Ibu, Ujung Tombak Pendidikan

Ibu, Ujung Tombak Pendidikan
Oleh Junaidi Abdul Munif

            Pendidikan di Indonesia mengarah pada model sekolahan. Peran keluarga, -dan terutama ibu-, mulai tergeser. Padahal keluarga Keluarga mempunyai peran untuk melindungi anak dengan memberikan pola asuh yang sesuai dengan prinsip yang digunakan dalam pembangunan Anak Indonesia, yang mengacu pada KHA (Konvensi Hak Anak) yaitu Non Diskriminasi; Kepentingan Terbaik bagi Anak; Hak Hidup, Kelangsungan Hidup, dan Perkembangan; dan Menghargai Pandangan Anak.
Terlebih ketika para ibu juga disibukkan untuk mencari nafkah bagi keluarga, semakin sedikit waktu yang tercurah untuk anak. Akan tetapi, ada pola yang sebetulnya linier, bahwa waktu sekolah anak sama dengan waktu kerja, khususnya ibu. Orangtua yang mendidik anak secara langsung sangat penting karena orangtua yang lebih tahu karakter anak, sehingga tahu cara mengarahkan potensi anak.
            Tentu kita tidak mungkin mengharapkan ibu berperan seperti guru yang menguasai pelbagai pelajaran tertentu. Yang paling mudah adalah mengajarkan anak-anak melalui sastra. Dengan cara ini ibu berperan sebagai narator, motivator, dan reflektor bagi anaknya.
Andai kita masih percaya bahwa fungsi sastra adalah menghaluskan rasa, budi manusia, melatih imajinasi, dan menumbuhkan empati, selayaknya pelajaran  sastra mendapat porsi yang cukup besar di sekolah. Kenyataannya tidak. Agus R Sarjono (Horison, September 2003) menuliskan bagaimana siswa yang tak membaca sastra, akan memunculkan karakter siswa yang homogen, dan pada titik nadirnya melahirkan siswa yang brutal dan hobi tawuran.
            Kebuta-sastra-an menciptakan siswa-siswa yang berpikiran seragam dan memandang sinis kehadiran liyan (pihak lain). Membaca buku sastra juga bukan menjadi syarat kelulusan siswa. Kegagalan pengajaran sastra akan berdampak pula pada kesulitan berkomunikasi. Diksi yang dipilih bisa jadi sangat monoton atau garing.
            Jika tragedi pendidikan salah satunya adalah peminggiran pengajaran sastra, maka harus ada pola pendidikan lain yang akan mendekatkan anak-anak yang mulai berkembang itu dengan sastra. Pengenalan sastra diawali dari keluarga yang merupakan tempat pertama kali seorang anak mendapatkan pendidikan. Bagaimana anak belajar bergaul dengan orang lain diawali dari keluarga. Di sini peran ibu sangat vital, mengingat sejak bayi, anak-anak sangat dekat dengan ibu.
            Harapan ini sesuai dengan apa yang pernah dikatakan Sapardi Djoko Damono, bahwa masa depan sastra ada di tangan perempuan. Ini dikatakannya untuk menjustifikasi generasi penulisan sastra pasca 2000-an, dengan Ayu Utami (Saman dan Larung) dan kawan-kawan yang ramai-ramai menulis sastra.
            Keluarga akan menjadi tempat anak-anak belajar menghormati perbedaan, menghargai pihak lain, empati terhadap orang lain dan merasakan keindahan dalam keberagaman. Terlebih, tradisi sastra dalam keluarga sejak mula sudah mendarah daging di Indonesia (Nusantara) dengan adanya budaya mendongeng. Dongeng merupakan sastra lisan. Dulu, ibu atau nenek akan mendongengkan cerita untuk pengantar tidur sang anak atau cucu. Dongeng-dongeng tersebut mempunyai pesan moral yang jelas tentang baik dan buruk. 
            Tradisi kelisanan ini perlu dijaga, meski secara bersamaan harus mulai merambah ke sastra tulis. Anak-anak yang belum bisa baca-tulis tentu akan mudah menangkap informasi melalui lisan. Ketika anak-anak sudah bisa membaca, mulai diperkenalkan dengan sastra tulis. Ibu dengan caranya masing-masing, bisa me-sastra-kan apa yang sebetulnya tidak nyastra. Doa-doa, apabila dibaca dengan cara dan intonasi tertentu, adalah sebuah karya sastra juga, yang mengandung estetika bahasa.
            Komunikasi antar anggota keluarga, misalnya juga bisa dijadikan cara untuk menanamkan nilai-nilai sastra di benak anak-anak. Bagaimana berkata-kata yang baik dan indah kepada anggota keluarga, teman serta lingkungan bisa dimunculkan dari pembelajaran sastra di keluarga.
            Putu Wijaya (2008) menulis, membaca karya sastra seperti menggali tambang, mengeruk, memburu makna-makna yang bersembunyi di balik kata-kata. Sastra akan merangsang imajinasi anak. Tentunya, untuk sampai pada kondisi ”keluarga adalah ruang belajar sastra bagi anak-anak”, dibutuhkan perempuan yang aktif membaca. Apa yang dibacanya, ditransformasikan dalam bentuk lisan (dongeng atau cerita) dan disampaikan kepada anak-anak.
            Dengan demikian, ibu telah membekali anak-anak sarana untuk menggali nilai-nilai kehidupan. Anak-anak yang telah akrab dengan sastra sejak dini, saat menempuh pendidikan lanjutan, kebiasaan ini akan terbawa. Sastra dan estetika bahasa menjadi bagian integral dari jiwa mereka, yang akan bertransformasi menjadi perilaku. Seyogyanya ibu menjadi ujung tombak pendidikan untuk mencetak generasi penerus bangsa yang berkualitas. Ibu adalah #sahabatkeluarga dalam pendidikan anak.


Junaidi Abdul Munif
Direktur el-Wahid Center Semarang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Resensi Novel Akik dan Penghimpun Senja

coretan tentang hujan dan masa kecil