JURU BICARA KEBUDAYAAN

Juru Bicara Kebudayaan

Oleh Junaidi Abdul Munif

Seni adalah bagian kebudayaan. Sayang, kebudayaan kini tereduksi menjadi frasa dengan makna material. Kesenian lebih dianggap sebagai sebuah karya materi yang bertolak dari spirit kebudayaan, yang sejatinya adalah faktor penting membangun jati diri dan karakter masyarakat.

Reduksi makna kebudayaan yang menciut menjadi kesenian-material adalah sebentuk politik represif di masa Orde Baru untuk membendung gerakan masyarakat yang merongrong kekuasaan yang sah. Di masa keemasan Soekarno, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) adalah contoh "ormas" kesenian yang coba menghadirkan kesenian ke ruang publik. Kesenian pada masa itu adalah alat perjuangan dan kontrol sosial politik pada kekuasaan.

Ketika Orde Lama digantikan Orde Baru, Lekra sebagai sayap politik PKI yang dianggap pro-Soekarno ikut-ikutan dilarang. Sejak itulah, kesenian dipelintirkan sebagai produk material yang menegasinya sebagai alat perjuangan politik. Seni dibonsai menjadi alat hiburan pengisi waktu luang.

Karena sebagai alat pengisi waktu luang, kesenian seolah hanya pantas dimiliki orang-orang yang secara ekonomi sudah mapan. Seni adalah barang mewah bagi komunitas masyarakat menengah ke bawah yang untuk memenuhi kebutuhan primer (makan) saja masih kesulitan. Pembangunan gedung kesenian yang mewah dan berada di pusat kota semakin menjauhkan seni dari masyarakat.

Langkah Pemkot Yogyakarta dengan mengadakan pameran kesenian di ruang publik adalah ikhtiar yang mencoba bertolak dari eksklusivitas kesenian sebagai produk kebudayaan yang sebelumnya berjaya di ruang- ruang pameran dan galeri seni. Seni "mazhab pameran-galeri" memang menghidupi para pegiat kesenian, yakni kreator, kurator, dan terutama para broker (makelar kesenian). Sementara kesenian yang dikelola masyarakat bawah hanya menjadi pelepas kerinduan (klangenan) orang tua untuk mengenang romantisme masa lalu. Kesenian seperti ini hanya menjadi kesenian yang sekadar ada (eksis) tanpa pretensi untuk menjadi gantungan hidup.

Dengan kondisi seperti itu, seni seperti teralienasi dari kehidupan masyarakat (publik) yang disibukkan dengan masalah-masalah fundamental sosial-ekonomi. Malioboro sebagai ruang publik yang signifikan disulap jadi "galeri super" yang memajang berbagai produk kesenian. Penggunaan ruang publik sebagai "galeri seni" dengan sendirinya menciptakan ruang publik kebudayaan (public culture sphere), meminjam gagasan Juergen Habermas tentang ruang publik politis (public politic sphere).

Pada hakikatnya, hak untuk menikmati keindahan (kesenian) adalah hak asasi manusia. Manusia butuh sejenak untuk melupakan persoalan rutinitas hidup yang menyebabkan hilangnya rasa humanitas. Kesenian bukanlah barang eksklusif yang megah di galeri-galeri besar dan bergerilya dari pameran ke pameran. Lebih dari itu, kesenian harus dikembalikan sebagai bagian dari kebudayaan.

Dengan begitu, menghadirkan kesenian ke ruang publik bukanlah sekadar memindahkan galeri dari gedung mewah ke masyarakat. Pemindahan ini harus pula diikuti transformasi nilai-nilai luhur yang diusung kebudayaan. Hal ini karena kesenian hanyalah juru bicara kebudayaan untuk menyampaikan nilai-nilai luhur demi membangun masyarakat yang berkarakter kuat dalam menghadapi persoalan kehidupan.

JUNAIDI ABDUL MUNIF Mahasiswa Fakultas Agama Islam Universitas Wahid Hasyim Semarang

DIMUAT KOMPAS JATENG, JUMAT, 23 APRIL 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Prie GS; Abu Nawas Zaman Posmo

coretan tentang hujan dan masa kecil