Belajar Pendidikan pada Gus Dur

Belajar Pendidikan pada Gus Dur
Oleh Junaidi Abdul Munif

Pada 30 Desember 2015 lalu genap enam tahun KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meninggalkan kita semua untuk menghadap Tuhan. Banyak warisan pemikiran Gus Dur yang masih menjadi topik diskusi hingga saat ini, dan tampaknya akan selalu relevan sampai masa depan. Semua itu tidak lepas dari kecemerlangannya dalam melihat berbagai masalah kehidupan untuk menemukan solusinya.

Banyak dari kita mengenal Gus Dur sebagai kiai, politisi, pejuang demokrasi, tokoh toleransi, seorang humanis, dan atribut lain. Tapi penulis yakin, pemikirannya yang melintasi berbagai bidang itu tidak dapat dilepaskan dari proses pendidikan yang dijalani Gus Dur. Menurut sahabatnya, KH. Musthofa Bisri (Gus Mus) dalam salah satu ceramah, Gus Dur belajar banyak ilmu dari khasanah Islam klasik sampai kontemporer. Kalau melihat Gus Dur hanya dengan satu kacamata ilmu, kita tidak akan bisa memahami Gus Dur dan langkah-langkahnya.  

Harus diakui, pendidikan menjadi tema yang kurang populer dilekatkan pada pemikiran Gus Dur. Dalam bukunya yang terkenal, Islamku Islam Anda Islam Kita (2006), misalnya, tema tentang pendidikan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan tema yang lain. Gus Dur menganggap bahwa pendidikan Islam harus memiliki banyak bentuk, tidak bisa diseragamkan. Pendidikan bertujuan agar siswa menguasasi aspek afektif dan piskomotorik, dua hal yang memiliki andil keberhasilan seseorang di zaman ini.

Matra pemikiran pendidikan Gus Dur tidak bisa dilepaskan dari Islam dan pesantren. Penyebutan pesantren sebagai subkultur di Indonesia telah mengindikasikan besarnya peran pesantren untuk pembangunan bangsa. Gus Dur besar dan dibesarkan oleh pesantren, otomatis penguasaan ilmu keislamannya sangat mumpuni. Selain itu, Gus Dur juga kuliah di Mesir, Baghdad, pembaca yang kuat, dan pergaulannya yang luas dengan manusia lintas-entitas, merupakan ruang pendidikan yang memperkaya wawasannya.

     Spirit pendidikan menurut Gus Dur adalah neomodernisme, pembebasan, dan multikulturalisme Faisol (2012). Pemikiran yang juga banyak dicetuskan oleh orang tokoh lain. Yang membedakan adalah Gus Dur selalu punya landasan teologis yang digalinya dari al-Qur’an, hadits, dan teks-teks karya pemikir Islam. Seperti membangun rumah, Gus Dur sudah mempunyai pondasi yang sangat kokoh dan tidak berpengaruh ketika rumah itu dibongkar atau direnovasi. Artinya, arsitektur “rumah pemikiran” Gus Dur boleh saja berganti sesuai tuntutan zaman, tapi tidak pernah meninggalkan kekokohan pondasinya.  

Dua perspektif

Melihat Gus Dur dalam perspektif pendidikan bisa dilihat dari dua cara. Pertama, melihat sosok Gus Dur sebagai seseorang yang haus akan ilmu. Pengembaraan ke beberapa pesantren dilakukannya demi menguasai ilmu-ilmu keislaman. Pendidikan Islam dengan demikian sudah kokoh bagi Gus Dur, dan ini sangat bermanfaat ketika dia berjumpa dengan pemikiran lain. Yang terjadi kemudian adalah Gus Dur melakukan dialog disiplin keilmuan yang berbeda-beda itu sehingga menjadi pemikiran “khas Gus Dur”.
         
           Kedua, salah satu langkah penting Gus Dur ketika menjabat sebagai presiden dari 1999-2001 adalah meliburkan sekolah selama bulan puasa. Yang dipahami dari tujuan libur ini adalah agar siswa yang beragama Islam bisa lebih khusyuk menjalankan ibadah puasa dan ibadah-ibadah lainnya. Sekolah-sekolah merespons kebijakan tersebut dengan menggelar pesantren kilat sebagai kegiatan Ramadan di sekolah.

Jika kita mencermati, ada misi futuristik dari kebijakan yang terdengar tidak lazim itu. Yaitu kesadaran dan pengetahuan agama Islam anak didik kita masih sangat kurang. Sekolah non agama belum mampu mengakomodasi nilai-nilai Islam yang sangat luas itu. Sementara Gus Dur seperti memprediksi bahwa era milenium akan ditandai dengan kebangkitan agama dalam aspek kehidupan manusia, terutama Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Pelajar muslim di masa pemerintahan Gus Dur merupakan generasi yang akan mengalami kebangkitan agama tersebut. Inilah yang terjadi sekarang ketika Islam menjadi legitimasi tindakan umatnya, mulai yang bernuansa kekerasan sampai menebarkan kedamaian. 

Maka, liburan selama Ramadan sepatutnya digunakan untuk memperdalam wawasan keislaman dengan benar. Dan tempat paling tepat untuk itu adalah pesantren. Pesantren tidak hanya menampung santri yang belajar secara penuh selama menempuh jenjang pendidikan, baik di pesantren atau di luar pesantren (setingkat SD sampai perguruan tinggi). Di pesantren ada jenis santri posonan, yaitu santri yang belajar di pesantren hanya pada bulan Ramadhan. Biasanya sampai tanggal 20 Ramadhan. Bagi santri tulen, momen bulan puasa sering dimanfaatkan untuk ngaji kilatan (belajar cepat dengan target kitab bisa khatam dalam waktu 20 hari) di pesantren lain. 

Kita melihat saat ini banyak generasi muda yang belajar agama secara instan dari internet. Akibatnya adalah maraknya paham Islam tekstualis yang begitu mudah menyalah-nyalahkan kelompok lain, bahkan mengharamkan Pancasila dan nasionalisme. Mungkin jika waktu itu sekolah merespon kebijakan Gus Dur dengan model pendidikan yang terintegrasi ke pesantren, hari ini tidak banyak pemikiran Islam yang menyimpang dari mainstream kebangsaan.

Empat pelajaran
Ada empat pelajaran yang dapat kita petik dari Gus Dur terkait dengan pendidikan. Pertama, pesantren memang bukan satu-satunya lembaga pendidikan Islam. Tapi pesantren terbukti menjadi jembatan penyambung rentang pemikiran keislaman sejak zaman Rasulullah sampai sekarang. Selain soal keilmuan, di pesantren juga kuyup dengan etika antara murid dan guru. Sesuatu yang juga layak diterapkan dalam model pendidikan non pesantren.

Kedua, di tengah arus formalisme pendidikan dengan ijasah sebagai “tiket” dunia kerja, tampaknya perlu menengok pemikiran Gus Dur yang lebih mementingkan substansi daripada bungkus (ijasah formal). Esensi pendidikan yang dimiliki oleh seseorang senantiasa membuatnya selalu kreatif dan dinamis. Dia selalu menciptakan ruang-ruang sendiri untuk eksistensi dan berkiprah di masyarakat, menjadi subjek yang aktif, bukan objek yang pasif.

Ketiga, dalam konteks Indonesia yang plural, tempat beragam ideologi keislaman tumbuh subur, pengetahuan tentang Islam sebagai agama, etika, dan nilai sebagai faktor pendorong kemajuan sangat penting. Hasilnya bukan untuk umat Islam sendiri, tapi untuk seluruh masyarakat Indonesia dan dunia. Hal ini sesuai dengan misi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat untuk seluruh alam).  

Keempat, pentingnya menjadi manusia pembelajar yang menyantap berbagai bacaan dan diskusi lintas pemikiran. Ini dilakukan demi memperkaya pengetahuan agar kita tidak berpikir linier. Perbedaan cara pandang adalah modal berharga untuk melakukan titik temu. Ituah yang dilakukan Gus Dur selama hidupnya, termasuk upayanya menemukan titik temu agama-agama dan ideologi yang ada di Indonesia.
        
     Semua agama tentu boleh menyelenggarakan pendidikan yang bertujuan demi Indonesia yang lebih baik. Gus Dur mengembangkan pemikirannya dari Islam dan pesantren, sebagaimana Romo Mangun mengembangkannya dari Katholik dan gereja. Dari  mereka kita menjadi yakin, bahwa agama diciptakan Tuhan tidak untuk membuat manusia saling berperang dan menegasi kemanusiaannya sendiri. Agama, melalui pendidikan, adalah modal manusia menjadi baik dan bermanfaat, sebelum kembali kepada Penciptanya.  
 dimuat Media Indonesia, 4 Januari 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Prie GS; Abu Nawas Zaman Posmo

coretan tentang hujan dan masa kecil