RENDAHNYA MILITANSI KADER (KOMPAS, 1 MEI 2009)

Rendahnya Militansi Kader
Oleh Junaidi Abdul Munif

Pemilu 2009 menyisakan banyak masalah. Sistem kepartaian memberi kebebasan bagi masyarakat untuk membuat partai, sehingga menjadi (sangat) multi partai. Partai masih dianggap sebagai representasi ideologi dan arah perjuangan.

Namun, nama-nama partai yang hampir sama dan ”aneh” mengaburkan ideologi sebuah partai. Partai bukan lagi menjadi sebuah identitas. Sekarang, bukan hal yang aneh mendapati seorang tokoh dengan gampangnya pindah dari suatu partai ke partai lain. Partai politik seharusnya mewujudkan garis perjuangan, ideologi yang konsisten dan dipegang teguh selama partai itu ada.

Bangsa kita tampaknya masih terjangkit virus euforia reformasi 1998 yang membuka belenggu demokrasi orde baru. Demokrasi diterjemahkan dengan membuat kelompok partai sesuai dengan keinginan. Seolah, negara demokrasi yang baik adalah negara yang terbuka pada suara-suara apa pun.

Dari tiga kali penyelenggaraan pemilu seusai reformasi1998, meski jumlah partai naik-turun, terbukti hanya beberapa partai saja yang mampu memenuhi electoral threshold. Tidak ada 25 persen dari seluruh partai yang mampu bertahan. Partai politik harus melewati “seleksi alam” agar bisa menjadi kontestan pemilu selanjutnya.
Ini membuktikan bahwa sebetulnya dari partai yang memenuhi electoral theshold tersebut cukup mewakili beberapa kepentingan (kelompok) masyarakat. Seperti kalangan nasionalis-sekuler, nasionalis-agamis, dan agamis.

Dari banyaknya partai yang jadi kontestan pemilu 2009, mayoritas adalah pecahan dari partai-partai besar. Ada kader tak mendapat ruang di partai tersebut, lalu keluar dan membentuk partai baru. Mentalitas mutung (jawa: kecewa) ini harus dihilangkan. Platform partai adalah arah gerak kolektif parpol, sehingga egoisme pribadi harus disingkirkan.

Ada beberapa faktor kunci yang bisa dilakukan agar jumlah partai tidak terlalu banyak. Pertama, secara genealogis, platform partai-partai tersebut mayoritas sama. Potensi ini bisa dijadikan alasan untuk melebur partai-partai tersebut menjadi sebuah partai besar.

Kedua, pengaburan ideologi. Setelah penghitungan suara banyak parpol yang tak memenuhi electoral threshold akhirnya demi mendapat kursi dan mencalonkan capres harus berkoalisi dengan partai lain yang beda ideologi. Bagi kader partai yang militan, ini bisa dianggap sebagai pengkhianatan terhadap ideologi partai karena berkoalisi dengan partai yang beda ideologi.

Ketiga, sistem multi partai berdampak pada anggaran pemilu yang membengkak. Anggaran yang dikeluarkan tak sebanding dengan hasil yang didapatkan. Terbukti ketika pemilu sudah dilaksanakan, banyak pihak yang menuntut diadakan penghitungan ulang, bahkan pemilu ulang karena diindikasikan banyak kecurangan.

Keempat, fungsi partai harus dikembalikan lagi ke awal, yaitu organisasi politik yang menampung aspirasi rakyat demi perbaikan kondisi bangsa. Sebab selama ini partai telah beralih fungsi menjadi kendaraan politik demi mencapai tujuan pribadi sebagai wakil rakyat, yang juga telah berubah fungsi menjadi pekerjaan.

Sistem multi partai memberikan pendidikan politik yang tak baik bagi masyarakat. Ketidakkonsistenan dalam menjadi kader partai bisa menjadi indikator ketidakkonsistenan pada hal lain. Karena itu selayaknya demokrasi tidak berjalan pada tataran prosedural (multi partai), tetapi substansial (keterwakilan publik).

MAHASISWA PAI UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Prie GS; Abu Nawas Zaman Posmo

coretan tentang hujan dan masa kecil