"SLENCA" DAN HILANGNYA NURANI KITA
“Slenca” dan Hilangnya Nurani Kita
Oleh Junaidi Abdul Munif
Mas kang mas namine sinten
Sakniki dintene Sabtu
Mas kangmas kesah teng pundi
Sapi kulo pun manak pitu
Lagu campur sari berjudul Slenca di atas, mungkin tepat untuk menggambarkan situasi zaman, terutama kondisi kita hari ini, ketika aparatur negara tidak bekerja selayaknya abdi yang melayani raja; yakni rakyat yang menjadi pemilik sah republik ini dalam sistem demokrasi yang kita anut.
Slenca, kata untuk menggambarkan ketidaknyambungan komunikasi antara komunikan dan komunikator. Ditanya A menjawab B, juga C, D dan seterusnya. Setiap pertanyaan seperti muspra (lenyap) tanpa bekas. Memang kupingnya yang tuli atau hatinya yang bebal sehingga tidak lagi memahami runtutan logika. Pantun zaman sekarang mengatakan “jaka sembung naik ojek, nggak nyambung jek”.
Ketika slenca hadir dalam panggung sosial masyarakat menengah ke bawah, kita tangkap itu sebagai guyonan; bahwa masih ada orang yang tulalit, telmi (telat mikir), katrok, dan atribut parodik lainnya. Sejauh slenca hanya terjadi dalam tataran komunikasi ringan, ditanya “mau kemana” menjawab “sekarang harinya kamis”, “mau makan apa” dijawab “saya mau ke pasar”, akan berhenti menjadi sekadar humor di masyarakat.
Namun, sejatinya lagu slenca memendam humor satiris tentang perilaku “sebagian kecil” masyarakat kita. “Sebagian kecil” itu yang justru menentukan nasib baik-buruknya kondisi bangsa ini. Ya, karena sebagian kecil masyarakat itu hadir di pangggung politik, pengambil kebijakan publik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan religiositas kita. Pengambil kebijakan strategis dan pelaksana kebijakan memiliki cara pandang yang berbeda.
Sri Mulyani Indrawati tetap kukuh bahwa dia hanya menyetujui anggaran beberapa milyar untuk bailout Bank Century. Jika yang keluar ternyata adalah 6,7 triliun, siapa yang salah? Apakah terjadi ke-slenca-an antara Sri Mulyani dan “eksekutor” yang menggelontorkan dana 6,7 triliun itu?
“Slenca” yang Sistematis
Ke-slenca-an panggung politik kita terjadi dengan lebih canggih dan sistematis. Slenca dalam panggung politik kita hari ini bukan sekadar ketaknyambungan komunikasi antara aparatur negara dengan struktur di bawahnya. Slenca itu hadir dalam undang-undang yang bertentangan, lembaga negara yang berebut wewenang dan saling jegal, hingga terkesan tidak pernah nyambung dan saling menjatuhkan.
Bagaimana keputusan pemerintah (UN dan UU BHP) dibatalkan oleh Mahkamah Konstisusi (MK), padahal MK dibentuk oleh DPR? Juga MA dan Komisi Yudisial yang bisa saling serobot memeriksa hakim padahal keduanya berkepentingan di ranah hukum yang sama? Polri, Kejagung, dan KPK bisa saling berebut untuk menyidik kasus korupsi. Ada apa ini? Rakyat menjadi penonton hiruk pikuk “kisruh” elite negeri ini.
Ke-slenca-an kita berjalan dengan cara yang sedemikian rupa untuk melanggengkan kepentingan merebut basis sosial dan sumber daya ekonomi. Rakyat cuma menjadi bulan-bulanan kebijakan yang tak pernah menguntungkan mereka. Rakyat seperti hanya dibutuhkan ketika musim pemilu tiba. Dengan money politic ala kadarnya, nasib rakyat digadaikan pada “perampok” negara ini.
Para wakil rakyat yang terhormat dan birokrat yang terpilih dari dua ratus juta lebih penduduk Indonesia tentu bukanlah orang-orang bodoh yang tak memahami esensi dan substansi dari undang-undang yang dibuat dan akan dilaksanakannya.
Justru karena mereka paham, jadinya tahu di mana celah undang-undang itu untuk dipelintir dan disalahgunakan. Pasal-pasal dalam undang-undang seperti saling menegasi satu sama lain. Akibatnya produk hukum menjadi berbeda. Putusan antar lembaga menjadi berbeda pula.
Atas nama mentaati negara hukum, asal sesuai dengan bunyi tekstual undang-undang, berarti tidak melanggar konstitusi. Dan ketika semua bilang telah sesuai undang-undang, siapa sesungguhnya yang paling benar?
Hilangnya Nurani
Slenca yang sistematis dan membuat kisruh elitis tersebut muncul ketika lembaga-lemabaga dan aparatur negara hilang kredibilitasnya. Terjadi distrust (ketidakpercayaan) di masyarakat karena ulah para elite yang jauh dari sikap ideal sebagai abdi negara.
Tentu bukan salah undang-undang, jika kebenaran dan keadilan menjadi entitas yang bisa ditafsirkan sesuai keinginan dan kepentingan pembaca dan pelaksana undang-undang tersebut. Karena undang-undang dibuat lebih banyak untuk kepentingan rakyat, membaca undang-undang tersebut mesti lebih bergantung pada kejernihan nurani untuk melihat kebenaran dan keadilan. Sebagai manusia yang waras, tentu tidak sulit untuk membedakan mana yang baik dan buruk.
Nurani mungkin telah menjadi barang langka di republik ini. Kebijakan publik yang semestinya diputuskan dan dilaksanakan atas pondasi keadilan dan maslahat untuk menyejahterakan kehidupan rakyat menjadi “barang transaksi” yang ditawarkan dengan harga tertinggi.
Sialnya, lagi-lagi kebijakan publik itu tidak dilaksanakan sebaik-baiknya untuk rakyat, tapi hanya kepentingan golongannya sendiri. Rakyat seperti tamu di rumah sendiri, yang tak bebas menentukan apa yang terbaik untuk dirinya. Karena sang pembantu telah berlagak seperti majikan yang menginjak-injak kehormatan tuan rumah.
Dimuat di Kompas Jateng, 22 Juli 2010
Oleh Junaidi Abdul Munif
Mas kang mas namine sinten
Sakniki dintene Sabtu
Mas kangmas kesah teng pundi
Sapi kulo pun manak pitu
Lagu campur sari berjudul Slenca di atas, mungkin tepat untuk menggambarkan situasi zaman, terutama kondisi kita hari ini, ketika aparatur negara tidak bekerja selayaknya abdi yang melayani raja; yakni rakyat yang menjadi pemilik sah republik ini dalam sistem demokrasi yang kita anut.
Slenca, kata untuk menggambarkan ketidaknyambungan komunikasi antara komunikan dan komunikator. Ditanya A menjawab B, juga C, D dan seterusnya. Setiap pertanyaan seperti muspra (lenyap) tanpa bekas. Memang kupingnya yang tuli atau hatinya yang bebal sehingga tidak lagi memahami runtutan logika. Pantun zaman sekarang mengatakan “jaka sembung naik ojek, nggak nyambung jek”.
Ketika slenca hadir dalam panggung sosial masyarakat menengah ke bawah, kita tangkap itu sebagai guyonan; bahwa masih ada orang yang tulalit, telmi (telat mikir), katrok, dan atribut parodik lainnya. Sejauh slenca hanya terjadi dalam tataran komunikasi ringan, ditanya “mau kemana” menjawab “sekarang harinya kamis”, “mau makan apa” dijawab “saya mau ke pasar”, akan berhenti menjadi sekadar humor di masyarakat.
Namun, sejatinya lagu slenca memendam humor satiris tentang perilaku “sebagian kecil” masyarakat kita. “Sebagian kecil” itu yang justru menentukan nasib baik-buruknya kondisi bangsa ini. Ya, karena sebagian kecil masyarakat itu hadir di pangggung politik, pengambil kebijakan publik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan religiositas kita. Pengambil kebijakan strategis dan pelaksana kebijakan memiliki cara pandang yang berbeda.
Sri Mulyani Indrawati tetap kukuh bahwa dia hanya menyetujui anggaran beberapa milyar untuk bailout Bank Century. Jika yang keluar ternyata adalah 6,7 triliun, siapa yang salah? Apakah terjadi ke-slenca-an antara Sri Mulyani dan “eksekutor” yang menggelontorkan dana 6,7 triliun itu?
“Slenca” yang Sistematis
Ke-slenca-an panggung politik kita terjadi dengan lebih canggih dan sistematis. Slenca dalam panggung politik kita hari ini bukan sekadar ketaknyambungan komunikasi antara aparatur negara dengan struktur di bawahnya. Slenca itu hadir dalam undang-undang yang bertentangan, lembaga negara yang berebut wewenang dan saling jegal, hingga terkesan tidak pernah nyambung dan saling menjatuhkan.
Bagaimana keputusan pemerintah (UN dan UU BHP) dibatalkan oleh Mahkamah Konstisusi (MK), padahal MK dibentuk oleh DPR? Juga MA dan Komisi Yudisial yang bisa saling serobot memeriksa hakim padahal keduanya berkepentingan di ranah hukum yang sama? Polri, Kejagung, dan KPK bisa saling berebut untuk menyidik kasus korupsi. Ada apa ini? Rakyat menjadi penonton hiruk pikuk “kisruh” elite negeri ini.
Ke-slenca-an kita berjalan dengan cara yang sedemikian rupa untuk melanggengkan kepentingan merebut basis sosial dan sumber daya ekonomi. Rakyat cuma menjadi bulan-bulanan kebijakan yang tak pernah menguntungkan mereka. Rakyat seperti hanya dibutuhkan ketika musim pemilu tiba. Dengan money politic ala kadarnya, nasib rakyat digadaikan pada “perampok” negara ini.
Para wakil rakyat yang terhormat dan birokrat yang terpilih dari dua ratus juta lebih penduduk Indonesia tentu bukanlah orang-orang bodoh yang tak memahami esensi dan substansi dari undang-undang yang dibuat dan akan dilaksanakannya.
Justru karena mereka paham, jadinya tahu di mana celah undang-undang itu untuk dipelintir dan disalahgunakan. Pasal-pasal dalam undang-undang seperti saling menegasi satu sama lain. Akibatnya produk hukum menjadi berbeda. Putusan antar lembaga menjadi berbeda pula.
Atas nama mentaati negara hukum, asal sesuai dengan bunyi tekstual undang-undang, berarti tidak melanggar konstitusi. Dan ketika semua bilang telah sesuai undang-undang, siapa sesungguhnya yang paling benar?
Hilangnya Nurani
Slenca yang sistematis dan membuat kisruh elitis tersebut muncul ketika lembaga-lemabaga dan aparatur negara hilang kredibilitasnya. Terjadi distrust (ketidakpercayaan) di masyarakat karena ulah para elite yang jauh dari sikap ideal sebagai abdi negara.
Tentu bukan salah undang-undang, jika kebenaran dan keadilan menjadi entitas yang bisa ditafsirkan sesuai keinginan dan kepentingan pembaca dan pelaksana undang-undang tersebut. Karena undang-undang dibuat lebih banyak untuk kepentingan rakyat, membaca undang-undang tersebut mesti lebih bergantung pada kejernihan nurani untuk melihat kebenaran dan keadilan. Sebagai manusia yang waras, tentu tidak sulit untuk membedakan mana yang baik dan buruk.
Nurani mungkin telah menjadi barang langka di republik ini. Kebijakan publik yang semestinya diputuskan dan dilaksanakan atas pondasi keadilan dan maslahat untuk menyejahterakan kehidupan rakyat menjadi “barang transaksi” yang ditawarkan dengan harga tertinggi.
Sialnya, lagi-lagi kebijakan publik itu tidak dilaksanakan sebaik-baiknya untuk rakyat, tapi hanya kepentingan golongannya sendiri. Rakyat seperti tamu di rumah sendiri, yang tak bebas menentukan apa yang terbaik untuk dirinya. Karena sang pembantu telah berlagak seperti majikan yang menginjak-injak kehormatan tuan rumah.
Dimuat di Kompas Jateng, 22 Juli 2010
Komentar