Membangun Karakter Pelajar Indonesia
Data Buku
Judul : Hidup Ini Keras, Maka Gebuklah!
Penulis: : Prie GS
Penerbit : Visimedia
Cetakan : 2012
Tebal : xii + 574 halaman
ISBN :
978-065-149-X
Membangun Karakter Pelajar Indonesia
Oleh Junaidi Abdul Munif
Pendidikan menjadi jantung kemajuan bangsa. Sebuah bangsa
akan maju dan dapat berperan dalam dinamika global ketika pendidikan yang
dijalankan berkualitas dan melahirkan lulusan yang berkualitas pula. Berkualitas
luar dan dalam, dalam artian lulusan pendidikan Indonesia memiliki hard
skill yang dapat bersaing dengan lulusan negara lain. Tapi lulusan kita
juga punya soft skill, yang merupakan ejawantah dari kultur, nilai, dan
watak masyarakat Indonesia yang berlangsung sejak nenek moyang kita ratusan
(mungkin ribuan) tahun lalu.
Dalam proses untuk mengejar kemajuan tersebut, kurikulum
sebagai instrumen dan acuan model pembelajaran, menduduki posisi strategis bagi
pelaksana pendidikan, terutama guru, untuk melaksanakan pembelajaran di kelas.
Kurikulum terus dirancang dengan tujuan anak didik siap beradaptasi dengan
perubahan di sekitarnya, baik yang bersifat lokal, nasional, maupun global.
Selain kurikulum yang terus diperbarui, pendidikan
karakter menjadi wacana yang terus disampaikan kepada publik, terkait dengan
permasalahan bangsa yang sangat kompleks. Anak didik merupakan generasi muda
yang akan memimpin Indonesia di masa depan. Karena itu pendidikan karakter
diperlukan untuk mencetak generasi muda yang berkarakter kuat, menjunjung
tinggi nilai-nilai ketimuran, berlandaskan budaya Indonesia, relijius, dan
tidak gagap dengan teknologi yang notabene dikembangkan oleh Barat.
Novel sebagai karya sastra memiliki semangat untuk
mendidik pembacanya. Novel Hidup Ini Keras, Maka
Gebuklah! karangan Prie GS merupakan novel bergenre remaja yang ditujukan untuk
pembaca usia sekolah menengah. Dengan tokoh utama Ipung, novel ini
menggambarkan seluk beluk kehidupan remaja di sekolah, dengan konflik khas
remaja, yang tak jauh dari urusan cinta.
Namun berbeda dengan novel remaja lain, pertama, Prie GS
tidak menggunakan bahasa remaja yang gaul dan alay yang dituduh merusak
kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kedua, permasalahan yang dihadapi
Ipung tidak sekadar permasalahn cinta yang menjadi tren novel-novel remaja
sejenis, melainkan permasalahan yang kompleks, dengan guru, teman, orang tua,
dan lain sebagainya. Karena itu novel ini berpretensi menjadi role mode
(model peran) untuk prototipe (contoh) karakter pelajar Indonesia.
Ipung digambarkan sebagai seorang anak kampung yang
berhasil masuk kelas unggulan di sekolah favorit di kota Semarang, yakni SMA
Budi Luhur. Ia mesti menghadapi lingkungan hidup yang baru, dengan teman-teman
dari kelas menengah atas (Gredo dkk), dengan nilai-nilai kehidupan yang khas
perkotaan.
Dari situlah Ipung dibenturkan dengan kenyataan sosial
yang timpang antara kaya-miskin, ganteng-jelek, dan anasir-anasir binerik
lainnya. Semua itu tidak menjadikan Ipung merasa minder, rendah hati, dan takut
dengan teman-temannya yang berasal dari keluarga kaya. Ipung melawan
ketimpangan itu dengan kecerdasannya, dan karakter khas yang dibawa sejak dari
kampungnya di Kepatihan, Solo. Karakter Ipung juga turut dibentuk “guru
filsafatnya”, yakni pamannya, Lik Wuryanto.
Buku ini merupakan trilogi dari novel Ipung 1, Ipung 2
dan Elegi Sumarni dan Ayunda. Jarak ketiga novel itu terbilang lama,
karena Ipung 1 telah ditulis pada 1980-an, yang awalnya terbit sebagai
cerita bersambung di koran Suara Merdeka. Sementara dua novel sekuelnya
terbit pada dekade 2000-an. Rentang waktu yang lama tidak lantas menjadikan
novel ini tampak ketinggalan zaman.
Dengan berbagai karakter yang dimilikinya, Ipung
merepresentasikan bagaimana anak muda Indonesia mesti berbuat dan bersikap
ketika menghadapi tantangan-tantangan dari luar. Ia punya nilai dalam jiwanya,
keteguhan sikap, kepercayaan diri, kreatif, inisiator, dan bertanggung jawab.
Nilai-nilai karakter inilah yang dapat menjadi prototipe bagi pengajaran
pendidikan karakter di sekolah.
Pendidikan yang ditempuh Ipung, situasi sosial yang dia
hadapi, adalah gambaran situasi yang banyak dihadapi oleh siswa-siswa di
Indonesia. Yakni anak-anak dari kelas menengah ke bawah. Anak-anak kita adalah
aset bangsa di masa mendatang, yang dapat bersaing di percaturan global dengan
pendidikan yang baik.
Buku ini layak menjadi koleksi para pendidik dan
pemerhati pendidikan, bahwa menyusun dan melaksanakan kurikulum pendidikan
karakter tidak hanya mengandalkan seperangkat silabus dan konsep-konsep yang
teoritis. Pendidikan karakter berada pada domain keteladanan, di mana figuritas
menjadi penting sebagai “silabus” maupun “konsep” yang hidup.
Komentar