Resensi Novel Pulang Tere Liye
Kisah dari “Gosip” Politik dan Teori
Konspirasi
Oleh Junaidi Abdul Munif
Data Buku
Judul : Pulang
Penulis : Tere Liye
Cetakan : IX, November 2015
Tebal :iv + 400 halaman
Penerbit
: Republika Penerbit
ISBN : 9786020822129
Tidak
mudah menulis karya fiksi di tengah gempuran informasi dari dunia maya. Setiap
hari kita dicekoki informasi tentang teori konspirasi, membagi entitas secara
diametral-dikotomik, dari kutub-kutub kepentingan kelompok, agama, sekte, parpol,
ideologi, dan lain-lain. Semua tampak diposisikan binerik: hitam-putih.
Seolah
semua informasi itu adalah pembocoran fakta-fakta yang sebelumnya off the
record. Dengan kemudahan klik share (membagikan) tautan di media
sosial, informasi berkelindan dan tumpah ruah tak tentu arah. Paling hanya
muncul tuduhan informasi hoax (sampah, palsu) dari kubu yang
berseberangan dari informasi yang disampaikan. Informasi-informasi yang bagi
orang awam, sulit dicek kebenarannya, karena selalu muncul antitesis dan
antiteori dari informasi yang kita terima lebih dulu. Informasi dari internet
tak ubahnya karya fiksi.
Dalam
konteks dunia digital seperti itulah novel Pulang hadir di tengah-tengah
kita. Apa kelebihan novel ini di tengah banjir informasi seperti itu? Ini
menjadi tantangan tersendiri bagi Tere Liye, penulis novel Pulang yang
mengangkat kisah-kisah dunia criminal high class (kejahatan kelas
tinggi). Untuk pembaca yang akrab dengan teknologi internet, novel ini bisa
dijadikan sebagai bacaan pelengkap, memberikan gambaran para penjahat. Dan
untuk pembaca yang kuper dengan internet, bisa jadi novel ini memberikan kisah
yang sama sekali baru.
Pulang
berpusat pada tokoh Bujang, Si Babi Hutan, anak kampung di hutan Sumatera yang
menjelma sebagai ketua geng Keluarga Tong. Dia mewarisi kekuatan fisik Samad,
ayahnya, dan kecerdasan ibunya. Bujang merupakan sosok yang lengkap: kuat
secara fisik dan cerdas secara intelektual. Dalam hal ini, sosok James Bond
dapat kita jadikan sebagai prototipe-nya. Bujang meraih dua gelar master di
Amerika, dan empat kursus dalam waktu yang cepat. Namun, kecerdasan yang boleh
jadi sangat musykil, mengingat Bujang sampai usia lima belas tahun, belum
mengenyam sekolah. Dia seolah terlahir dengan kecerdasan dari langit.
Aksi
A la Hollywood
Membaca
novel ini, kita akan teringat film Godfather dan film-film aksi bergenre
mafia. Persaingan antar keluarga dalam bisnis ilegal, pengkhianatan,
pertarungan hero ala hollywood, lengkap dengan dar der dor
melawan musuh yang jumlahnya berkali lipat. Sebagai contoh, perhitungan
strategi yang matang dalam menjalankan misi, mengingatkan kita pada film aksi
Jason Statham.
Setting
di luar negeri membuat pembaca bisa alpa, Bujang itu tokoh Indonesia atau
Barat? Bahkan, guru yang mengajar Bujang ilmu bela diri adalah Guru Busi dari
Jepang, dan Salonga (Filipina) yang mengajarkan menembak. Ciri khas yang
membuat Bujang tetap dikenal sebagai orang Indonesia yang muslim adalah
konsistensi tidak makan babi dan minum alkohol.
Di
balik kehidupan yang tampaknya normal dan biasa-biasa saja, rupanya ada
pengendali (selain Tuhan) yang dapat menentukan gerak, arah, serta hitam putih
pemimpin maupun bangsa. Para pemimpin hanya pion yang tampak di permukaan layar
politik. Aktor di balik layar, pelaku shadow economy, para mafia itu,
nyaris tidak pernah tersentuh. Pemimpin negara yang tidak sesuai kepentingan
para mafia, akan dilengserkan dengan cara apa pun.
Novel
Pulang anggitan Tere Liye seperti “memanfaatkan” riuh ramainya “gosip
politik” tentang mafia. Calon presiden berkemeja putih, dan rivalnya yang
mantan tentara, atau presiden yang digulingkan setelah lebih 30 tahun berkuasa,
akan dengan mudah membuat pembaca mengasosiasikannya dengan kondisi di
Indonesia. Dari sini, Pulang berpotensi memunculkan tafsir, ini murni karya
fiksi, atau fakta yang difiksikan, dalam arti diberi wadah dalam novel?
Mengingat dunia politik di negara kita beberapa tahun ini ramai dengan istilah
mafia.
Di
dalam meriahnya demokrasi pasca Reformasi, gaung kartel politik, perselingkuhan
pengusaha dan politisi cukup lama kita dengar ada di Indonesia. Kita tidak
tahu, apakah Tere Liye menulis novel ini berdasarkan kerja jurnalistik dan
ivestigasi. Tapi itu tidak perlu. Sebagai karya fiksi, tentu dia “halal”
berangkat dari gosip dan isu. Pembaca diberi kebebasan untuk menduga-duga,
sambil mengeklik tautan di linimasa yang selalu heboh, mengejutkan, dan
bombastis itu. Barangkali di balik
kotornya dunia politik, memang ada dunia yang lebih kotor lagi. Dunia hidden
yang, celakanya, adalah dalang utama.
Di
sinilah, kejahatan gigantis di novel ini, telah menjadi korporasi kejahatan, di
mana banyak orang yang bergantung hidupnya dari dunia gelap itu. Menutup bisnis
kejahatan raksasa milik klan Tauke Besar, tidak akan menyelesaikan masalah.
Karena di situ banyak orang-orang seperti Basyir, yang hanya bermodalkan otot,
nekat, dan meniadakan rasa takut untuk mendapatkan upah.
Pulang
Ke Mana?
Novel ini tidak berpretensi
menghadirkan sebuah kisah pertobatan Bujang untuk kembali ke jalan yang benar.
Pulang yang dilakukan Bujang pun sekadar pulang ke kampung halaman, mengunjungi
makam orangtuanya. Setelah itu, masih ada pekerjaan yang harus ia selesaikan
dengan Master Dragon. Tak ada lagi ikatan Bujang dengan leluhurnya di kampung
halaman, karena pernikahan orangtuanya tidak mendapatkan restu kakek-neneknya.
Tuanku Imam, orangtua Bujang yang diwasiati ayah Bujang (Samad) untuk ikut
menjaga dan mengawasi Bujang, pun telah pindah ke Jakarta.
Naik
kelasnya bisnis keluarga Tong, dari tingkat provinsi ke tingkat nasional dan
internasional, menjadikan Bujang memiliki koneksi yang luar biasa di dunia shadow
economy. Bujang telah melintasi entitas primordial suku dan bangsanya.
Lantas, benarkah Indonesia hanya medan tarung korporasi politik-ekonomi
internasional, sebagaimana sering kita dengar dari informasi dunia maya?
Mungkin
memang begitu kenyataannya dunia ini. Ada segelintir aktor yang melakukan
rekayasa demi memenuhi ambisi ekonomi politik. Banyak terjadi konspirasi yang
menguntungkan segelintir manusia. Tapi mungkin saja tidak begitu adanya. Hidup
memang jadi penuh nuansa jika kita sebagai manusia, diberi rasa bernama ‘menduga’
dan ‘curiga’. Jangan-jangan, seluruh entitas di sekitar kita, bahkan diri kita
sendiri, juga adalah karya fiksi?
Komentar