Kebangkitan Ilmu Politik Nusantara

Data Buku

Judul                          : Pesantren Studies 4a; Buku IV; Khittah Republik Kaum Santri dan Mada Depan Ilmu Politik Nusantara
Penulis                     : Ahmad Baso
Penerbit                    : Pustaka Afid Jakarta
Tahun                       : April 2013 
Tebal                         : xiv + 437 halaman



Kebangkitan Ilmu Politik Nusantara
Oleh Junaidi Abdul Munif


Selama ini pesantren distigmatisasi sebagai lembaga pendidikan yang fokus pada ilmu agama Islam an sich, sehingga dicap sebagai lembaga yang kolot, tertinggal dengan ilmu-ilmu yang dianggap modern. Pesantren juga dianggap gagap menghadapi perubahan zaman, karena masih mempertahankan ciri khasnya yang klasik.

Sementara kehidupan bergerak cepat dengan modelnya yang sekuler, atau anti dengan pemikiran agama yang dituduh rigid (kaku). Stigmatisasi pesantren sebagai “akar fundamentalisme” Islam mengemuka ketika isu terorisme banyak bertebaran pelaku bom bunuh diri yang alumnus pesantren.

Terlebih saat ini, kiblat ilmu pengetahuan yang dianggap modern mengarah ke Barat. Kajian pesantren, dengan lokus ilmu pengetahuan yang lahir dari rahim pesantren, juga dicap sebagai ilmu yang out of date (ketinggalan zaman), karena tidak berangkat dari tradisi Barat.

Namun, benarkah pesantren merupakan lembaga yang tidak memiliki visi jauh ke depan? Ahmad Baso menggali khazanah ilmu pengetahuan pesantren yang dituangkan dalam seri buku Pesantren Studies yang terdiri 9 buku. Buku Pesantren Studies 4a ini merupakan seri yang khusus membahas ilmu politik Nusantara yang lahir dari pesantren.  

Fakta sejarah menunjukkan banyak pejuang kemerdekaan merupakan kiai dan santri (kader) yang menempa diri dengan belajar di pesantren. Pemberontakan petani di Banten dan Perang Jawa, misalnya, banyak melibatkan kiai sebagai motor gerakan.

Tentunya peran pesantren tak bisa dilepaskan begitu saja. Karena pesantren (dengan kiai sebagai ideolog) berhasil mengkader santri sebagai aktor politik yang militan, punya kesintasan (survivalitas) dalam menjaga tanah airnya. Santri menjadi eksekutor ide-ide yang dicetuskan sang kiai.  

Buku ini menjadi ikhtiar Ahmad Baso untuk menguak mutiara pesantren dan mencoba mengontekstualisasikannya ke dalam tradisi politik kontemporer. Kaum Santri, dengan demikian, adalah penggagas utama berdirinya republik Indonesia. Berbicara tentang Nusantara pasca Majapahit, atau Indonesia sebelum 1945, tak bisa menafikan peran kiai, santri, dan bibliografi yang meruah di pesantren.

Kemunculan santri kelana sebagai agen pesantren, memberi dampak positif bagi kebangkitan desa. Di desa, santri kelana membangun kraman (pemukiman baru) sebagai jaringan ekonomi, peradaban, dan polity (masyarakat melek politik) yang independendan terpisah dari kekuasaan pusat (halaman, 159). Desa merupakan jantung politik, dimana perubahan menemukan titik mula, seperti desa perdikan (desa yang bebas menentukan hidupnya sendiri) yang menginpirasi kaum santri untuk merdeka dari penjajahan.

Selama ini, kajian ilmu kepesantrenan dimaksudkan hanya sebagai romantika masa lalu, tanpa ada upaya menghidupkan kembali ilmu politik pesantren sebagai elan politik di Indonesia. Ilmu politik pesantren merupakan ilmu yang khas, di mana kiai menjadi sosok sentral dalam pergualatan ide-ide politik. Jejer Pandhita menjadi jargon di mana aktor politik mesti menempatkan dirinya berdiri di samping kiai: berguru, meminta pendapat, belajar manajemen, dan kesaktian.

Kitab-kitab politik  a la pesantren banyak mengambil metode penulisan naratif yang kadangkala bersifat hiperbolik, sehingga dikesankan sebagai mitos belaka. Padahal, semua ini merupakan visi-misi pesantren untuk merumuskan masa depan. Wali Songo menjadi penafsir demi merekonstruksi ramalan Jayabaya yang mengemban visi politik Nusantara. 

Bentuk yang khas dari ilmu politik pesantren dibuktikan dengan banyaknya aktor-aktor pejuangan kemerdekaan yang menjadi santri di beberapa pesantren. Pangeran Diponegoro, Tan Malaka, adalah  beberapa nama yang pernah tinggal di pesantren. Tan Malaka pernah berguru secara kilat kepada Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari.

Terma seperti Ratu Adil merupakan hasil konstruksi ilmu politik pesantren yang sampai saat ini masih diyakini sebagai solusi pelbagai masalah pelik di Indonesia. Terma ini pernah menjadi elan bagi Pangeran Diponegoro untuk menginisasi dirinya sebagai sosok ratu adil yang akan membebaskan kaumnya dari penjajahan Kompeni.

Pangeran Diponegoro dan Bagus Santri mengunakan strategi visonary encounter (pertemuan visioner yang tertuju ke masa lampau) dengan menghadirkan Sunan Kalijaga sebagai guru politik. Sunan Kalijaga mengatakan bahwa Diponegoro akan menjadi ratu. Bagus Santri yang merupakan santri kelana, disuruh untuk melawan Belanda di Yogyakarta (halaman, 27).
  
Sebagai pemikir poskolonial, Ahmad Baso berhasil menggali tradisi ilmu politik pesantren sebagai ilmu yang dapat ditarik relevansinya di masa sekarang. Misi besarnya adalah “mengganti” buku-buku ilmu politik di FISIP yang hari ini notabene-nya masih memakai buku ilmu politik dari Barat.

Kalau memakai kacamata orientalisme, cara baca Barat terhadap Timur tentunya tidak bebas nilai (objektif). Hal tersebut ditemukan oleh Baso pada beberapa penulis orientalis yang mengkaji Nusantara. Narasi-narasi pesantren dihadirkan semata untuk legimitasi ilmu politik dari Barat, semisal demokrasi.

Apa yang ditampilkan justru membuat ilmu politik pesantren tidak berdiri independen, tapi untuk dicocokkan dengan pemikiran politik Barat. Kajian poskolonialisme menempatkan semua ilmu pengetahuan berdiri sejajar karena berangkat dari konteks (tradisi dan misi) yang berbeda dengan di Barat.   

Buku ini menggambarkan secara detil betapa pesantren merupakan lokus bersemainya tradisi ilmu politik yang independen dan berusaha menjadikan Indonesia sebagai negara berdaulat yang tidak mudah diintervensi oleh kekuatan asing. Kaum santri (dan pesantren) mesti menjadi fa’il (subjek) dari gerakan politik di Indonesia.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Resensi Novel Akik dan Penghimpun Senja

coretan tentang hujan dan masa kecil