Wajib Belajar atau Wajib Sekolah?
Pemerintahan
Joko Widodo-Jusuf Kalla memiliki program wajib belajar 12 tahun. Sebelumnya,
kita akrab dengan program wajib belajar 9 tahun. Perkembangan zaman memaksa
pemerintah untuk menaikkan standar minimal belajar, agar
anak-anak Indonesia tidak tertinggal oleh anak-anak dari
negara (yang dianggap) maju.
Kendati dinamakan wajib belajar, yang dimaksud program ini adalah wajaib
sekolah 12 tahun. Seperti
dikatakan Menteri Anis Baswedan, “kalau sudah wajib belajar, jika tidak sekolah, anak
bisa kena sanksi. Semua harus belajar (Kompas, 30/10). Artinya, anak-anak
minimal harus lulus setingkat SMA. Rinciannya adalah SD
(6 tahun), SMP (3 tahun) dan SMA (3 tahun).
Kita tampaknya
begitu mudah dan tanpa beban menukar “sekolah” dengan “belajar”, seolah dua
kata ini bersinonim. Sekolah dan belajar tentu saja adalah dua kegiatan yang
sangat berbeda. Sekolah memiliki konsekuensi berupa ruang kelas, guru, mata
pelajaran, jam pelajaran, dan evaluasi hasil pembelajaran yang terencana. Karena itu, dunia persekolahan, dengan segala kelengkapannya, lebih bertumpu
pada kebijakan negara.
Sementara itu,
belajar tak memerlukan konsekuensi secara rigid seperti pada sekolah. Proses belajar tak memerlukan
institusi resmi bernama sekolah. Di mana pun tempatnya, seseorang bisa menjadi
pembelajar dan mendapatkan ilmu. Tempat kursus, pesantren, komunitas, kamar
kos, dan lain-lain bisa menjadi tempat belajar. Orang pun bisa belajar sambil tidur-tiduran, misalnya.
Ivan Illich,
pemikir pendidikan, bisa diambil sebagai contoh tokoh yang membedakan secara
tegas sekolah dan belajar. Kritiknya bermuara pada sekolah yang mempunyai
kurikulum tersembunyi. Sekolah dianggapnya sebagai ruang kapitalisme pengetahuan,
legalisasi ilmu pengetahuan, dan ketergantungan masyarakat pada sekolah. Sekolah
adalah medium untuk belajar tentang sesuatu, bukan belajar dari sesuatu ((Paulo
Freire, dkk, 1999). Orang kemduain merasa bahwa
sekolah adalah satu-satunya tempat belajar.
Revolusi mental
Jokowi-JK semestinya tidak berjalan pada pola pikir yang menyederhanakan
belajar dengan sekolah, dan dunia
persekolahan sama dengan dunia pendidikan. Seperti halnya pendidikan,
pembelajaran adalah dunia yang begitu luas dan kaya. Toh, Jokowi juga memilih
Susi Pudjiastuti, yang hanya lulusan SMP, menjadi menteri di Kabinet Kerja
2014-2019.
Orang belajar
tidak harus secara “resmi” dilakukan di sekolah, yang sejatinya hanya salah
satu tempat belajar, di antara ribuan tempat belajar lainnya. Sekolah dibatasi
dengan waktu, belajar berbatas waktu ketika manusia meninggal dunia. Seperti
peribahasa Arab, manusia belajar dari
ayunan sampai liang lahat.
Penyebutan “wajib
sekolah 12 tahun” lebih benar dan dapat diterima secara empiris-formalis. Di
situ negara dituntut membuka akses masuk sekolah kepada anak bangsa, sekaligus
meningkatkan kualitas kurikulum dan pembelajaran di sekolah. Di luar sekolah,
kehidupan adalah ruang belajar yang terbuka
untuk dipelajari, dan manusia
belajar darinya. Siapa gurunya? Kata peribahasa bijak, pengalaman adalah guru
yang terbaik. Biarkan masyarakat mengolah potensinya untuk menciptakan ruang
dan suasana belajar yang unik, heterogen, dan multikultural.
Untuk itu, alangkah elok jika istilah “wajib belajar” diganti dengan “wajib
sekolah” agar tidak terjadi “penyesatan” publik.
Dimuat Koran Tempo, Jumat, 7 November 2014
Komentar