posmodernisme

Gelombang Posmodernisme dan Iklan
Oleh Junaidi Abdul Munif

Dunia mengalami perubahan ekstrem pada tahun 1960-an, selepas perang dunia kedua. Posmodernisme adalah istilah yang menjadi jamak diangkat dalam berbagai diskusi, seminar, dan menjadi diskursus yang merupakan santapan lezat para filsuf kontemporer yang mengabdikan sebagian hidupnya untuk menelaah fenomena sosial yang menggurita ini.

Secara harfiah, posmodernisme adalah sebuah fenomena sosial setelah era modernisme. Posmodernisme dimaksudkan sebagai cara pandang untuk menolak modernisme dengan anak kandungnya: kapitalisme. Sebuah cara pandang yang memberi fajar harapan bagi dunia ketiga (khususnya) karena merekalah negara yang paling dirugikan dalam sistem kapitalisme-modernisme.

Namun, segera saja muncul kritik terhadap posmodernisme, seperti Frederich Jameson yang terpengaruh Ernst Mendel dengan bukunya Late Capitalism (1972). Late Capitalism (kapitalisme lanjutan) boleh disebut sebagai semacam kolonialisme gaya baru, di mana negara-negara barat yang mengusung modernisme menyebarkan “virus” ini ke seluruh dunia. Tak terkecuali dunia ketiga.

Posmodernisme ditandai dengan masyarakat yang superfisial, artifisial dan meminjam Theodor Adorno, menjadi masyarakat komoditas dan masyarakat konsumer. Nalar produktif masyarakat dunia ketiga dikebiri oleh nalar produktif masyarakat barat. Dan produk-produk itu, celakanya, banyak diproduksi oleh negara-negara barat yang mencengkeram dengan MNC (Multi National Corporation), sebuah jaringan perusahaan yang memiliki banyak cabang (lisensi) di seluruh dunia.

Tak hanya itu, posmodernisme juga ditandai dengan kemajuan teknologi yang membentuk sekumpulan masyarakat elektronik (teknologi) dan akhirnya menumbuhkan masyarakat pos-industrialis (Daniel Bell). Dengan teknologi yang semakin bergerak cepat dan tak mudah diprediksi, menjadikan mobilitas masyarakat semakin cepat. Waktu sependek apa pun sangat berharga. Sebuah ciri khas masyarakat kota yang super sibuk dan.

Dalam bahasa Jalaluddin Rahmat, masyarakat yang super sibuk sangat vital menjadi masyarakat robotis. Sebuah masyarakat yang bergerak bukan lagi didasari oleh rasa manusiawinya, tapi karena rutinitas yang intensif dikerjakan sehingga sedikit memberi ruang nalar manusiawi untuk terlibat. Dan teknologi ini terbukti semakin mempermudah kebutuhan manusia dalam mencapai keinginannya, dan berpotensi membuat manusia semakin robotis.


Jebakan Iklan


Nalar produksi dan kemajuan teknologi (media) diafiliasikan negara-negara kapitalis menjadikan dunia tumbuh dalam industrialisasi . Kemudian bersinergi membentuk jiwa konsumerisme bagi dunia ketiga, seperti di Indonesia yang dengan potensi jumlah penduduk yang 200 juta lebih, menjadi lahan basah dan empuk dalam membentuk paradigma konsumtif. Iklan pun menjadi alat efektif untuk membentuk jiwa konsumtif itu.

Dalam iklan, pencitraan menjadi dewa yang diagungkan. Citra, image menjadi berhala yang diciptakan demi meluaskan cengkeraman konsumerisme. Terlebih iklan selalu menjadikan barat dengan segala nilai, terutama fisik, menjadi kiblat yang harus diikuti oleh masyarakat dunia ketiga. Kulit putih, mata biru, rambut pirang, tubuh tinggi dan langsing adalah seperangkat nilai yang ditebarkan lewat media iklan.

Gempuran iklan itu mulanya hanya dianggap biasa saja. Namun ketika ia hadir dengan intensitas yang begitu tinggi, perlahan namun pasti akan memasuki alam bawah sadar, lalu menggerakkan masyarakat menjadi konsumtif. Apalagi ketika diskon sedang digelar, maka tak peduli dengan kebutuhan yang urgen. Semua barang patut dibeli. Tak peduli barang itu dibutuhkan atau tidak.

Seperti kata Rene Descartes, Aku Berpikir Maka Aku Ada, maka adagium ini pun berubah Aku Belanja Maka Aku Ada, Aku Menjadi Seperti Apa yang ditampilkan di Iklan itu, Maka Aku Ada, dan Aku Menjadi Barat Maka Aku Ada. Iklan, dan dibalik “tangan” iklan itu, adalah referensi yang menjadi pijakan bagi masyarakat yang terseret gelombang postmodernisme ini.

Produk-produk kebudayaan pun tak mau ketinggalan. Masyarakat kini, terutama generasi muda, menjelma generasi MTV. Sebuah generasi yang menganut mazhab 3 F (food, fashion, film) dan 1 Music. Yang pada titik tertentu membuat masyarakat menjadi hedonistis. Sungguh ironis jika generasi muda yang digadang-gadang sebagai penerus tongkat estafet bangsa ini, harus silau dan limbung pada dunia artifisial yang diusung postmodernisme.

Oscar Wilde, seorang dosen sejarah Marxis, mengkritik fenomena posmodernisme seraya mengatakan “ dengan sangat menyesal saya katakan kita telah memasuki jaman yang dangkal”. Pendapat inilah yang malatarbelakangi Alex Callinicos dalam bukunya Menolak Posmodernisme (2008). Lewat analisanya yang panjang sejak relativisme Friederich Nietszche hingga rasionalitas, resistensi, dan subyektivitas sebagai ciri khas posmodernisme, akhirnya ia sampai pada kesimpulan yang mengejutkan bahwa posmodernisme=modernisme. Kesimpulan yang pararel dengan Jameson yang menyebut posmodernisme sebagai kapitalisme lanjutan (baca: modernisme lanjutan).

Benar apa yang dikatakan Wilde, bahwa posmodernisme adalah jaman yang dangkal. Sebuah jaman yang mementingkan citra. Maka, iklan yang mendewakan citra itu pada titik gawatnya melahirkan perempuan-perempuan yang bangga dibilang cantik, laki-laki yang bangga dibilang ganteng. Maka rambut dicat pirang, mata diberi kontak lensa biru. Nggak bisa ngomong Inggris, maka ngomong ala Cinta Laura (dengan bahasa Indonesia tapi logat Inggris). Celakanya, itu disebut mengikuti (pos)modernisme Bukankah, cantik dan ganteng hanya sekadar kulit? Dan itu berarti hanya sebuah kedangkalan?

Kita harus sadar, bahwa semua ini bukanlah takdir, taken for granted, given atau sunnatullah. Ada sebentuk konspirasi internasional (meski yang bermain hanya beberapa negara adidaya) yang terstruktur demi menggerus masyarakat dunia ketiga. Saatnya ada penyadaran kepada masyarakat, tentang gelombang posmodernisme ini.

Junaidi Abdul Munif
Peneliti LKPD (Lembaga Kajian Politik dan Demokrasi)
Uniiversitas Wahid Hasyim

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Prie GS; Abu Nawas Zaman Posmo

coretan tentang hujan dan masa kecil