Progresifitas Islam Mengikuti Zaman
Oleh Junaidi Abdul Munif

Islam sebagai agama, baik secara teologis maupun sosial-budaya memang tak pernah habis untuk dikaji. Banyak ilmuwan yang mencurahkan pemikirannya untuk mendalami Islam dari berbagai perspektif. Massifikasi kajian Islam memunculkan konsekuensi bahwa Islam akhirnya dikaji dengan berbagai disiplin ilmu, sesuatu yang mungkin tak terpikirkan oleh “founding fathers” Islam sekalipun, yakni generasi nabi dan sahabat.

Perdebatan klasik selalu mengemuka, apakah Islam mesti dikaji dengan ilmu-ilmu yang lahir dari rahim Islam, seperti nahwu, shorof, usul fiqh, tafsir, tajwid. manthiq dan sebagainya atau boleh dikaji dengan disiplin ilmu lain, yang notebene lahir dari rahim Barat, Yunani dan Kristen, yang beberapa abad lamanya menjadi “musuh” Islam? Dikotomi Islam-Barat oleh sebagian kalangan telah memunculkan stigma dan ”vonis” yang satu lebih unggul dari yang lain. Seperti apa yang dikatakan oleh Samuel P Huntington tentang The Clash of Civilization (benturan peradaban).

Sementara tuntutan untuk menghadirkan Islam yang progresif, bergerak mengikuti arus zaman semakin gencar. Gerakan ini bersinggungan dengan pola khilafah Islamiah yang menginginkan Islam berada dalam satu ikatan, baik politis maupun teologis-fiqh. Isu syariat Islam misalnya, disertai dengan “pengharaman” produk-produk barat (kafir), termasuk produk pemikirannya. Pola relasi seperti ini akan mematikan dialog Islam dan Barat. Akibatnya konflik akan terus ada jika tidak ada inisiatif untuk mendialogkan kedua entitas yang mewarnai semangat zaman ini.

Merunut sejarah, persinggungan Islam dengan ilmu-ilmu yang berasal dari khasanah luar Islam sudah terjadi sejak lama. Ibnu Rusydi (Averros) misalnya menggabungkan tasawuf Islam dengan filsafat Yunani. Pun demikian dengan Al Ghazali yang pernah berpolemik dengan Ibnu Rusydi. Polemik ini sampai sekarang belum ”menghasilkan” konsensus siapa yang benar dan siapa yang salah. Justru keduanya adalah tokoh-tokoh besar Islam yang mewarnai jagad pemikiran Islam klasik.

Pembacaan Islam dengan pemikiran kontemporer memunculkan konsekuensi lain, yakni vonis sesat yang diterima pemikir-pemikir Islam ini. Negara-negara Islam tak pernah “bersahabat” dengan pemikir-pemikir di luar mainstream. Nasr Hamid Abu Zayd gagal meraih gelar profesor karena pikirannya dianggap keluar dari batas-batas keimanan. Sidang dewan penilai menetapkan kekafiran terhadap Nasr Hamid Abu Zayd.
Salah satu pondasi kuat yang membangun pemikiran Islam adalah ijtihad.

Ijtihad yang secara bahasa bermakna bersungguh-sungguh memiliki cakupan iidealitas sebagai sebuah upaya untuk menafsirkan teks-teks keagamaan (al Quran dan hadits) agar sejalan dengan semangat zaman. Namun, pasca tadwin (penulisan hasil keilmuan Islam) berhembus isu ijtihad telah tertutup dan dibakukannya keilmuwan Islam, perkembangan keilmuan Islam nyaris mengalami stagnasi yang akut. Pada akhirnya, yang muncul adalah truth claim (klaim kebenaran) oleh satu kelompok. Islam dianggap sudah final, sempurna. Ijtihad baru berarti menegasi kesempurnaan Islam itu sendiri.

Muhammad Abid al Jabiri adalah salah satu pemikir Islam yang mendobrak kejumudan pemikiran Islam dengan mega proyeknya Kritik Nalar Arab (Naqd al-‘Aql al-‘Arabi). Menurutnya nalar Arab mempunyai tiga sistem pengetahuan atau epistemologi, yakni epistem bahasa (bayani) yang berasal dari kebudayaan Arab, epistem gnosis (irfani) yang berasal dari tradisi Persia dan Hermetis, dan epistem rasionalis (burhani) yang berasal dari Yunani.

Bagi al-Jabiri, ketiga epistem ini harus dibangun kembali relasinya. Karena perbedaan ideologi, epistem burhani menjadi korban, sebagaimana dilakukan oleh al Ghazali, Ibn Sina, Isma’ili dan Ibn ’Arabi. Relasi yang dibangun berada di tataran manhaj (bahasa dan logika) dan tataran world view (teologi dan filsafat). Ketiga epistem ini jika terintegarsi dengan baik akan memudahkan untuk membagi wilayah religioustiy yang merupakan medan burhani, religion yang subjektif (bayani) dan being religous yang intersubjektif (irfani

Marylin R. Waldman mengatakan bahwa sejarah agama dibagi menjadi dua pendekatan. Pertama, teologis, yakni tindakan realitas tertinggi dan mutlak. Dan yang kedua pendekatan humanis, yakni mengenai respons manusia terhadap kehadiran realitas tertingi tersebut (transenden). Semangat inilah yang mendasari segala bentuk pemikiran kontemporer Islam, terutama dari sisi humanitas. Pendekatan teologis lebih beorientasi pada teks dan Tuhan sebagai realitas tertinggi dan mutlak dalam relasi hamba-pencipta. Khazanah Islam klasik sudah jauh-jauh hari membahas masalah teologi. Pendekatan teologi bisa jadi hanya akan membuat agama tetap berada di langit, sementara problem humanitas masih berada di bumi.

Karena itu dalam pendekatan kontemporer, Islam lebih menekankan pada humanitas, misalnya masalah HAM, gender, demokrasi, fundamentalisme, dialog agama dan pluralisme. Ilmu antropologi dan sosiologi mutlak digunakan jika ingin menjadikan Islam sebagai agama yang berpijak di bumi

Bukan berarti para ulama kontemporer abai pada khazanah klasik yang mungkin dianggap usang karena tertinggal dari semangat zaman. Justru keduanya disintesiskan untuk mendapatkan formulasi metodologis yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademis dan moral guna memecahkan problematika zaman. Maka menggunakan sosiologi Emile Durkheim dan Max Webber, di samping sosiologi Ibnu Khaldun menjadi dialektika kelimuwan yang mampu mendialogkan Islam dan Barat

Di posisi stategis inilah, santri yang sekaligus mahasiswa menemukan habitusnya untuk berkiprah menjadi agent of change sosial masyarakat dengan problematika yang semakin kompleks. Santri-mahasiswa harus menjadi solusi mandeg-nya dialog keilmuwan salafi dan khalafi. Agar semangat progresifitas Islam dalam mengikuti gerak zaman terus menggelora di dada santri muda dan mahasiswa yang oleh Beneditc Anderson disebut sebagai revolusi pemuda.


Junaidi Abdul Munif
Lurah Putra Pondok Pesantren Luhur Wahid Hasyim Semarang
Mahasiswa PAI angkatan 2008


dimuat di majalah el husna, Pondok Pesantren Luhur Wahid Hasyim Semarang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Prie GS; Abu Nawas Zaman Posmo

coretan tentang hujan dan masa kecil