadirkan perubahan ke arah iklim demokratis, kebahagiaan, kebebasan, dan nilai-nilai yang ingin kita lestarikan dan kembangkan.
Peresensi adalah Junaidi Abdul Munif, peneliti el-Wahid Center, Universitas Wahid Hasyim, Semarang
Dimuat Koran Jakarta, 13 September 2010
Komentar