ADAKAH BUDAYA KORUPSI

Kita sering mendengar istilah “budaya korupsi”. Artinya kurang lebih demikian; korupsi telah menjadi budaya di masyarakat. Wikipedia Indonesia mendefinisikan budaya sebagai “suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi”. Benarkah korupsi itu laik disebut sebagai cara hidup dan akan diwariskan dari generasi ke generasi? Apa dalih pembenarnya jika korupsi sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa) disebut sebagai sebuah budaya?

Menyebut korupsi sebagai budaya secara bahasa adalah sebuah kesalahan fatal. Jika percaya bahwa bahasa berpengaruh pada definisi, makna, pemahaman, dan pada akhirnya memunculkan tindakan suatu masyarakat, maka frase “budaya korupsi” adalah “dosa besar” yang membuat pembangunan infrastruktur negara tidak maksimal karena dananya dikorupsi. Dunia politik (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) kini menjadi njlimet karena gurita korupsi yang telah menjerat alat-alat negara tersebut. Kasus-kasus korupsi berlimpah, namun menguap begitu saja.

Bung Hatta pada tahun 1970-an menyebut korupsi sebagai budaya. Jika hal ini ditandai sebagai pondasi awal frase budaya korupsi, berarti ada rentang waktu sekitar 40 tahun sejak “statemen” Bung Hatta itu digulirkan, sampai sekarang. Saat itu korupsi mungkin belum semassif sekarang. Namun budaya selalu bekerja dalam sistem bawah sadar dalam rentang waktu yang lama. 40 tahun menjadi waktu yang cukup bagi pembentukan nalar koruptif masyarakat.

Intensitas penyebutan “budaya korupsi” secara terus menerus akan melahirkan konklusi bahwa korupsi adalah sebuah kelaziman di masyarakat. Kelaziman, tradisi, kebiasaan di masyarakat adalah anasir yang membuat itu dimaklumi, mendapat pembenaran sosial, meski melanggar hukum agama. Di zaman kolonialisme cultural stelseel (tanam paksa), pemerintah Belanda akan memberi hadiah bagi pejabat pribumi jika berhasil menyerahkan hasil upeti (pajak) dalam jumlah yang banyak dan waktu yang lebih cepat. Akhirnya pejabat pribumi memeras keringat para petani (yang sama-sama pribumi) agar hasilnya lebih banyak.

Budiarto Shambazy dalam sebuah kolom di harian Kompas, menyebutkan bahwa utang (bantuan) ke negara dunia ketiga adalah sebuah strategi untuk melanggengkan korupsi itu sendiri. Mereka yakin, bahwa pejabat di negara berkembang akan mengorupsi dana bantuan. Ketika tiba saatnya membayar utang, aset-aset negara dijual dengan harga murah. Maka tidak mengherankan saat Kompas menurunkan laporan Ketika Korupsi Menjadi Banal (22/8/2010), yang mengutip Hadi Supeno, mantan Wakil Bupati Banjarnegara, penulis buku Korupsi di Daerah, Kesaksian, Pangalaman, dan Pengakuan; “Percayalah, kebanyakan masyarakat Indonesia itu sudah permisif terhadap korupsi”.

Robinhood

Mau tak mau kita “dituntut” sepakat dan (harus) percaya bahwa korupsi itu memang menjadi budaya di masyarakat. Bahwa sebagian besar masyarakat kita pernah terlibat korupsi. Terutama yang pernah duduk sebagai pejabat negara atau pemerintahan. Meski secara legal formal hukum sulit dibuktikan. Karena “kelemahan” hukum kita selalu mengacu pada bukti-bukti yang tampak (empiris).

Korupsi telah mengalami pemakluman. Semua tahu bahwa korupsi itu salah. Namun karena sudah menjadi “budaya masyarakat”, ia dianggap biasa saja. Kalau korupsi saja ketahuan dan sampai ditangkap dan dipenjara, itu pasti koruptor yang sedang apes. Korupsi saja tidak canggih.

Koruptor yang tidak menikmati hasil korupsi untuk dirinya sendiri, tapi diberikan untuk kelompoknya atau orang lain, tampil layaknya Robinhood, pahlawan dari Inggris yang menggunakan kehebatannya untuk mencuri, merampok, namun disumbangkan untuk masyarakat kecil yang tertindas, bukan untuk dirinya sendiri. Seperti Raden Said (Sunan Kalijaga) yang di masa mudanya terkenal sebagai Berandal Lokajaya yang beraksi seperti Robinhood.

Kini muncul adagium, korupsi yang dibenarkan adalah korupsi seperti Robinhood tersebut. Kalau korupsi untuk dirinya sendiri, itu adalah sejahat-jahatnya korupsi. Kebijakan dan undang-undang dimanipulasi agar korupsi mendapatkan jalan tol yang bebas hambatan. Munculnya korupsi-mengorupsi karena didorong oleh sebuah tradisi sektarianisme-kelompokisme. Lingkaran kelompok telah meneguhkan feodalisme di masyarakat kita, yakni koncoisme dan nepotisme. Para pejabat akan menarik kolega untuk “membantunya” agar “nyaman” berkorupsi.

Kawan yang berasal dari kelompoknya akan mudah diberi sumber daya ekonomi. Maka tak salah jika perebutan sebuah jabatan tertentu tak ubahnya rebutan lahan korupsi. Para elite akan berlomba-lomba agar bisa menduduki jabatan tersebut dengan berbagai cara, termasuk menyuap. Sentimen ormas juga menjadi cara dalam ungkap mengungkap korupsi. Terjadi persaingan untuk mengkriminalkan pejabat dari ormas lain agar terungkap kasus korupsinya. Lantas kursi empuk itu gantian didudukinya. Jika sampai meninggal kasus korupsinya belum terungkap, anggap saja dia sedang bernasib baik.

Kita seperti disitir Pramoedya Ananta Toer, adalah bangsa yang tidak mentradisikan proses produksi. Hanya kenal budaya makan (konsumsi) dan abai pada budaya tanam (produksi). Ketika kebutuhan melangit tak tercukupi oleh gaji resmi, maka korupsi adalah jalan satu-satunya. Korupsi menjadi “jalur alternatif" untuk memenuhi hasrat (desire) akan nafsu hedonistis.

Jelas bahwa masifnya korupsi di negeri ini banyak dipengaruhi oleh faktor budaya masyarakat. Selain berharap pada KPK sebagai lembaga yang memberantas korupsi, kita sepatutnya melakukan gerakan kebudayaan, gerakan dekonstruksi “budaya korupsi”. Segala bentuk perilaku yang mengarah korupsi, mesti kita lawan. Kita tidak sadar bahwa frase “budaya korupsi” yang kita pakai dalam rentang waktu yang cukup lama itu berdampak luar biasa.

Kita sekarang menghadapi sebuah zaman, sebuah generasi yang tumbuh dalam “kebudayaan korupsi”. Banyak pejabat negara tersandung kasus korupsi. Dari sini kita patut untuk merenung, apakah kita termasuk koruptor, atau hanya ikut menikmati hasil korupsi para “Robinhood” itu?

Junaidi Abdul Munif
Peneliti el-Wahid Center, Universitas Wahid Hasyim Semarang

Dimuat di okezone.com pada 27 Januari 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Prie GS; Abu Nawas Zaman Posmo

coretan tentang hujan dan masa kecil