SELAMAT HARLAH NU KE 83
Visi Keindonesiaan NU
(Refleksi Anak Muda NU)
Oleh Junaidi Abdul Munif
Tanggal 31 Januari nanti Nahdhatul Ulama’ (NU) genap berusia 83 tahun. Usia yang cukup matang bagi sebuah ormas dalam berdialektika dengan dinamika Indonesia yang mengalami pasang surut. Boleh disebut, NU adalah aswaja yang berdialektika dengan budaya (tradisi) khas Indonesia yang berkembang sejak pra-islam.
Ditahbiskan sebagai ormas keagamaan terbesar di Indonesia, bahkan ada yang mengatakan di dunia, tidak lantas menjadikan NU jumawa dan besar kepala. NU tetap memegang kukuh sikap ketradisionalannya, sebuah stigma yang begitu lekat dengan ormas ini sejak mula didirikan.
Almuhafazatu ’ala al qadim al shalih wa al ahzu bi jadidi al aslah (merawat tradisi masa lalu yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik adalah kaidah masyhur NU yang menjadi pijakan warga nahdliyin dalam bersikap. Istilah yang oleh Gus Dur diejawantahkan dalam terma Islam Kosmopolitan itu adalah sikap arif dalam menjaga Indonesia dari kepunahan.
Mengapa kepunahan? Dari latar belakang sejarah menunjukkan bahwa NU hadir sebagai penjaga tradisi. Munculnya gerakan lain yang mengusung wahabiyyah, mencoba dicuonter oleh NU karena bertolak dari akar kesejarahan Indonesia. Walisongo ketika masuk ke Jawa, lebih diterima ketika berdakwah dengan metode kultural, bukan metode sufistik ala Arab yang secara kultur berbeda dengan budaya masyarakat Indonesia.
Itulah yang dijaga NU, nilai keindonesiaan yang tetap teguh dipegang meski ada gerakan untuk mengislamkan Indonesia sesuai versi Arab, atau bahkan mengomuniskan Indonesia seperti yang dicoba oleh PKI. Sampai saat ini NU masih berhasil menjaga Indonesia tidak berubah menjadi negara teokrasi maupun sekuler an sich.
NU adalah ormas maupun parpol -ketika menjadi partai NU- yang tak pernah memberontak dan berusaha mengganti ideologi Pancasila menjadi ideologi lain, Islam sekalipun. Hal ini dilakukan untuk menghindari perpecahan masyarakat Indonesia yang plural dan kemungkinan menimbulkan mafsadah (kerusakan) jika Indonesia menjadi negara Islam.
Bagi NU, hukum Islam tak perlu masuk dalam sistem legal formal hukum di Indonesia. Hukum (syariat) Islam cukup menjadi spirit sosial yang mampu menyelesaikan problem sosial. Bukankah warga nahdliyin mayoritas adalah warga pesantren yang teguh memegang tradisi fiqh? Dan kyai (ulama) NU sering menjadi rujukan umat dalam menyelesaikan poblematika masyarakat? Pada titik inilah sebetulnya bagi NU, hukum Islam lebih lantang berbicara tanpa harus tampak gagah karena menjadi undang-undang negara.
NU dan Politik
Kembali ke Khittah 1926 yang ditegaskan dalam muktamar NU di Situbondo, Jawa Timur tahun 1984, menjadi jargon yang terus diteriakkan hingga saat ini. Terlebih menjelang pemilu, di mana banyak warga nahdliyin yang ”laris” dipinang beberapa parpol. Suara NU memang menggoda bagi pihak lain untuk mengajaknya bertarung dalam politik praktis kekuasaan.
Sejak awal berdiri, NU tidak anti dengan politik. Gus Mus menyebut ada tiga kategori dalam politik di tubuh NU. Pertama adalah politik kerakyatan, kebangsaan dan kekuasaan. Tapi harus jujur diakui, akhir-akhir ini NU lebih kelihatan di ranah politik yang ketiga, yakni politik kekuasaan. Pemicunya adalah konflik di tubuh partai yang merupakan anak kandung NU dan majunya tiga kader NU menjadi cawapres dalam pemilu 2004.
Perlukah NU terjun ke dunia politik praktis? Jawabnya perlu. Di jaman yang global dan banyak campur tangan asing di Indonesia, politik untuk mencapai kekuasaan perlu. Sebab gerakan Islam lain juga getol bermain di politik praksis. Jika NU hanya konsen di politik kerakyatan dan kebangsaan, NU akan tertinggal. NU akan tertinggal satu langkah jika terus konsentrasi pada politik kultural (kebangsaan dan kerakyatan).
Memang tak bisa dihapuskan dari memori kolektif warga NU bagaiamana ode baru berusaha menutup akses politik warga nahdliyin dalam jabatan publik yang strategis. Meski sejak revolusi kemerdekaan sampai pemberontkan PKI, NU terlibat aktif bersama pemerintah menjaga Indonesia dari tragedi dan friksi politik tersebut. Langkah orde baru tersebut juga tidak menyurutkan komitmen NU untuk menjaga keutuhan NKRI.
Menuju politik kekuasan bukan lantas untuk kepentingan NU sendiri. Tapi melanjutkan kontinuitas para founding fathers NU yang gigih menjaga Indonesia dari kepunahan. Jika NU berhasil duduk di kursi kekuasaan, mereka akan lebih punya bargaining (lewat undang-undang) untuk tetap menjaga keutuhan NKRI.
Khittah NU agar NU tidak terjun ke politik praksis lebih dikarenakan agar NU tetap satu, tidak terkotak-kotak parpol apa pun. Hal itu sebetulnya bisa disiasati dengan membagi wilayah kader NU. Kader NU saat ini memiliki potensi hampir merata di segala bidang. Harus bisa dibagi kader NU yang berjuang di wilayah politik struktural dan kultural.
Peran Anak Muda NU
Sebagai sebuah ormas, NU tentu memiliki jenjang pengkaderan yang rapi dan organisatif. Dari pelajar hingga mahasiswa, terdapat hierarki organisasi yang secara struktural di bawah NU. IPNU, IPPNU, Fatayat, Muslimat dan Ansor adalah jenjang pengkaderan yang ada di lingkungan NU. Selain itu ada juga PMII yang secara struktural melakukan interdependensi dengan NU, tapi secara kultural tak bisa lepas dari NU. Diharapkan dari berbagai jenjang persiapan ini akan memunculkan kader NU yang militan dan potensial.
Pemuda memiliki peran strategis dalam eksistensi NU di masyarakat. Lewat aksi sosial, pendidikan dan intelektuaitasnya mereka bersentuhan langsung dengan masyarakat yang plural. Dalam berbagai kesempatan pelatihan yang diikuti penulis, sering digambarkan bahwa lahan garapan NU (IPNU) adalah lahan tapal kuda. Yaitu masyarakat pinggiran yang (lagi-lagi) masih kental dengan tradisionalismenya.
Menjadi percuma jika NU hanya terus bergerak di pinggiran, sementara kawasan tengah (kota) tidak tergarap maksimal. Ini adalah sebuah kesalahan fatal. Secara antropologis, masyarakat kota umumnya adalah masyaraat desa yang berurbanisasi ke kota. Jadi mereka sebetulnya adalah orang desa dan boleh dianggap kultur mereka adalah NU juga.
Banyak sekali potensi anak muda NU di kota. Selama ini telah banyak warga NU yang sadar dengan pentingnya pendidikan tinggi, terutama dari kalangan pesantren yang melanjutkan pendidikannya ke kota. Mereka adalah mayoritas santri yang telah lama mengenyam pendidikan di pesantren dengan cukup matang. Pengetahuan agamanya tidak perlu diragukan lagi. Lantas mengapa mesti takut menghadapi masyarakat kota, jika semua potensi itu dimiliki anak muda NU?
Di tengah arus percaturan politik global, serta gerakan Islam yang mencoba melakukan purifikasi Islam (arabisasi Islam), menjadi momentum yang tepat bagi NU untuk meneguhkan kembali visi keindonesiaannya. Selamat harlah NU ke-83. Semoga tetap satu Indonesia.
Junaidi Abdul Munif
Wakil Ketua PAC IPNU Gajah Mungkur
Mahasiswa FAI Universitas Wahid Hasyim Semarang
HP : 085640086314
(Refleksi Anak Muda NU)
Oleh Junaidi Abdul Munif
Tanggal 31 Januari nanti Nahdhatul Ulama’ (NU) genap berusia 83 tahun. Usia yang cukup matang bagi sebuah ormas dalam berdialektika dengan dinamika Indonesia yang mengalami pasang surut. Boleh disebut, NU adalah aswaja yang berdialektika dengan budaya (tradisi) khas Indonesia yang berkembang sejak pra-islam.
Ditahbiskan sebagai ormas keagamaan terbesar di Indonesia, bahkan ada yang mengatakan di dunia, tidak lantas menjadikan NU jumawa dan besar kepala. NU tetap memegang kukuh sikap ketradisionalannya, sebuah stigma yang begitu lekat dengan ormas ini sejak mula didirikan.
Almuhafazatu ’ala al qadim al shalih wa al ahzu bi jadidi al aslah (merawat tradisi masa lalu yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik adalah kaidah masyhur NU yang menjadi pijakan warga nahdliyin dalam bersikap. Istilah yang oleh Gus Dur diejawantahkan dalam terma Islam Kosmopolitan itu adalah sikap arif dalam menjaga Indonesia dari kepunahan.
Mengapa kepunahan? Dari latar belakang sejarah menunjukkan bahwa NU hadir sebagai penjaga tradisi. Munculnya gerakan lain yang mengusung wahabiyyah, mencoba dicuonter oleh NU karena bertolak dari akar kesejarahan Indonesia. Walisongo ketika masuk ke Jawa, lebih diterima ketika berdakwah dengan metode kultural, bukan metode sufistik ala Arab yang secara kultur berbeda dengan budaya masyarakat Indonesia.
Itulah yang dijaga NU, nilai keindonesiaan yang tetap teguh dipegang meski ada gerakan untuk mengislamkan Indonesia sesuai versi Arab, atau bahkan mengomuniskan Indonesia seperti yang dicoba oleh PKI. Sampai saat ini NU masih berhasil menjaga Indonesia tidak berubah menjadi negara teokrasi maupun sekuler an sich.
NU adalah ormas maupun parpol -ketika menjadi partai NU- yang tak pernah memberontak dan berusaha mengganti ideologi Pancasila menjadi ideologi lain, Islam sekalipun. Hal ini dilakukan untuk menghindari perpecahan masyarakat Indonesia yang plural dan kemungkinan menimbulkan mafsadah (kerusakan) jika Indonesia menjadi negara Islam.
Bagi NU, hukum Islam tak perlu masuk dalam sistem legal formal hukum di Indonesia. Hukum (syariat) Islam cukup menjadi spirit sosial yang mampu menyelesaikan problem sosial. Bukankah warga nahdliyin mayoritas adalah warga pesantren yang teguh memegang tradisi fiqh? Dan kyai (ulama) NU sering menjadi rujukan umat dalam menyelesaikan poblematika masyarakat? Pada titik inilah sebetulnya bagi NU, hukum Islam lebih lantang berbicara tanpa harus tampak gagah karena menjadi undang-undang negara.
NU dan Politik
Kembali ke Khittah 1926 yang ditegaskan dalam muktamar NU di Situbondo, Jawa Timur tahun 1984, menjadi jargon yang terus diteriakkan hingga saat ini. Terlebih menjelang pemilu, di mana banyak warga nahdliyin yang ”laris” dipinang beberapa parpol. Suara NU memang menggoda bagi pihak lain untuk mengajaknya bertarung dalam politik praktis kekuasaan.
Sejak awal berdiri, NU tidak anti dengan politik. Gus Mus menyebut ada tiga kategori dalam politik di tubuh NU. Pertama adalah politik kerakyatan, kebangsaan dan kekuasaan. Tapi harus jujur diakui, akhir-akhir ini NU lebih kelihatan di ranah politik yang ketiga, yakni politik kekuasaan. Pemicunya adalah konflik di tubuh partai yang merupakan anak kandung NU dan majunya tiga kader NU menjadi cawapres dalam pemilu 2004.
Perlukah NU terjun ke dunia politik praktis? Jawabnya perlu. Di jaman yang global dan banyak campur tangan asing di Indonesia, politik untuk mencapai kekuasaan perlu. Sebab gerakan Islam lain juga getol bermain di politik praksis. Jika NU hanya konsen di politik kerakyatan dan kebangsaan, NU akan tertinggal. NU akan tertinggal satu langkah jika terus konsentrasi pada politik kultural (kebangsaan dan kerakyatan).
Memang tak bisa dihapuskan dari memori kolektif warga NU bagaiamana ode baru berusaha menutup akses politik warga nahdliyin dalam jabatan publik yang strategis. Meski sejak revolusi kemerdekaan sampai pemberontkan PKI, NU terlibat aktif bersama pemerintah menjaga Indonesia dari tragedi dan friksi politik tersebut. Langkah orde baru tersebut juga tidak menyurutkan komitmen NU untuk menjaga keutuhan NKRI.
Menuju politik kekuasan bukan lantas untuk kepentingan NU sendiri. Tapi melanjutkan kontinuitas para founding fathers NU yang gigih menjaga Indonesia dari kepunahan. Jika NU berhasil duduk di kursi kekuasaan, mereka akan lebih punya bargaining (lewat undang-undang) untuk tetap menjaga keutuhan NKRI.
Khittah NU agar NU tidak terjun ke politik praksis lebih dikarenakan agar NU tetap satu, tidak terkotak-kotak parpol apa pun. Hal itu sebetulnya bisa disiasati dengan membagi wilayah kader NU. Kader NU saat ini memiliki potensi hampir merata di segala bidang. Harus bisa dibagi kader NU yang berjuang di wilayah politik struktural dan kultural.
Peran Anak Muda NU
Sebagai sebuah ormas, NU tentu memiliki jenjang pengkaderan yang rapi dan organisatif. Dari pelajar hingga mahasiswa, terdapat hierarki organisasi yang secara struktural di bawah NU. IPNU, IPPNU, Fatayat, Muslimat dan Ansor adalah jenjang pengkaderan yang ada di lingkungan NU. Selain itu ada juga PMII yang secara struktural melakukan interdependensi dengan NU, tapi secara kultural tak bisa lepas dari NU. Diharapkan dari berbagai jenjang persiapan ini akan memunculkan kader NU yang militan dan potensial.
Pemuda memiliki peran strategis dalam eksistensi NU di masyarakat. Lewat aksi sosial, pendidikan dan intelektuaitasnya mereka bersentuhan langsung dengan masyarakat yang plural. Dalam berbagai kesempatan pelatihan yang diikuti penulis, sering digambarkan bahwa lahan garapan NU (IPNU) adalah lahan tapal kuda. Yaitu masyarakat pinggiran yang (lagi-lagi) masih kental dengan tradisionalismenya.
Menjadi percuma jika NU hanya terus bergerak di pinggiran, sementara kawasan tengah (kota) tidak tergarap maksimal. Ini adalah sebuah kesalahan fatal. Secara antropologis, masyarakat kota umumnya adalah masyaraat desa yang berurbanisasi ke kota. Jadi mereka sebetulnya adalah orang desa dan boleh dianggap kultur mereka adalah NU juga.
Banyak sekali potensi anak muda NU di kota. Selama ini telah banyak warga NU yang sadar dengan pentingnya pendidikan tinggi, terutama dari kalangan pesantren yang melanjutkan pendidikannya ke kota. Mereka adalah mayoritas santri yang telah lama mengenyam pendidikan di pesantren dengan cukup matang. Pengetahuan agamanya tidak perlu diragukan lagi. Lantas mengapa mesti takut menghadapi masyarakat kota, jika semua potensi itu dimiliki anak muda NU?
Di tengah arus percaturan politik global, serta gerakan Islam yang mencoba melakukan purifikasi Islam (arabisasi Islam), menjadi momentum yang tepat bagi NU untuk meneguhkan kembali visi keindonesiaannya. Selamat harlah NU ke-83. Semoga tetap satu Indonesia.
Junaidi Abdul Munif
Wakil Ketua PAC IPNU Gajah Mungkur
Mahasiswa FAI Universitas Wahid Hasyim Semarang
HP : 085640086314
Komentar