SELAMAT HARI KARTINI
Emansiapasi Jawa ala Kartini
Oleh Junaidi Abdul Munif
Tanggal 21 April selalu dirayakan oleh Bangsa Indonesia dengan gegap gempita. Terutama kaum perempuan yang menganggap Kartini adalah pelepas belenggu eksistensi kaum wanita. Karena keberanaian Kartini, para wanita bisa menikmati posisi yang setara (meski belum sepenuhnya) dan sejajar dengan laki-laki.
Kartini lewat surat-suratnya yang terkumpul dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang sejatinya tidak hanya memperjuangkan kaum wanita saja. Lebih dari itu, ia juga memperjuangkan emensipasi Jawa, bahkan Indonesia.
Dalam surat-surat Kartini yang ditujukan kepada Menteri Jajahan Idenburg dan Gubernur Jenderal Roosenboom (1903) dalam buku Kartini dari Sisi Lain, Malacak Pemikiran Kartini tentang Emansipasi Bangsa (Dri Arbaningsih, Penerbit Buku Kompas, 2009) mengungkap hal-hal yang selama ini menyempitkan perjuangan Kartini hanya sebatas emansipasi wanita saja.
Wanita dan Jawa pada masa Kartini adalah entitas yang paralel. Wanita menjadi kaum kelas dua di bawah laki-laki, sehingga tak mendapatkan perlakuan yang istimewa. Di antaranya adalah wanita tak boleh mengenyam pendidikan.
Jawa pun begitu. Menjadi bangsa kelas dua di bawah kolonialisme Belanda. Orang Jawa pun tak bisa mendapatkan perlakuan yang istimewa seperti kaum Belanda. Jabatan tertinggi yang dipegang orang Jawa pun paling hanya Bupati atau Demang yang bersentuhan langsung dengan rakyat.
Meski saat itu Belanda mulai menerapkan politik balas budi, di mana orang pribumi bisa sekolah ke Belanda, tapi lebih diprioritaskan hanya untuk laki-laki. Hal inilah yang diperjuangkan oleh Kartini. Wanita dan Jawa pun boleh bersekolah, bahkan dikirim ke Belanda.
Spirit Kartini
Pada akhirnya, sekuat apa pun Kartini, ia tetaplah seorang wanita yang masih terbelenggu dalam sistem partriarkal Jawa. Pada masa itu, Kartini seorang diri berjuang, sehingga hasilnya pun tak begitu maksimal.
Maka ketika Kartini yang perempuan itu tak bisa bersekolah ke Belanda, ia merekomendasikan seorang pemuda pintar, Agus Salim untuk mendapatkan beasiswa ke Belanda, meski akhirnya gagal. Ini sudah menunjukkan kepeduliannya akan nasib bangsanya. Sekuat apa pun Kartini, ia tetap tak kuat untuk merobohkan bangunan keraton yang membelenggu perempuan.
Spirit Kartini yang tidak hanya memperjuangkan dirinya (kaum wanita) harus terus digelorakan di tengah mulai mengikisnya bangunan patriarkal dan ramahnya publik menerima perempuan untuk eksis di depan. Meski stereopisasi perempuan sebagai kelas dua masih saja ada, bukan menjadi alasan untuk berhenti berjuang.
Jika Kartini berjuang seorang diri, sekarang saatnya muncul kolektivitas Kartini-Kartini baru untuk melanjutkan perjuangannya. Jadi, tidak sepantasnya Kartini hanya dianggap pahlawan oleh kaum perempuan saja. Bangsa Jawa dan Indonesia, layak berterima kasih padanya, karena perjuangannya, wanita, Jawa, dan Indonesia, mendapat perlakuan yang sejajar. Meskipun, lagi-lagi, belum sejajar sepenuhnya.
Oleh Junaidi Abdul Munif
Tanggal 21 April selalu dirayakan oleh Bangsa Indonesia dengan gegap gempita. Terutama kaum perempuan yang menganggap Kartini adalah pelepas belenggu eksistensi kaum wanita. Karena keberanaian Kartini, para wanita bisa menikmati posisi yang setara (meski belum sepenuhnya) dan sejajar dengan laki-laki.
Kartini lewat surat-suratnya yang terkumpul dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang sejatinya tidak hanya memperjuangkan kaum wanita saja. Lebih dari itu, ia juga memperjuangkan emensipasi Jawa, bahkan Indonesia.
Dalam surat-surat Kartini yang ditujukan kepada Menteri Jajahan Idenburg dan Gubernur Jenderal Roosenboom (1903) dalam buku Kartini dari Sisi Lain, Malacak Pemikiran Kartini tentang Emansipasi Bangsa (Dri Arbaningsih, Penerbit Buku Kompas, 2009) mengungkap hal-hal yang selama ini menyempitkan perjuangan Kartini hanya sebatas emansipasi wanita saja.
Wanita dan Jawa pada masa Kartini adalah entitas yang paralel. Wanita menjadi kaum kelas dua di bawah laki-laki, sehingga tak mendapatkan perlakuan yang istimewa. Di antaranya adalah wanita tak boleh mengenyam pendidikan.
Jawa pun begitu. Menjadi bangsa kelas dua di bawah kolonialisme Belanda. Orang Jawa pun tak bisa mendapatkan perlakuan yang istimewa seperti kaum Belanda. Jabatan tertinggi yang dipegang orang Jawa pun paling hanya Bupati atau Demang yang bersentuhan langsung dengan rakyat.
Meski saat itu Belanda mulai menerapkan politik balas budi, di mana orang pribumi bisa sekolah ke Belanda, tapi lebih diprioritaskan hanya untuk laki-laki. Hal inilah yang diperjuangkan oleh Kartini. Wanita dan Jawa pun boleh bersekolah, bahkan dikirim ke Belanda.
Spirit Kartini
Pada akhirnya, sekuat apa pun Kartini, ia tetaplah seorang wanita yang masih terbelenggu dalam sistem partriarkal Jawa. Pada masa itu, Kartini seorang diri berjuang, sehingga hasilnya pun tak begitu maksimal.
Maka ketika Kartini yang perempuan itu tak bisa bersekolah ke Belanda, ia merekomendasikan seorang pemuda pintar, Agus Salim untuk mendapatkan beasiswa ke Belanda, meski akhirnya gagal. Ini sudah menunjukkan kepeduliannya akan nasib bangsanya. Sekuat apa pun Kartini, ia tetap tak kuat untuk merobohkan bangunan keraton yang membelenggu perempuan.
Spirit Kartini yang tidak hanya memperjuangkan dirinya (kaum wanita) harus terus digelorakan di tengah mulai mengikisnya bangunan patriarkal dan ramahnya publik menerima perempuan untuk eksis di depan. Meski stereopisasi perempuan sebagai kelas dua masih saja ada, bukan menjadi alasan untuk berhenti berjuang.
Jika Kartini berjuang seorang diri, sekarang saatnya muncul kolektivitas Kartini-Kartini baru untuk melanjutkan perjuangannya. Jadi, tidak sepantasnya Kartini hanya dianggap pahlawan oleh kaum perempuan saja. Bangsa Jawa dan Indonesia, layak berterima kasih padanya, karena perjuangannya, wanita, Jawa, dan Indonesia, mendapat perlakuan yang sejajar. Meskipun, lagi-lagi, belum sejajar sepenuhnya.
Komentar