IRONI HUKUM DAN "BOURGEOIS SOCIETY"

Manisih (40) dan Sri Suratmi (19) menghadapi tuntutan sebulan dan masa percobaan selama empat bulan karena mencuri buah randu sebanyak 14 kilogram seharga Rp 12.000 (Kompas, 27 Januari 2010). Dunia hukum kita memang selalu menghadirkan ironi. Beberapa waktu lalu, kita dibuat konyol terhadap Nenek Minah di Banyumas yang dituntut penjara karena mencuri buah kakao seharga Rp 2.100. Kita kemudian disuguhi penjara kelas lima yang dinikmati oleh Artalyta Suryani (Ayin) yang terjerat kasus penyuapan terhadap jaksa Urip Tri Gunawan.

Hukum dibuat untuk keadilan. Akan tetapi, senyatanya keadilan bisa dengan mudah digelapkan dengan rupiah. Minah, Manisih, Sri Suratmi adalah pihak-pihak yang dikalahkan hukum. Ia menjadi korban teks hukum. Mereka tak berdaya untuk memperjuangkan nasib di pengadilan yang telah dikuasai jaringan mafia peradilan.

Etika dan moralitas menjadi pembenar untuk menolak penahanan Minah, Manisih, dan Sri Suratmi. Bagaimana mungkin jika mencuri kakao seharga Rp 2.100 dan kapuk randu seharga Rp 12.000 dengan mudahnya mengantarkan mereka ke penjara?

Inilah cacat penerapan hukum di negeri ini yang dikritik oleh alm Prof Satjipto Rahardjo dengan hukum progresifnya. Hukum menjadi tidak humanis justru ketika perangkat aturan dan penegak hukum begitu lengkapnya.

"Bourgeois society"

Bourgeois society lebih dikenal sebagai civil society. Memang dengan mudah dimaknai sebagai masyarakat sipil. Atau kelompok tertentu memaknainya sebagai masyarakat madani, sebuah masyarakat yang modern dan berperadaban dan berkebudayaan tinggi. Dalam The German Ideology, Marx menjelaskan bahwa civil society muncul pada abad ke-18 saat kepemilikan tanah terpisah dari masyarakat kuno dan masyarakat abad pertengahan.

Namun, bagi Marx, karena pengaruh dari sahabatnya, Frederich Engels, ikut menggunakan istilah bourgeois society untuk menjelaskan kondisi di mana terjadi fase kehidupan sosial yang menempatkan kaum borjuis, kelas menengah, kapital perdagangan, dan pemodal menjadi kelas yang berkuasa.

Karl Marx, filsuf besar abad ke-19, sudah sejak lama mendebatkan tentang "bagaimana hukumnya mengambil sesuatu yang sudah (dianggap) tidak lagi akan dipakai". Marx mencontohkan tentang pencurian pohon tumbang oleh petani miskin. Marx berargumen bahwa petani miskin itu lebih berhak atas pohon tumbang tersebut daripada para tuan tanah (korporasi).

Sebagai bapak proletar, Marx memang sudah seperti meramalkan bahwa akan ada korporasi besar-besaran dan eksploitasi atas kaum pekerja (proletar). Para tuan tanah pengelola tanah yang pohonnya tumbang memang punya alasan kuat untuk mengkriminalisasi para petani yang mencuri pohon tumbang.

Menurut Marx, jika sejak pohon itu tumbang dan tidak diapa- apakan, dia menjadi res nullius, benda yang bebas yang dimiliki oleh siapa saja. Sejak tidak ada yang membenarkan atas kepemilikan pohon tersebut, lebih baik pohon tersebut diberikan kepada pihak lain yang memiliki hak yang lebih baik atau berdasarkan kebutuhan yang lebih besar.

Di sini prinsip yang berlaku adalah humanitas (kemanusiaan) dan menghindari kemubaziran. Dalam kasus Manisih, randu tersebut (bisa) dianggap sisa dari perkebunan PT Segayung yang telah memanen randu. Kronologinya, ada randu yang tidak memenuhi kualifikasi untuk diolah menjadi bahan baku sehingga dibiarkan. Miniasih berinisiatif mengambil apa yang tak dimanfaatkan tersebut.

Warga yang mengambil barang yang ditanam oleh sebuah korporasi memang rentan dituntut. Modal uang yang dimiliki oleh korporasi tersebut membuat mereka mudah untuk menuntut warga. Inilah akibat yang sering muncul dari pola korporasi yang berada di tengah permukiman warga yang miskin. Perkebunan, karena atas penguasaan pemodal, menjadi tempat eksklusif yang tak semua orang bebas masuk.

Marx menganggap bahwa kepemilikan pribadi (kini korporasi) memang cenderung antisosial; meski ia tak menentang asas kepemilikan pribadi. Marx mengharapkan ada keseimbangan kepemilikan pribadi dan perhatian kesejahteraan pribadi atas orang yang tak berpunya (propertyless class).

"Ngasak"

Dalam kehidupan agraris masyarakat pedesaan, budaya mengambil sisa-sisa hasil panenan telah menjadi budaya masyarakat. Sebagai misal, budaya ngasak, yakni mengambil sisa-sisa bulir gabah yang masih melekat di jerami setelah dirontokkan dengan mesin perontok. Para tukang ngasak ini menunggu di belakang tukang ngedos (perontok padi) dan mengambil gundukan jerami. Jerami tersebut dirontokkan dengan cara digebuk (dipukul).

Ada kesepakatan kolektif tak tertulis di antara warga untuk membiarkan warga lain ikut ngasak padi. Komunalisme sebagai semangat hidup warga desa memang dijaga demi harmonasi kehidupan bermasyarakat. Tidak pernah ada warga yang menuntut secara hukum warga lain yang ngasak padi. Jika yang terjadi warga tersebut mengambil lebih dari yang semestinya, di luar kewajaran, hanya muncul gerundelan warga yang merasa dirugikan, tapi tidak pernah sampai ke pengadilan. Toh nilainya juga tak seberapa.

Kehidupan sosial ekonomi yang dikuasai para kapital memang akan menciptakan jurang pemisah yang begitu lebar antara pemodal dan masyarakat miskin jika tak diimbangi kesalingpengertian antarkeduanya. Korporasi mesti terus menciptakan CSR (corporate social responsibility) sebagai bentuk tanggung jawab sosial untuk mengikis jurang pemisah ini. Karena itu, tidak akan ada lagi sebuah korporasi menuntut masyarakat yang mengambil barang yang nilainya tak seberapa.


DIMUAT DI KOMPAS JAWA TENGAH, 6 FEBRUARI 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Prie GS; Abu Nawas Zaman Posmo

coretan tentang hujan dan masa kecil