DEMOKRASI TANPA DEMOS

Demokrasi tanpa ‘Demos’

Junaidi Abdul Munif, Peneliti el-Wahid Center, Universitas Wahid Hasyim, Semarang.

Apa yang kita dapatkan dari proses demokrasi hari ini? Setelah terkurung dalam demokrasi semu (psuedo democracy) selama rezim Orde Baru, kita mengalami euforia demokrasi yang mengharu biru negeri. Kata "demokrasi" menjadi sakti untuk melawan segala bentuk kesewenang-wenangan dan status quo warisan Orde Baru. Apa yang dianggap tak sesuai dengan prinsip demokrasi akan dilawan.

Demokrasi adalah subsistem dari politik. Sedangkan politik, mengacu pada Aristoteles, adalah asosiasi atau komunitas manusia untuk mewujudkan kebaikan utama (highest good) (Adian, 2010). Proses demokrasi adalah cara untuk mencapai kebaikan utama tersebut.

Perkembangan demokrasi kita, yang awalnya demokrasi keterwakilan lewat legislatif, kini telah menjadi demokrasi langsung. Mereka yang duduk di legislatif maupun eksekutif benar-benar dipilih oleh rakyat. Tidak ada lagi memilih kucing dalam karung untuk dan suara rakyat dianggap suara Tuhan (vox populi vox dei) dalam demokrasi langsung ini.

Namun, apakah yang kita lakukan selama ini benar-benar telah menjalankan prinsip demokrasi? Masa bulan madu dengan reformasi sepertinya telah usai. Layaknya sebuah gerak pendulum, kita mengalami kembali repetisi (pengulangan) Orde Baru, meski tampil dengan wajah yang berbeda. Jika dulu aktornya adalah rezim yang otoritarian, kini rezim globalisasi-korporasi yang melintasi batas geografis menjadi penentu tegaknya demokrasi di negeri ini.

Dalam pandangan Donny Gahral Adian, Demokrasi Substansial (2010), demokrasi kita telah keluar dari fitrahnya semula. Faktor penting yang menciptakan kondisi seperti ini adalah masuknya liberalisme dalam demokrasi. Menurut dia, demokrasi dan liberalisme adalah hubungan yang saling menegasi.

Namun, kenyataannya, kita tak bisa mengelak bahwa demokrasi dan liberalisme menjalin hubungan yang sangat mesra di negeri ini. Liberalisme adalah anak kandung kapitalisme yang menjadikan nilai lebih suatu barang menjadi tujuan utama. Demokrasi adalah barang yang dicari nilai lebihnya itu.

Layaknya sebuah kapitalisme yang oleh pencetusnya, Adam Smith mengandaikan tangan yang tak terlihat (the invisible hand) sebagai aktor utama, maka dalam demokrasi kita, banyak tangan-tangan yang tak terlihat itu. Mereka menjadi cukong yang mensponsori aktor politik dalam pemilihan umum.

Pemahaman demokrasi yang kita pahami masih terlalu sempit, yakni hanya keterlibatan dan kesertaan warga dalam memberikan hak suara dalam pemilu. Rakyat belum terlibat langsung dalam proses pengambilan kebijakan politik. Keterwakilan mereka di legislatif menyimpan tanda tanya besar.

Kita acap silau bahwa demokrasi yang telah kita jalankan telah sesuai dengan makna demokrasi. Demos (rakyat) sebagai organ esensial dalam sistem demokrasi, menjadi pihak yang penting untuk dilibatkan. Kesejahteraan rakyat adalah tujuan utama dalam prinsip politik kebangsaan. Ketika kesejahteraan itu tak kunjung hadir, maka ada yang belum terselesaikan dalam praksis demokrasi kita.

Rakyat ditinggalkan dalam proses demokrasi. Elite politik di Senayan sebagai representasi suara rakyat justru hadir dalam wajah yang kamuflatif. Rumah aspirasi, dana aspirasi, atau apa pun namanya adalah kamuflase kebijakan untuk mempertebal kantong pribadi wakil rakyat. Studi banding kerap dilakukan kendati banyak kritik dari masyarakat. Kesejahteraan rakyat masih jauh dari harapan, rakyat masih bergelut dengan problematikanya tanpa tahu harus mengadu kepada siapa.

Bahkan legislatif dan rakyat belum menjalin hubungan yang sinergis. Jika legislatif adalah representasi suara rakyat, semestinya, legislatif, dan konstituen (rakyat) menjadi ruang publik politis. Menurut Habermas, dalam ruang publis politis , legislatif dan rakyat harus berkomunikasi dan membentuk kehendak bersama secara diskursif (Habermas; 1990). Selama ini langkah dan kebijakan yang diambil DPR justru bertentangan dengan keinginan dan kebutuhan rakyat.

Kondisi timpang ini mesti segera dibenahi kalau kita tak ingin negara ini jatuh dalam jurang kehancuran. Jika memang demokrasi menjadi pilihan sistem politik di Indonesia, rakyat harus dilibatkan secara aktif. Pelibatan mereka bukan hanya partisipasi dalam pemilu, tapi dialog yang terus digalakkan untuk mencapai konsensus bersama antara pemerintah dan demos (rakyat).

Dimuar di Lampung Post, 7 Februari 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Resensi Novel Akik dan Penghimpun Senja

coretan tentang hujan dan masa kecil