HUTAN BERBASIS MASYARAKAT

Hutan Berbasis Masyarakat
Oleh Junaidi Abdul Munif

Apa yang dilakukan oleh Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Gundih, Kabupaten Grobogan yang siap memmberikan bagi hasil Pengeloaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) sebesar 451 juta rupiah (SM, 14 Januari 2009) patut diapresiasi positif. Minimal hal ini bisa mengikis paradigma bahwa ada jarak antara pengleola hutan (pemerintah) dan masyarakat yang hidup di lingkungan hutan tersebut.
Sinergi yang positif antara Perhutani dan masyarakat juga menepis paradigma tentang masyarakat nakal yang mencuri kayu (blandong) untuk kepentingan pribadi. Karena kriminalitas hutan ini akan berdampak jangka panjang bagi kelangsungan ekologi hutan. Terbukti, setelah ada sinergi ini angka kehilangan kayu menurun drastis dari tahun 2007 yang mencapai 1.000 batang menjadi 500 batang pada tahun 2008. Jika kerja sama ini terus ditingkatkan, bukan mustahil angka kehilangan kayu ini akan terus menurun di tahun-tahun berikutnya.
Memang hutan di wilayah Grobogan, terutama di Gundih masih terbilang luas dan selama ini hanya dipenuhi pohon-pohon besar, seperti jati dan mahoni. Pohon –pohon yang berusia puluhan tahun tersebut tentu hasilnya tak dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat.
Masyarakat yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) selama ini bekerja sama dengan Perhutani dengan memanfaatkan hutan yang di wilayah tersebut. Mereka menanam palawija, terutama jagung di sela-sela jati dan mahoni. Harga jual jagung yang cukup tinggi beberapa bulan lalu (Rp 3000,00 per kg) tentu berdampak positif bagi ekonomi masyarakat sekitar.
Apapun, ketika hutan yang dekat kehidupan dengan masyarakat pinggiran telah dikelola negara, seperti mengalienasi masyarakat dari ekosistem tempat mereka hidup secara turun temurun. Hutan tidak hanya menjadi wilayah teritorial, tapi juga sosio kultural yang sedikit banyak memberi nilai kehidupan bagi masyarakat.
Hutan tentu tidak saja berfungsi ekologis, seperti menahan kontur tanah agar tidak terjadi erosi, penghasil oksigen untuk mencegah efek rumah kaca karena karbon dioksida langsung terbang bebas ke angkasa, tapi juga bernilai ekonomis karena hutan tersebut mampu menghasilkan kayu yang bernilai ekonomis tinggi.
Masyarakat mendapat dua keuntungan ekonomis di sini. Pertama, adalah hasil panen yang dinikmati oleh petani sendiri. Kedua, hasil pembagian hasil ini digunakan untuk membangun sarana dan prasarana semisal gedung sekolah. Mengingaa jarak sekolah cukup jauh karena berada di kota kecamatan (SM, 14/01/09).
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat harus terus digalakkan demi menjaga ekosistem hutan. Posisi hutan yang berada di dataran tinggi akan sangat berbahaya jika dibiarkan gundul. Akibat paling buruk antara lain banjir bandang yang akan merepotkan masyarakat di dataran di bawahnya.
Namun, masyarakat harus didampingi oleh pihak-pihak terkait agar tidak terjadi lepas kontrol. Karena masyarakat tidak memiliki hak untuk memiliki tanah tersebut, akan berdampak buruk jika suatu saat nanti hasil yang didapat melimpah, terjadi saling klaim masyarakat atas pengelolaan hutan.
Hal tersebut bisa disiasati dengan membuat regulasi tentang penggarapan tanah. Jika selama ini pertaturan tersebut mungkin hanya bersifat informal, akan menjadi bumerang. Mengingat kompensasi ekonomis yang cukup signifikan berpotensi membuat masyarakat khilaf dan menimbulkan gejolak sosial.
LMDH yang berjumlah 37 kelompok adalah potensi untuk mengorganisir pengelolaan hutan ini. Pendampingan yang optimal dari Perhutani, misalnya akan sangat membantu bagi mindset masyarakat tentang fungsi hutan. Karena masyarakat kurang begitu paham fungsi ekologis hutan. Mereka lebih sering memandang hutan dari sisi ekonomi.
Seperti dikatakan oleh Admininistratur/Kepala KPH Gundih Ir Oscar S Maucar bagi hasil ini untuk memperlancar usaha produktif lini usaha yang dikelola oleh LMDH, sepeti ternak, simpan pinjam dan pengembangan produk UKM (SM, 14/01/09). Sebagai social responbility (tanggung jawab sosial) dari pengelola hutan kepada masyarakat.
Memang, selayaknya hutan tidak hanya dikelola oleh pemeritah sebagai pemegang kebijakan yang bergerak dengan pijakan undang-undang. Ketika undang-undang itu tidak memberi kenyamanan bagi warga negara itu, berarti negara tak bisa memberi tempat dan penghidupan yang layak bagi masyarakatnya. Jika ini terjadi, akan menjadi bencana kemanusiaan terbesar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pengirim
Junaidi Abdul Munif
Mahasiswa PAI Universitas Wahid Hasyim Semarang
Warga Kecamatan Tegowanu, Grobogan.
Hp : 085640086314

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Prie GS; Abu Nawas Zaman Posmo

coretan tentang hujan dan masa kecil