TUMBAL DAN EUFEMISME POLITIK

Tumbal dan Eufemisme Politik

Oleh Junaidi Abdul Munif

SRI MULYANI Indrawati (SMI) tidak lagi menjadi menteri keuangan di Kabinet Indonesia Bersatu jilid II. Ia pergi untuk menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia (Managing Director Wolrd Bank). Kepergian SMI telah mendapat restu dari Presiden, dan beliau sangat berharap SMI di posisi barunya akan memperkuat hubungan Bank Dunia dengan negara-negara berkembang.

Setelah mengalami penundaan, hiruk-pikuk kasus bailout Bank Century yang merugikan negara 6,7 triliun dan menyedot energi para personel di Senayan (Pansus Century) dan masyarakat yang mengikuti perkembangan di media massa, drama ini sempat dilupakan karena ramainya kasus mafia pajak dengan aktor utama Gayus Tambunan dan Susno Duadji. Pengunduran diri SMI kiranya adalah awal terbukanya tabir jawaban dari kasus Bank Century.

Ketika isu Bank Century ramai digulirkan, publik (lewat berita di media massa) digiring untuk meyakini bahwa pihak yang paling bertanggung jawab dalam proses bailout adalah Boediono sebagai Gubernur BI waktu itu dan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan dan ketua KSSK. Isu pemakzulan sebagai akibat dari kesalahan dua pejabat negara tersebut pun menjadi wacana publik yang terus mengemuka.

Selain isu pemakzulan, perang pribadi antara SMI dan Aburizal Bakrie (Ical) terkait tuduhan tunggakan pajak yang dilakukan Ical, kemudian ada sinyalemen pertemuan rahasia SBY dan Ical yang menghasilkan kesepakatan yang belum terbaca oleh publik hingga saat ini, menjadi bumbu penyegar yang semakin membuat segala kemungkinan bisa saja terjadi. Publik dan analis sibuk mereka-reka siapa yang akan dicopot pasca pertemuan SBY-Ical ini.

Ketika pada akhirnya Pansus DPR memutuskan bahwa ada pelanggaran terhadap dana talangan Bank Century, pemakzulan terhadap Boediono dan Sri Mulyani hampir dipastikan akan terjadi. Koalisi pemerintahan SBY memang terlihat ingin menjinakkan lawan politik demi bagi-bagi kekuasaan. Tinggal menunggu waktu saja sebetulnya untuk melihat keduanya atau salah satu akan diganti.

Pilihan untuk memakzulkan Boediono (Wapres) atau mencopot Sri Mulyani (Menkeu) memang bisa dibaca sejak awal. Kedua tokoh tersebut menjadi sasaran tembak para aktor pansus Century. Alasannya karena kedua tokoh ini adalah teknokrat murni yang tidak memiliki kendaraan parpol. Terlihat bagaimana ketika dua tokoh ini diserang di forum pansus, dan hanya Partai Demokrat yang berdiri di belakang mereka berdua. Itu pun tampak tidak sepenuh hati karena mereka berdua secara resmi bukan kader Partai Demokrat.

Eufemisme Politik

Mengundurkan diri, istilah yang dipakai dengan gaya bahasa eufemisme (penghalusan) yang digunakan sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar (Wikipedia). SMI tidak dicopot melainkan mengundurkan diri karena mendapat jabatan di Bank Dunia.

Eufemisme bahasa politik memang kerap terjadi di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir. Istilah menetralisir (membasmi perusuh, gerakan subersif), mengamankan (menahan seseorang), dimejahijaukan (disidang di pengadilan), menginap di hotel prodeo (dipenjara), dinonaktifkan (dipecat) adalah bentuk-bentuk penghalusan bahasa yang bertujuan tidak menyampaikan secara langsung tragisnya sebuah peristiwa.

Dalam konteks ini, frasa Sri Mulyani mengundurkan diri yang diekspose ke publik tentu saja sangat politis. Mengundurkan diri berarti mundur dari jabatan dengan cara baik-baik, bukan dicopot. Artinya, lepasnya jabatan menkeu yang disandang Sri Mulyani adalah karena keinginan pribadi.
Sri Mulyani adalah pihak yang aktif (mengundurkan diri), bukan Presiden yang memecat Sri Mulyani (pasif). Presiden SBY merasa bahwa pemerintahannya baik-baik saja, tidak ada masalah, dan tidak ada alasan untuk mencopot Sri Mulyani.

Jika frasa dicopot yang digunakan, akan muncul opini publik bahwa Sri Mulyani adalah pihak yang melakukan kesalahan besar dan membuat para pengawal kasus Bank Century merasa menang karena Sri Mulyani telah dicopot. Sementara putusan hukum bahwa Sri Mulyani bersalah atau tidak, belum ada.

Presiden mana yang tidak bangga jika salah satu menteri terbaiknya naik jabatan? Itulah alasan mengapa pengunduran SMI berjalan mulus. (Benarkah?). Terlebih ketika Bank Dunia membeberkan testimoni keberhasilan SMI, antara lain Robert Zoellick (Presiden Bank Dunia) yang mengatakan, Ia pemimpin dari dunia berkembang untuk isu perubahan iklim dan aktif di arena internasional, seperti di kelompok G-20, APEC, ASEAN, dan Grup lain. Sri Mulyani Indrawati adalah korban dari kasus Bank Century, tapi dia diselamatkan oleh Bank Dunia, lembaga yang mengakui kredibiltasnya.

Eleganitas tumbal hadir dalam panggung politik kita hari ini. Pejabat publik yang dinilai hanya akan menjadi duri dalam daging dan menganggu stabilitas kekuasaan, akan disingkirkan. Bukan dengan cara dimatikan secara fisik atau karir, namun juga dengan cara seolah-olah dinaikkelaskan.

Di sinilah mengapa penting bagi kita untuk belajar dan memahami semiotika, agar bisa meraba peristiwa tidak hanya pada apa yang tersurat, melainkan jauh menukik ke apa yang tersirat. Eufemisme ketika digunakan dalam ranah politik, bukan lagi persoalan penghalusan bahasa demi menghindari ungkapan yang dirasa kasar. Eufemisme politik menjadi kendaraan bagi aktor-aktor politik untuk melanggengkan kepentingan dan kekuasaan.

Penggunaan frasa mengundurkan diri membuktikan bahwa bahasa tidak pernah bebas nilai dan lepas dari kepentingan apa pun. Sebagai perangkat utama dalam komunikasi, bahasa bukanlah sekali dipakai lantas setelah itu dilupakan ketika pesan sudah disampaikan.

Ketika bahasa dipakai, pada hakikatnya bahasa itu sedang mencari jalan pembenaran dan menghindari resiko terburuk atau menciptakan opini-opini baru untuk menutupi makna hakiki sebuah peristiwa. Benar apa yang dikatakan Umberto Eco, bahwa semiotika adalah ilmu untuk berdusta.

(Penulis adalah Direktur el-Wahid Center, Universitas Wahid Hasyim Semarang).

sumber: HARIAN PELITA, 9 JULI 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Prie GS; Abu Nawas Zaman Posmo

coretan tentang hujan dan masa kecil