Pendidikan Karakter dari Keluarga

Pendidikan Karakter dari Keluarga
Oleh Junaidi Abdul Munif
            Pendidikan karakter dapat dikatakan sangat berumur tua. Rasulullah Muhammad Saw pun diutus untuk menyempurnakan akhlak, yang itu artinya membawa misi pendidikan karakter. Kemajuan bangsa Arab di zaman Nabi Muhammad rupanya menyisakan kekosongan dimensi akhlak masyarakat. Untuk itu sebelum berbicara tentang tauhid, syariat, fikih, Nabi ditugaskan menyempurnakan akhlak terlebih dahulu.
Di Indonesia, pendidikan karakter merupakan salah satu isu pendidikan nasional yang menarik untuk dikaji. Berbagai karya ilmiah mulai dari skripsi, tesis, disertasi, jurnal, buku, dan artikel populer banyak membahas pendidikan karakter. Dapat dikatakan bahwa pendidikan karakter seperti rumah dengan banyak pintu. Banyak cara untuk masuk ke “rumah” pendidikan karakter tersebut.      
Pada tahun 2015, Mendikbud Anies Baswedan telah mengeluarkan Permendikbud No. 21 yang direvisi dengan Permendikbud No. 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti pun sebetulnya sudah sejalan dengan narasi pendidikan karakter. Namun sepertinya Presiden Jokowi belum mantap sehingga Perpres No. 87 Tahun 2017 perlu dikeluarkan sebagai penguat proyek besar pendidikan karakter.
PPK secara struktural 4 kementerian dalam, yaitu menteri koordinator bidang pembangunan manusia dan kebudayaan sebagai koordinator bersama kementerian pendidikan dan kebudayaan, kementerian agama, kementerian dalam negeri, dan pemda. Dengan ruang lingkup yang begitu luas, PPK menunjukkan itikad baik pemerintah bahwa urusan pendidikan merupakan masalah bersama semua elemen masyarakat. Pendidikan formal, non formal, dan informal diharapkan bersinergi untuk mencetak generasi emas Indonesia di tahun 2045.
Konsep pendidikan menjadi tanggung jawab antara sekolah formal, non formal, dan informal, memang tampak heroik. Namun, pada praksisnya hal ini menyimpan problema tersendiri. Pendidikan karakter berjalan seiring relasi antar-manusia dalam masyarakat. Pendidikan formal menyediakan basis kognitif yang kemudian diharapkan dapat terimplementasikan dalam kehidupan masyarakat. Tetapi masyarakat yang dinamis, menyerap nilai dan unsur-unsur budaya dari luar membuat pendidikan karakter secara formal “mati angin”. Hal itu terjadi karena kognisi pendidikan karakter tidak selalu sejalan dengan realitas empirik yang terjadi masyarakat.
Kemdikbud telah membentuk Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga agar penyelenggaraan pelibatan keluarga di satuan pendidikan yang telah melaksanakan pelibatan keluarga di ribuan satuan pendidikan sejak jenjang PAUD sampai SMA/SMK dan satuan pendidikan nonformal.
Sarana dan prasarana untuk mensukseskan PPK merupakan PR tersendiri bagi lembaga pendidikan. Dengan sifatnya yang terbuka, lembaga formal dapat bekerja sama dengan lembaga kursus untuk menjadi ekstrakurikuler. Penyediaan akses bagi ekstrakurikuler selama ini sering terkendala dan ketersediaan sarana dan pengajar ekstrakurikuler. Potensi anak didik sangat beragam dan lembaga pendidikan formal bertanggung jawab mengakomodasi ketersediaan ekstrakurikuler yang beragam.

Dari Keluarga
            PPK mengesankan program raksasa yang menyasar masyarakat sampai elemen dasar; keluarga. Dalam struktur pendidikan kita, pendidikan formal menempati strata paling tinggi. Teks dalam perpres tentang PPK secara berurutan pun masih demikian. Pendidikan formal dengan intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikulernya dijelaskan cukup rinci.
            Ki Hadjar Dewantara (1961) menjelaskan bahwa pendidikan keluarga merupakan tempat yang lebih sempurna sifat dan wujudnya. Sistem sekolah secara barat bersifat pendidikan pikiran untuk menyiarkan ilmu pengetahuan serta mengusahakan cerdasnya intelek. Pendidikan sosial dalam sistem sekolahan terdesak dan terhambat karena intelektualisme acapkali menentang kesosialan. 
            Menurut Mendkibud Muhadjir Effendy, guru, orang tua, dan masyarakat harus dapat menjadi sumber kekuatan untuk memperbaiki kinerja dunia pendidikan dan kebudayaan dalam menumbuhkembangkan karakter dan literasi anak Indonesia. Tripusat pendidikan harus secara simultan menjadi lahan subur tempat persemaian nilai-nilai religius, kejujuran, kerja keras, gotong royong, dan seterusnya bagi para penerus kedaulatan dan kemajuan bangsa.
Nilai-nilai yang diadaptasi dalam pendidikan karakter merupakan nilai-nilai luhur yang tumbuh di masyarakat untuk mencetak manusia ideal. Pendidikan karakter sesungguhnya adalah praktik yang secara sosiologis merupakan adaptasi manusia di masyarakat. Artinya, tujuan pendidikan karakter, di luar tujuan mencetak generasi muda yang cinta tanah air, nilai-nilai pendidikan karakter secara alamiah merupakan modal individual dan sosial agar bisa sintas berinteraksi di masyarakat.
            Pendidikan keluarga secara faktual bisa berbeda-beda, tergantung latar belakang orangtua. Orangtua yang bekerja sebagai pendidik, atau memiliki basis pendidikan formal dapat terlibat dalam proses pendampingan anak dalam belajar, dalam hal ini keluarga seperti pelengkap dari “infrastruktur sosial” dari pendidikan formal.
Setiap keluarga dan orangtua memiliki cara tersendiri untuk mendidik anaknya. Keluarga petani akan mendidik anak dengan membantu di sawah atau ladang, orangtua pedagang mengajak anaknya untuk berdagang, misalnya. Interaksi orangtua di kehidupan sosial menjadi metode keteladanan untuk membentuk karakter anak.
            Perpres tentang PPK memberi arahan yang sangat jelas. Terlebih dengan Permendikbud No 30 Tahun 2017, semakin gamblang peran keluarga dalam pendidikan anak. Di mana salah satu tujuan pelibatan keluarga dalam pendidikan adalah mendorong penguatan pendidikan karakter anak. Saatnya intensitas keterlibatan keluarga dalam pendidikan dioptimalkan demi menyongsong Indonesia yang lebih berkarakter, karena pendidikan adalah #sahabatkeluarga.

Penulis
Junaidi Abdul Munif



              

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Resensi Novel Akik dan Penghimpun Senja

coretan tentang hujan dan masa kecil