resensi novel 12 menit
Judul : 12 Menit
Penulis: : Oka Aurora
Penerbit : Nourabooks
Cetakan : I, Mei 2013
Tebal : xiv + 348 halaman
Menjalani Proses Sebagai Tujuan
Seringkali orang berlelah-lelah menjalani proses yang panjang. Menghabiskan banyak tenaga, menyita waktu, menguras materi (uang), serta menekan mental hanya untuk “acara puncak” yang cuma sekian jam, bahkan menit! Murid di sekolah belajar selama tiga tahun untuk ujian nasional (UN) yang hanya dilaksanakan 4 hari. Organisasi mahasiswa melakukan persiapan selama sebulan lebih untuk acara seminar yang hanya 2-3 jam.
Novel 12 Menit ini juga bergerak di lajur yang sama; lelah dalam proses untuk acara puncak yang hanya 12 menit! Rentang waktu yang sangat sebentar itu menjadi kaca benggala bagi setiap kerja keras yang dilakukan, juga cakrawala masa depan yang membentang. Artinya, 12 menit menjadi waktu yang evaluatif, titik beda antara antara “kemarin” dan “besok”.
Tapi waktu 12 menit yang “eksistensial” itu bukanlah ujian sebenarnya. Setahun menuju 12 menit itulah, -dengan dinamika tokoh-tokohnya, problematikanya: keluarga, sekolah, persahabatan, dan cita-cita, -adalah tangga ujian dari seluruh perjuangan itu. Karena tidak mudah menyatukan visi seratusan anggota marching band dengan motivasi individu yang berbeda-beda.
Anak-anak dari latar belakang yang berbeda itu hidup di Bontang, Kalimantan Timur, bergabung dalam Marching Band Bontang Pupuk Kaltim. Mereka cukup sadar diri, anak-anak di daerah bukan seperti anak-anak kota yang dimanjakan oleh fasilitas. Bagi anak-anak Bontang, Jakarta adalah sebuah dunia dari “planet” lain. Perasaan introvert ini menggayuti sebagian besar anggota marching band, yang membuat mereka kalah sebelum “perang”.
Membaca novel ini, kita diajak membayangkan orang menghadapi dilema, dihadapkan pada dua-tiga pilihan yang sulit. Terlebih jika dua pilihan sama-sama menarik. Atau karena perasaan emosional sesaat, memilih sesuatu yang salah. Itulah yang tergambar secara runtut dari novel ini, yang menahbiskan bahwa hidup adalah pilihan, dan setiap pilihan punya risiko dan konsekuensinya sendiri.
Oka Aurora secara rinci memperkenalkan tokoh-tokoh dalam bab-bab tersendiri, menjadi fragmen-fragmen kecil dari keseluruhan novel. Dengan cara begitu, pembaca mengalami intimitas yang kuat dengan tokoh-tokohnya; Rene, Elaine, Tara, Lahang, dll. Intimitas ini yang berpotensi memunculkan empati-mimetik bagi pembaca.
Keruntutan ini bisa dimaklumi, karena novel ini akan difilmkan yang akan disutradari Hanny R. Saputra. Dugaan saya, strategi penceritaan yang urut adalah untuk menjaga agar jarak visualisasi/filmisasi novel tidak memunculkan lubang yang menganga. Sehingga akan muncul sinisme; filmnya gagal memvisualisasikan novel, atau justru filmnya lebih berhasil dibanding novelnya. Novel dan film menjadi dua genre seni yang seling mendukung.
Rene, yang pernah melatih grup marching band di Amerika, mesti berhadapan dengan anak-anak daerah di Bontang, Kalimantan Timur. Ritme kerja dia yang penuh perhitungan, detil, mesti berhadapan dengan anak-anak daerah yang tidak bisa mengimbangi cara kerja Rene. Anak-anak yang dalam tindakannya hampir nir-impian, dan kalaupun punya impian, hadir secara malu-malu. Seperti Lahang yang selalu membawa sobekan koran yang memajang foto Monas (monumen nasional).
Ada benturan kebudayaan antara Joshuke (ayah Elaine, orang Jepang) dalam memandang nilai akademik dan waktu. Ada beda pandangan Lahang yang membawa simbol kearifan suku Dayak, dengan Rene yang merupakan anak kandung metropolitan, lengkap disertai atribut pemikiran rasional.
Elaine yang berayahkan seorang Jepang tumbuh dalam kultur “memuja waktu” dan kepastian, termasuk soal ilmu (eksakta). Tara diliputi rasa bersalah karena merasa menjadi penyebab utama kecelakaan yang merenggut ayahnya. Lahang berdiri di tubir dilema, hidup dalam “sentimentalisme” seorang anak kepala suku yang tidak berada di sisi ibunya saat ibunya meninggal, dan menjelang perlombaan ayahnya sakit keras.
Ketika Elaine memilih tetap di marching band, Tara tidak jadi keluar dari tim, atau Lahang yang tetap berangkat ke Jakarta meninggalkan bapaknya yang sakit keras dan akhirnya meninggal, adalah kemenangan tersendiri bagi Rene. Ketiga anak paling potensial itu berhasil dijaga Rene untuk tetap berada dalam tim.
Setahun mereka berlatih, yang penuh dengan dinamika humanistisnya. Proses sering menjadi lebih penting daripada hasil. Kalau yang lebih utama adalah hasil, banyak orang akan menghalalkan segala cara demi hasil yang memuaskan. Tapi, bagaimana proses itu membentuk karakter anak-anak muda yang tak pantang menyerah, siap menghadapi tekanan, berpikir taktis, itu yang lebih penting sebagai hasil dari proses yang panjang.
Soal bagaimana mereka akhirnya menjadi juara umum GPMB, itu hanya “bonus” atas kesungguhan, soliditas, dan menjalani semuanya tanpa beban, -dengan hati. Di stadion Senayan, mereka menjadi bintang, ditaburi sorot lampu kemenangan. Mereka justru menjadi pemenang ketika memandang kompetisi bukan lagi soal menjadi juara pertama.
Novel ini menjelaskan pentingnya sebuah proses, bahwa hasil bisa menjadi nomor sekian ketika untuk proses yang begitu panjang dan penuh lika-liku. Proses pun menjadi puncak tujuan dari segala upaya yang disebut “hasil” itu.
*Junaidi Abdul Munif
Komentar