MENCARI AKAR PATRIAKISME
Mencari Akar Patriarkisme
* Oleh Junaidi Abdul Munif
DARI mana patriarkisme berasal? Banyak yang menuduh bahwa agama khususnya Islam sebagai lahan subur tumbuhnya patriarkisme. Padahal, dalam teks-teks Islam banyak ditemukan dalil yang sebetulnya menganjurkan kesetaraan gender dan mengeliminasi patriarki.
Meski QS Annisa 34 menjelaskan bahwa laki-laki adalah pemimpin wanita, sehingga menyebabkan konsekuensi hukum yang berbeda di antara keduanya, dalil ini kurang kuat dijadikan pijakan untuk menuduh Islam sebagai agama patriarkis. Sebab, banyak ayat lain yang menjelaskan kesamaan antara laki-laki dan perempuan (Umar Shihab, Kontektualitas Al Quran, hal: 13).
Contoh yang paling konkret adalah ayat Alquran (Al Hujarat 13) yang berbunyi inna akramakum indallahi atqakum (sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah ketakwaan kalian). Secara gamblang dijelaskan bahwa yang paling mulia di sisi Allah tidak ditentukan oleh jenis kelamin, laki-laki dan perempuan, tapi kadar ketakwaan seseorang sebagai manifestasi ibadah hamba.
Hadis Rasululah tentang menuntut ilmu, misalnya, diperuntukkan bagi muslim dan muslimat. Ini menyiratkan bahwa hak mendapatkan pengetahuan adalah mutlak bagi laki-laki dan perempuan.
Fazlur Rahman, seorang pemikir Islam berpendapat bahwa maksud ayat Annisa:3 yang menjelaskan poligami bukanlah anjuran tentang bolehnya poligami, karena Annisa 129 menjelaskan tentang prinsip keadilan dalam rumah tangga, di mana laki-laki akan sulit merealisasikannya. Redaksi Annisa 3 adalah karena waktu itu poligami merupakan budaya Arab yang sudah mengakar dan sulit dihilangkan, maka pelarangannya secara kontinyu, yaitu membatasi hanya empat wanita.
Memang harus diakui, banyak teks Alquran maupun hadis yang membedakan perempuan dengan laki-laki, misalnya pada hak waris, menjadi saksi, dan lain-lain. Namun, harus dilihat bahwa historisitas ayat-ayat ini turun pada kondisi Arab yang sebelumnya sangat tidak memberi ruang bagi perempuan untuk beraktualisasi. Maka, tafsir kontekstualitas mutlak diperlukan adanya, sesuai dengan prinsip Islam yang egaliterian dan misi rahmatan lil alamin.
Rasulullah ketika ditanya sahabat siapa orang di dunia ini yang paling layak dihormati, Rasulullah menjawab ’’ibu’’ sebanyak tiga kali. Baru kemudian ayah. Betapa sebetulnya Islam menjunjung tinggi perempuan untuk ditempatkan pada maqam (tempat) yang mulia.
Lalu kalau dalam teks Islam sulit ditemukan dalil yang melegitimasi patriarki, berpijak pada apa istilah ini dilontarkan?
Kultur Jawa
Perlu dipahami bahwa munculnya isu patriarki banyak terpusat di Jawa, yang secara sosiokultural merupakan pusat progresivitas pola pikir dan kekuasaan (Jakarta). Islam berkembang pesat di Jawa. Sebelum Islam masuk ke Jawa, di sini sudah tersebar agama Hindu-Budha yang lebih dulu melakukan sinkretisme dengan budaya Jawa.
Di Jawa, perempuan menyandang sinonim yang bermacam-ma-cam. Pertama, wadon, yang dalam bahasa kawi berarti kawula atau abdi. Perempuan adalah ’’budak’’ laki-laki. Manifestasinya perempuan tak boleh melawan laki-laki dalam segala hal.
Kedua, wanita. Kata ini merupakan akronim dari wani ditata. Dalam konteks ini, perempuan ditempatkan dalam posisi yang salah kaprah, sehingga laki-laki berkewajiban menatanya. Ketiga, estri yang berasal dari kata estren yang artinya pendorong. Dalam mendorong, perempuan telah terkonstruksi untuk tampil di belakang.
Terakhir adalah putri (putus tri perkawis purna karya perempuan), yang artinya menyelesaikan tiga perkara kinerja perempuan, yaitu sebagai wadon, wanita dan estri. Keempat istilah ini semakin menyudutkan perempuan dalam menunjukkan potensinya untuk berkembang sejajar dengan laki-laki, karena doktrin Jawa telah mengeliminasi peran perempuan itu sendiri.
Dalam kitab Clokantara, perempuan divonis sebagai salah satu dari tiga yang tidak berjalan secara benar di muka bumi ini. Berdampingan dengan sungai dan tanaman melata. Perempuan disamakan dengan sungai yang berkelok-kelok dan tanaman yang merambat tak tentu arah.
Banyak tembang dalam karya sastra Jawa yang memosisikan perempuan di posisi marjinal, selalu salah, dan dianggap sebagai hadiah bagi kaum laki-laki (Supraptiningsih, Jurnal Justisia Edisi 22 Tahun X 2002, hal: 48-49). Teks itu begitu menghegemoni nalar perempuan Jawa dan dipatuhi layaknya kitab suci.
Melihat fakta bahwa Islam bersinkretis dengan ajaran Jawa, maka yang ideal adalah memisahkan keduanya demi kelangsungan martabat perempuan. Islam menempatkan perempuan dan laki-laki di tempat yang berbeda pada konteks biologis yang memang tak bisa ditawar lagi.
— Junaidi Abdul Munif, peneliti el-Wahid Centre, Universitas Wahid Hasyim Semarang
SUARA MERDEKA, 23 MARET 2010
* Oleh Junaidi Abdul Munif
DARI mana patriarkisme berasal? Banyak yang menuduh bahwa agama khususnya Islam sebagai lahan subur tumbuhnya patriarkisme. Padahal, dalam teks-teks Islam banyak ditemukan dalil yang sebetulnya menganjurkan kesetaraan gender dan mengeliminasi patriarki.
Meski QS Annisa 34 menjelaskan bahwa laki-laki adalah pemimpin wanita, sehingga menyebabkan konsekuensi hukum yang berbeda di antara keduanya, dalil ini kurang kuat dijadikan pijakan untuk menuduh Islam sebagai agama patriarkis. Sebab, banyak ayat lain yang menjelaskan kesamaan antara laki-laki dan perempuan (Umar Shihab, Kontektualitas Al Quran, hal: 13).
Contoh yang paling konkret adalah ayat Alquran (Al Hujarat 13) yang berbunyi inna akramakum indallahi atqakum (sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah ketakwaan kalian). Secara gamblang dijelaskan bahwa yang paling mulia di sisi Allah tidak ditentukan oleh jenis kelamin, laki-laki dan perempuan, tapi kadar ketakwaan seseorang sebagai manifestasi ibadah hamba.
Hadis Rasululah tentang menuntut ilmu, misalnya, diperuntukkan bagi muslim dan muslimat. Ini menyiratkan bahwa hak mendapatkan pengetahuan adalah mutlak bagi laki-laki dan perempuan.
Fazlur Rahman, seorang pemikir Islam berpendapat bahwa maksud ayat Annisa:3 yang menjelaskan poligami bukanlah anjuran tentang bolehnya poligami, karena Annisa 129 menjelaskan tentang prinsip keadilan dalam rumah tangga, di mana laki-laki akan sulit merealisasikannya. Redaksi Annisa 3 adalah karena waktu itu poligami merupakan budaya Arab yang sudah mengakar dan sulit dihilangkan, maka pelarangannya secara kontinyu, yaitu membatasi hanya empat wanita.
Memang harus diakui, banyak teks Alquran maupun hadis yang membedakan perempuan dengan laki-laki, misalnya pada hak waris, menjadi saksi, dan lain-lain. Namun, harus dilihat bahwa historisitas ayat-ayat ini turun pada kondisi Arab yang sebelumnya sangat tidak memberi ruang bagi perempuan untuk beraktualisasi. Maka, tafsir kontekstualitas mutlak diperlukan adanya, sesuai dengan prinsip Islam yang egaliterian dan misi rahmatan lil alamin.
Rasulullah ketika ditanya sahabat siapa orang di dunia ini yang paling layak dihormati, Rasulullah menjawab ’’ibu’’ sebanyak tiga kali. Baru kemudian ayah. Betapa sebetulnya Islam menjunjung tinggi perempuan untuk ditempatkan pada maqam (tempat) yang mulia.
Lalu kalau dalam teks Islam sulit ditemukan dalil yang melegitimasi patriarki, berpijak pada apa istilah ini dilontarkan?
Kultur Jawa
Perlu dipahami bahwa munculnya isu patriarki banyak terpusat di Jawa, yang secara sosiokultural merupakan pusat progresivitas pola pikir dan kekuasaan (Jakarta). Islam berkembang pesat di Jawa. Sebelum Islam masuk ke Jawa, di sini sudah tersebar agama Hindu-Budha yang lebih dulu melakukan sinkretisme dengan budaya Jawa.
Di Jawa, perempuan menyandang sinonim yang bermacam-ma-cam. Pertama, wadon, yang dalam bahasa kawi berarti kawula atau abdi. Perempuan adalah ’’budak’’ laki-laki. Manifestasinya perempuan tak boleh melawan laki-laki dalam segala hal.
Kedua, wanita. Kata ini merupakan akronim dari wani ditata. Dalam konteks ini, perempuan ditempatkan dalam posisi yang salah kaprah, sehingga laki-laki berkewajiban menatanya. Ketiga, estri yang berasal dari kata estren yang artinya pendorong. Dalam mendorong, perempuan telah terkonstruksi untuk tampil di belakang.
Terakhir adalah putri (putus tri perkawis purna karya perempuan), yang artinya menyelesaikan tiga perkara kinerja perempuan, yaitu sebagai wadon, wanita dan estri. Keempat istilah ini semakin menyudutkan perempuan dalam menunjukkan potensinya untuk berkembang sejajar dengan laki-laki, karena doktrin Jawa telah mengeliminasi peran perempuan itu sendiri.
Dalam kitab Clokantara, perempuan divonis sebagai salah satu dari tiga yang tidak berjalan secara benar di muka bumi ini. Berdampingan dengan sungai dan tanaman melata. Perempuan disamakan dengan sungai yang berkelok-kelok dan tanaman yang merambat tak tentu arah.
Banyak tembang dalam karya sastra Jawa yang memosisikan perempuan di posisi marjinal, selalu salah, dan dianggap sebagai hadiah bagi kaum laki-laki (Supraptiningsih, Jurnal Justisia Edisi 22 Tahun X 2002, hal: 48-49). Teks itu begitu menghegemoni nalar perempuan Jawa dan dipatuhi layaknya kitab suci.
Melihat fakta bahwa Islam bersinkretis dengan ajaran Jawa, maka yang ideal adalah memisahkan keduanya demi kelangsungan martabat perempuan. Islam menempatkan perempuan dan laki-laki di tempat yang berbeda pada konteks biologis yang memang tak bisa ditawar lagi.
— Junaidi Abdul Munif, peneliti el-Wahid Centre, Universitas Wahid Hasyim Semarang
SUARA MERDEKA, 23 MARET 2010
Komentar