Mobil Esemka dan Uji Nyali Pemerintah Oleh Junaidi Abdul Munif Saat ini SMK sedang digembar-gemborkan sebagai lembaga pendidikan yang akan mampu mencetak tenaga-tenaga terampil di bidang tertentu. Pemerintah menargetkan bahwa tahun 2020-2025 jumlah SMK dan SMA adalah 70:30. Dari sini jelas terlihat arah filosofis dan praksis kebijakan pemerintah di bidang pendidikan anak bangsa. Saya pernah beranggapan bahwa penggenjotan SMK adalah sebentuk “megaproyek” untuk membuat anak Indonesia hanya menjadi pekerja di negeri sendiri. Alasan ini saya kemukakan karena melihat beberapa faktor prediktif-asumtif. Pertama, arah yang belum jelas (antara kreasi atau sekadar produksi) yang diharapkan dari SMK. Kedua, produk yang belum jelas (atau sengaja tidak diekspose?) dari SMK. Ketiga, kultur latah masyarakat yang ramai-ramai mengajukan izib untuk mendirikan SMK baru tanpa melihat kemampuan finansial dan SDM yang akan mendukung. Keempat, sikap ambigu dan setengah-setengah dari pemerintah untuk memajukan SMK. Dan kelima, daya serap lulusan SMK ke dunia industri masih rendah. Prestasi SMK 2 Solo yang berhasil merakit mobil Esemka dan direspon positif oleh wali kota Solo, Joko Widodo (Jokowi) dengan memakainya sebagai mobil dinas, seperti meruntuhkan prediksi dan asumsi negatif saya. Kelima faktor yang saya sebutkan di atas, ternyata hanyalah faktor kelas dua. Faktor utamanya adalah kemauan pemerintah untuk mendukung dan mem-beking program yang dicanangkannya. Ini termasuk pula bagaimana pejabat publik dan politisi merespon, dengan opini di media massa atau kepedulian langsung (membeli produk) yang akan membuat SMK semakin bergairah untuk berkreasi-produksi. Dalam kacamata komunikasi, opini yang dibangun lewat media justru melupakan substansi mobil Esemka sebagai hasil kreasi anak bangsa. Alih-alih memberi “pencerahan” kepada masyarakat, yang ada malah menciptakan masyarakat yang bimbang. Sangat tidak adil membandingkan mobil Esemka dengan mobil impor yang dipakai sebagai kendaraan dinas pejabat daerah. Mobil impor tersebut telah berproduksi puluhan tahun dan mengalami riset pengembangan yang membutuhkan biaya mahal. Sedang mobil Esemka baru-baru ini tumbuh. Jika didukung dana yang cukup untuk mengembangkan riset, bukan mustahil lima atau sepuluh tahun kemudian, mobil Esemka akan sama kualitasnya dengan mobil impor tersebut. Nasionalisme Ekonomi Ketika isu-isu kelayakan mobil Esemka diekspos ke publik, ini akan mematikan proses pengembangan mobil Esemka sendiri. Memakai filosofi entrepeneurship, SMK harus menjadi laboratorium bagi munculnya produk-produk inovatif hasil kreasi generasi anak muda bangsa. Namun, karena SMK tidak hidup di ruang hampa, mereka, -mau tak mau- harus melibatkan masyarakat, media, dan pemerintah. Pemberitaan mobil Esemka hadir dengan isu-isu yang kemudian keluar dari substansi. Isu yang berkembang justru tidak produktif karena cenderung melemahkan mobil Esemka dengan menganggapnya sebagai mobil yang belum layak pakai. Heppy Trenggono (Kompas, 11/1/2012) menyebut fenomena demikian rentan ditunggangi perusahaan asing yang memiliki modal besar sehingga mampu membayar peneliti-peneliti pesanan. Ada dua kacamata yang dipakai untuk melihat fenomena mobil Esemka. Pertama, ekonomi positivistik; bahwa barang yang dibeli harus memenuhi kriteria yang layak pakai. Kedua, nasionalisme ekonomi; membeli produk dalam negeri adalah bentuk peningkatan ekonomi rakyat, yang akan memengaruhi ekonomi bangsa secara makro. Kendati pandangan ini memakai landasan “chauvinistik”. Dalam logika alur ekonomi, masyarakat adalah titik akhir dari pemasaran produk. Mereka yang akan menentukan sebuah produk akan bertahan atau tidak. Namun, sebelum pada tindakan masyarakat yang memakai atau membeli, media dan pemerintah menjadi pemeran aktif. Dua pihak ini yang akan sangat menentukan apakah masyarakat akan memakai sebuah produk dalam negeri atau tidak. Kalau media yang diandaikan berpihak pada rakyat, tunjukkan bahwa mobil Esemka dan produk dalam negeri lainnya layak pakai. Jangan membuat isu-isu kontraproduktif yang akan melemahkan survivalitas mobil Esemka, meski dengan alibi objektifitas dalam melihat kualitas produk. Padahal kualitas sendiri, kalau mau dikejar lebih jauh, adalah hal yang bersifat subjektif dan parsial. Sebuah produk menurut A, hanya pada sisi tertentu yang bagus, dan menurut B yang bagus adalah sisi lainnya. Mengukur kualitas dengan standar yang seragam justru menafikan otentisitas suatu produk. Gampangnya, media boleh berbohong kecil (kualitas mobil yang masih bisa dikembangkan) untuk tujuan besar jangka panjang (program mobil nasional). Pemerintah harus berdiri di pihak yang mendorong sekaligus mengajak masyarakat untuk ramai-ramai memakai produk anak bangsa. Pertama, pemerintah memberikan bantuan dana penelitian yang cukup besar bagi SMK dan tingkat selanjutnya (perguruan tinggi dan lembaga riset). Kompas (14/12/2011) merilis laporan betapa pemerintah menganggarkan APBN yang sedikit untuk pengembangan penelitian. Akibatnya adalah penelitan tidak pernah tuntas dan hasil belum bisa disebarkan kepada masyarakat. Kedua, pemerintah memberi kemudahan bagi produk SMK untuk bersaing di pasar domestik, kalau perlu pasar luar negeri. Ini dapat meningkatkan pemasukan modal bagi SMK untuk mengembangkan penelitian produknya. Secara psikologis, akan membuat SMK tampil lebih percaya diri karena produknya diterima luas oleh masyarakat. Ketiga, pemerintah harus satu suara. Pendapat Bibit Waluyo yang mencibir Jokowi dan Mendikbud, Muhammad Nuh yang mendukung Jokowi menunjukkan pemerintah tidak solid untuk mensukseskan program-program SMK. Ketidaksolidan tersebut dapat membingungkan masyarakat tentang siapa yang harus diikuti anjurannya. Berorientasi Proses Mentalitas orang Indonesia sepertinya masih terjebak pada instanisasi dan berorientasi hasil. Mereka menutup mata dengan menihilkan proses yang terus berlangsung, padahal proses adalah serangkaian tindakan dan percobaan untuk meningkatkan kualitas produk (hasil). Tanpa melalui proses yang baik, tak mungkin akan mendapat hasil yang baik. Masyarakat, terutama pejabat publik (yang rentan ditunggangi) kepentingan ekonomi-politik, harus menjadi pelopor nomor satu untuk menghargai sebuah produk dari prosesnya. Pendidikan, di tataran apa pun, adalah sebentuk proses yang kalau mau dilihat secara idealis, adalah proses yang tak pernah selesai, --kecuali manusia itu meninggal dunia. Namun, kalau mau diukur secara realistis, proses dalam pendidikan adalah proses untuk menyiapkan peserta didik (manusia) memiliki bekal untuk melanjutkan ke tingkat pendidikan (tahapan hidup) selanjutnya. Jika diambil simplifikasi, seluruh proses pendidikan, baik teoritis, praksis, pembangunan moral (karakter), dan seluruh ilmu yang dipelajari di lembaga pendidikan (sekolah) akan mendukung dan menjadi alat untuk hidup. Keterampilan akan menjadi modal untuk bekerja, dan karakter (moraliltas) menjadi bekal sosialisasi kepada sesama manusia, lingkungan, dan Tuhan. Karakter akan membentuk nalar etis siswa. Dalam konteks SMK, lulusan SMK harus menjadi kreator dan produsen. Mentalitasnya adalah pengusaha yang berani mengambil risiko, pantang menyerah, dan belajar untuk tidak bergantung sepenuhnya pada bantuan pihak lain. Ada dua aspek yang mesti diterapkan dalam SMK, yakni keterampilan (lifeskill dan psikomotorik) serta ideologi atau mentalitas (nasionalisme ekonomi dan elan wirausaha). Uji Nyali Persoalan SMK dalam perspektif pendidikan an sich, seperti penataan kurikulum, guru profesional, penyediaan alat praktik, link match dengan dunia industri, adalah faktor-faktor yang mudah dipenuhi. Masalahnya, hanya pada kamauan (political will) dari pemerintah yang selama ini menganggap faktor-faktor di atas sebagai penghambat kemajuan SMK dan distribusi lulusan SMK ke dunia industri. Mobil Esemka menjadi bukti keterampilan yang mereka miliki; mampu merakit mobil yang selama ini dikuasai oleh produk asing. Ini menjadi sinyal, SMK dapat mencetak mereka yang memiliki kompetensi untuk memproduksi mobil, bukan hanya siap bekerja untuk perusahaan mobil asing. Akan banyak ditemui SMK-SMK yang memiliki produk yang potensial menjadi produk unggulan, namun tetap menjadi produk kecil karena media dan pemerintah bersikap apatis. Polemik mobil Esemka adalah test case bagi SMK untuk terus survive. Tantangan eksternal yang dilaporkan media massa mesti disikapi dengan bijak, merubah keraguan publik menjadi keyakinan nasional. Polemik ini akan menunjukkan seberapa kuat SMK berdikari dan mengembangkan penelitian yang tidak bergantung dana pemerintah dan setangguh apa SMK melakukan gerilya untuk memasarkan produknya. Pemerintah diuji nyalinya, apakah sekadar memberi bunga-bunga surga bagi anak-anak bangsa yang memilih SMK sebagai jenjang pendidikannya atau bersungguh-sungguh memberi bekal dan kesempatan yang luas bagi mereka. Pemerintah ditantang untuk membuat regulasi yang dapat memicu pertumbuhan produk-produk SMK sebagai embrio ekonomi nasional, atau tetap berkiblat pada pusaran ekonomi global yang kerap mematikan industri-industri lokal. Kalau tak sekarang, kapan lagi?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Prie GS; Abu Nawas Zaman Posmo

coretan tentang hujan dan masa kecil