GAIRAH BUKU ISLAM HOW TO
Gairah Buku Islam How To
Selasa, 08/02/2011 09:00 WIB - Junaidi Abdul Munif
Peneliti el-Wahid Center, Universitas Wahid Hasyim Semarang
Setiap ke toko buku dan menghampiri stan yang menjual buku-buku berlabel agama Islam, perasaan saya selalu gundah. Saya melihat deretan buku-buku Islam yang tidak terlalu tebal, bersampul cukup meriah, dengan nama penulis yang entah kenapa agak kearab-araban. Buku-buku jenis ini dengan mudah dijumpai karena berada di stan yang berjajar pendek, tempat berlalu- lalangnya para pengunjung.
Sementara buku-buku Islam yang lain berada di rak yang cukup tinggi, sulit dijangkau. Buku-buku di rak ini tebal-tebal, bercorak pemikiran kritis keagamaan. Menunjukkan bahwa buku-buku ini lahir dari proses pergulatan pemikiran yang panjang. Hasil kerja intelektual yang mungkin melelahkan.
Gejala dunia perbukuan keislaman memang menggeliat beberapa tahun terakhir, terlebih saat bulan Ramadan tiba. Orang-orang seperti bergairah untuk kembali mempelajari Islam. Mempelajari agama lebih mendalam. Tujuannya tentu saja agar kualitas keberagamaan menjadi lebih meningkat.
Saya dan seorang kawan sepakat menamai buku-buku keislaman ini sebagai buku Islam how to. Laiknya buku-buku petunjuk praktis sebuah keilmuan. Buku-buku Islam ini memang diformat untuk menjadi buku yang praktis, ringan, tidak perlu mengerutkan dahi ketika mendarasnya. Buku Islam how to adalah petunjuk bagaimana beribadah yang baik, fadhilah (keutamaan) ibadah, dan rahasia di balik ibadah yang dilakukan setiap muslim.
Pada titik tertentu, mencari apa di balik perintah beribadah adalah semangat rasionalitas yang dibawa modernitas. Bagi masyarakat yang terbiasa berpikir untung rugi, mengetahui keuntungan dari sebuah ibadah adalah nilai plus yang membuat mereka akan semakin bersemangat beribadah. Apalagi ketika buku-buku Islam how to tersebut dipenuhi ayat Alquran dan hadis Nabi yang menambah bobot dan kualitas buku tersebut. Kawan saya menyebut buku-buku seperti ini layaknya buku kumpulan khotbah, asal comot ayat Alquran dan hadis, serta ditulis tanpa riset yang mendalam. Buku-buku seperti ini memang lahir dari rahim momentum yang dinamis dan bergerak cepat.
Hadis nabi menerangkan bahwa ada tiga tipe ‘abid (orang yang beribadah). Pertama adalah ibadahnya hamba (budak) yang beribadah karena takut siksa dan hukuman. Kedua, ibadah al tujar (ibadah pedagang) yang beribadah dalam koridor untung rugi. Dan terakhir adalah beribadah karena semata-mata kecintaan pada Allah.
Dalam khasanah sufistik, cerita bagaimana Rabiah Adawiyah, sufi perempuan yang membawa obor dan air di kedua tangannya untuk membakar surga dan menyiram neraka, karena melihat ada orang yang beribadah karena menginginkan surga dan takut neraka, sangat mahsyur untuk menjelaskan tipologi tiga ibadah umat beragama.
Euforia Berislam
Saya teringat tesis Peter L Berger, bahwa dunia yang semakin modern, tidak akan pernah menggusur naluri keberagaman manusia. Semakin modern (rasional) seseorang, tetap merasa ada yang kurang dalam diri manusia yang tak didapatkan dalam pola kehidupan modern yang rasional-matematis-mekanis itu.
Naluri mencari spiritualitas (Tuhan?) dihinggapi oleh manusia modern. Modernitas, dan mungkin posmodernitas sebelumnya dianggap akan menggusur hal-hal yang irasional, termasuk agama, yang oleh Freud disebut sebagai candu dan pelarian manusia ketika tidak mampu menghadapi fenomena alam. Jika di negara-negara sekuler tumbuh aliran-aliran spiritualitas, yoga, sufisme yang tak terikat formalitas sebuah agama, di Indonesia gejalanya lain.
Tradisi kita adalah tradisi keagamaan. Maka naluri pencarian spriritualitas itu tetap dalam koridor agama formal yang diakui di Indonesia. Pencarian spiritualitas itu membawa masyarakat kita kembali menengok agama-agama formal. Semangat pencarian spiritualitas itu meneguhkan kembali agama mereka yang telah dianut secara turun-temurun.
Pertanyaan yang diam-diam mengganggu saya adalah, kenapa buku-buku Islam itu relatif laku dibanding buku-buku “babon” Islam yang berat dan bercorak pemikiran kritis?” Pertama, saya melihat gejala modernitas masyarakat yang instan, praktis, dan serba cepat juga berpengaruh pada apa yang mereka baca. Buku-buku Islam how to menawarkan instanitas itu. Sehabis membaca buku tersebut, tak perlu berpikir, apalagi menggugat “doktrin” agama di buku-buku tersebut. Mereka tinggal melakukan saja yang “diperintahkan” penulis buku itu.
Kedua, kehidupan sosial, politik, dan ekonomi yang berat membuat pemikiran mereka juga ingin praktis dan mudah dalam hal (pemikiran?) keagamaan. Gampangnya begini, jika dalam kehidupan sehari-hari mereka sudah dipusingkan dengan beban hidup yang berat, kenapa mesti memikirkan yang berat-berat juga dalam hal keagamaan? Bukankah hanya akan menambah berat saja beban kehidupan ini?
Buku-buku Islam how to memang sedang booming dan menjadi tren. Namun, tipikal dari buku-buku yang “sekadar” ditulis tanpa riset panjang adalah buku yang gampang dilupakan. Dan, masyarakat kita adalah masyarakat pelupa yang gampang amnesia pada sejarah. Yang sedikit menghibur adalah, masih banyak orang mau membeli buku dan membaca buku.
Dimuat di Harian Joglosemar, 8 Februari 2011
Selasa, 08/02/2011 09:00 WIB - Junaidi Abdul Munif
Peneliti el-Wahid Center, Universitas Wahid Hasyim Semarang
Setiap ke toko buku dan menghampiri stan yang menjual buku-buku berlabel agama Islam, perasaan saya selalu gundah. Saya melihat deretan buku-buku Islam yang tidak terlalu tebal, bersampul cukup meriah, dengan nama penulis yang entah kenapa agak kearab-araban. Buku-buku jenis ini dengan mudah dijumpai karena berada di stan yang berjajar pendek, tempat berlalu- lalangnya para pengunjung.
Sementara buku-buku Islam yang lain berada di rak yang cukup tinggi, sulit dijangkau. Buku-buku di rak ini tebal-tebal, bercorak pemikiran kritis keagamaan. Menunjukkan bahwa buku-buku ini lahir dari proses pergulatan pemikiran yang panjang. Hasil kerja intelektual yang mungkin melelahkan.
Gejala dunia perbukuan keislaman memang menggeliat beberapa tahun terakhir, terlebih saat bulan Ramadan tiba. Orang-orang seperti bergairah untuk kembali mempelajari Islam. Mempelajari agama lebih mendalam. Tujuannya tentu saja agar kualitas keberagamaan menjadi lebih meningkat.
Saya dan seorang kawan sepakat menamai buku-buku keislaman ini sebagai buku Islam how to. Laiknya buku-buku petunjuk praktis sebuah keilmuan. Buku-buku Islam ini memang diformat untuk menjadi buku yang praktis, ringan, tidak perlu mengerutkan dahi ketika mendarasnya. Buku Islam how to adalah petunjuk bagaimana beribadah yang baik, fadhilah (keutamaan) ibadah, dan rahasia di balik ibadah yang dilakukan setiap muslim.
Pada titik tertentu, mencari apa di balik perintah beribadah adalah semangat rasionalitas yang dibawa modernitas. Bagi masyarakat yang terbiasa berpikir untung rugi, mengetahui keuntungan dari sebuah ibadah adalah nilai plus yang membuat mereka akan semakin bersemangat beribadah. Apalagi ketika buku-buku Islam how to tersebut dipenuhi ayat Alquran dan hadis Nabi yang menambah bobot dan kualitas buku tersebut. Kawan saya menyebut buku-buku seperti ini layaknya buku kumpulan khotbah, asal comot ayat Alquran dan hadis, serta ditulis tanpa riset yang mendalam. Buku-buku seperti ini memang lahir dari rahim momentum yang dinamis dan bergerak cepat.
Hadis nabi menerangkan bahwa ada tiga tipe ‘abid (orang yang beribadah). Pertama adalah ibadahnya hamba (budak) yang beribadah karena takut siksa dan hukuman. Kedua, ibadah al tujar (ibadah pedagang) yang beribadah dalam koridor untung rugi. Dan terakhir adalah beribadah karena semata-mata kecintaan pada Allah.
Dalam khasanah sufistik, cerita bagaimana Rabiah Adawiyah, sufi perempuan yang membawa obor dan air di kedua tangannya untuk membakar surga dan menyiram neraka, karena melihat ada orang yang beribadah karena menginginkan surga dan takut neraka, sangat mahsyur untuk menjelaskan tipologi tiga ibadah umat beragama.
Euforia Berislam
Saya teringat tesis Peter L Berger, bahwa dunia yang semakin modern, tidak akan pernah menggusur naluri keberagaman manusia. Semakin modern (rasional) seseorang, tetap merasa ada yang kurang dalam diri manusia yang tak didapatkan dalam pola kehidupan modern yang rasional-matematis-mekanis itu.
Naluri mencari spiritualitas (Tuhan?) dihinggapi oleh manusia modern. Modernitas, dan mungkin posmodernitas sebelumnya dianggap akan menggusur hal-hal yang irasional, termasuk agama, yang oleh Freud disebut sebagai candu dan pelarian manusia ketika tidak mampu menghadapi fenomena alam. Jika di negara-negara sekuler tumbuh aliran-aliran spiritualitas, yoga, sufisme yang tak terikat formalitas sebuah agama, di Indonesia gejalanya lain.
Tradisi kita adalah tradisi keagamaan. Maka naluri pencarian spriritualitas itu tetap dalam koridor agama formal yang diakui di Indonesia. Pencarian spiritualitas itu membawa masyarakat kita kembali menengok agama-agama formal. Semangat pencarian spiritualitas itu meneguhkan kembali agama mereka yang telah dianut secara turun-temurun.
Pertanyaan yang diam-diam mengganggu saya adalah, kenapa buku-buku Islam itu relatif laku dibanding buku-buku “babon” Islam yang berat dan bercorak pemikiran kritis?” Pertama, saya melihat gejala modernitas masyarakat yang instan, praktis, dan serba cepat juga berpengaruh pada apa yang mereka baca. Buku-buku Islam how to menawarkan instanitas itu. Sehabis membaca buku tersebut, tak perlu berpikir, apalagi menggugat “doktrin” agama di buku-buku tersebut. Mereka tinggal melakukan saja yang “diperintahkan” penulis buku itu.
Kedua, kehidupan sosial, politik, dan ekonomi yang berat membuat pemikiran mereka juga ingin praktis dan mudah dalam hal (pemikiran?) keagamaan. Gampangnya begini, jika dalam kehidupan sehari-hari mereka sudah dipusingkan dengan beban hidup yang berat, kenapa mesti memikirkan yang berat-berat juga dalam hal keagamaan? Bukankah hanya akan menambah berat saja beban kehidupan ini?
Buku-buku Islam how to memang sedang booming dan menjadi tren. Namun, tipikal dari buku-buku yang “sekadar” ditulis tanpa riset panjang adalah buku yang gampang dilupakan. Dan, masyarakat kita adalah masyarakat pelupa yang gampang amnesia pada sejarah. Yang sedikit menghibur adalah, masih banyak orang mau membeli buku dan membaca buku.
Dimuat di Harian Joglosemar, 8 Februari 2011
Komentar