Melindungi Anak-Anak dari Radikalisme
Melindungi Anak-Anak dari Radikalisme
Oleh Junaidi Abdul Munif
Tragedi terorisme di Surabaya dan
Sidoarjo memunculkan fakta yang mencengangkan, dua keluarga bersama
anak-anaknya menjadi terduga peledakan bom. Keluarga Dita Oeprianto dan Puji
Kuswati bersama empat buah hatinya semuanya meninggal saat meledakkan bom di
tiga gereja pada Minggu pagi. Sedangkan keluarga Anton Febrianto di rusunawa
Sidoarjo, ada tiga anak yang selamat. Bahkan ada satu anak Anton yang selamat
dari pemikiran orangtuanya karena memilih sekolah dan tinggal bersama neneknya.
Pelaku terorisme semakin menakutkan
karena telah melibatkan anak-anak sebagai martir. Kita tidak tahu apakah
anak-anak tersebut secara sadar memilih ikut bunuh diri bersama orangtuanya. Atau
mereka telah dibohongi orangtuanya, tidak tahu bahwa yang dibawanya adalah bom.
Fenomena
ini sebetulnya juga bukan perkara baru. Bahwa pemikiran radikal telah menyusup
ke ruang-ruang sekolah, melalui ekstrakurikuler keislaman ataupun justru masuk
dalam proses pembelajaran, menjadi hidden curriculum. Sekitar empat
belas tahun lalu, saya mengunjungi teman pengelola PAUD. Di dinding sekolah
ditempel poster kekejaman Israel-Zionis pada anak-anak Palestina. Saat itu saya
tidak membayangkan, bahwa model propaganda demikian merupakan pondasi untuk
membangun pemikiran radikalisme.
Menurut laporan BBC pada 2016,
pemahaman radikal telah menyasar sekolah-sekolah. Kata-kata kafir diajarkan
pada anak-anak untuk mengidentifikasi kelompok yang berbeda agama. Era media
sosial membuat langkah antisipasi dari pihak berwenang menjadi terhambat karena
isu yang dilontarkan kemudian adalah pemerintah melakukan keszaliman pada
Islam. Padahal, mereka sebetulnya kelompok yang kecil tetapi berhasil melakukan
propaganda seolah-olah suara mereka adalah suara mayoritas muslim di Indonesia.
Sudah banyak survei dilakukan untuk
meneliti sejauh mana anak-anak muda terpapar radikalisme. Survei BNPT tahun
2017 menunjukkan bahwa 39% mahasiswa terindikasi tertarik radikalisme. Survei LAKIP
pada 2011 menemukan bahwa sebanyak 48,9 bersedia melihat aksi kekerasan agama
dan moral, dan 63,8 bersedia terlibat penyegelan rumah ibadah agama lain. Wahid
Institute pada tahun 2017 melaporkan bahwa 11 juta orang Indonesia yang
bersedia bertindak radikal jika situasi memungkinkan. Menurut Haidar Bagir,
menyusutnya ketahanan keluarga
juga menjadi pintu masuk paham radikalisme pada anak-anak dan generasi muda.
Pemerintah cukup “kesulitan”
merumuskan kebijakan pencegahan radikalisme akibat rumitnya simpul-simpul
radikalisme ini. Agama juga merupakan isu yang sangat sensitif dan mampu
memobilisasi massa. Pembahasan UU Antiterorisme belum menemui titik temu.
Menurut Kapolri Tito Karnavian, UU Antiterorisme sesungguhnya bisa membuat
polisi melakukan tindakan bagi orang-orang yang diduga terlibat terorisme.
Menurutnya, ada 1000 WNI yang pernah pergi ke Suriah sejak negara itu diporak-porandakan
ISIS. Tapi polisi belum bisa bertindak karena akan dianggap melanggar HAM.
Pelaku teroris baru bisa ditindak saat bena-benar terindikasi kuat.
Radikal
bertahap
Menurut Abdurrahman Wahid (2009),
ada tiga tahap kekerasan. Pertama, kekerasan doktrinal, model kekerasan
berpikir-ideologis corak pemikiran keislaman tertentu. Pemikiran ini menutup
kebenaran dari pemikiran keislaman lain. Kedua, kekerasan budaya, yang
sebetulnya merupakan implementasi (aksi). Jika kekerasan doktrinal lebih
menyasar ke kognisi, maka kekerasan budaya menyasar pada afeksi. Sikap yang
ditunjukkan adalah menolak model-model budaya yang bertentangan dengan corak
Islam yang telah dipahami sebelumnya.
Ketiga,
kekerasan sosiologis. Kekerasan ini mewujud dalam aksi persekusi, sweeping,
sampai yang belum mengerikan; terorisme. Ketiga tahap ini seperti virus yang
berinkubasi dalam pikiran manusia. Sebagaimana ketahanan tubuh menjadi faktor
apakah sebuah virus berkembang cepat atau lambat, virus radikalisme pun
demikian. Ada anak-anak muda seperti Suliono yang berusia 23 tahun saat
melakukan kekerasan terhadap jemaat gereja di Sleman. Beberapa pelaku terorisme
sebelumnya ada yang baru lulus SMA.
Anak-anak
diajarkan kekerasan doktrinal melalui bahasa kafir. Doktrin ini tentu akan
mudah diserap dan diingat oleh anak-anak. Pada tahap selanjutnya, kekeraan
budaya akan melahirkan tipikal seseorang yang tidak membaur dengan kelompok
lain. Terutama pada kelompok dengan Islam yang akomodatif dengan budaya. Dan
tahap terakhir adalah kekerasan sosiologis.
Dari penuturan teman-teman Dita
Oeprianto di laman media sosial, menjelaskan bahwa di masa SMA Dita seperti
siswa kebanyakan. Pada saat hendak menikah dengan Puji, keluarga Puji tidak
merestui karena melihat sikap Dita yang tertutup dan pemahaman keislaman yang berbeda.
Artinya, pemikiran radikal yang dimiliki Dita sudah tercium sekitar 20 tahun
lalu (anak pertama mereka pada saat meledakkan bom berusia 18 tahun). Keluarga
pasti tidak menyangka bahwa kecurigaan dua puluh tahun lalu pada akhirnya
membuat hilangnya satu generasi keluarga.
Mendeteksi
sejak dini
Peran pemerintah dan aparat keamanan
dibatasi oleh perundang-perundangan. Maka secara budaya, kita berharap keluarga
sebagai salah satu satuan pendidikan infrormal, dapat berperan aktif mencegah
anak-anaknya terpapar paham radikalisme. Deteksi dini perlu dilakukan oleh orangtua
jika mendapati anaknya keluarganya mulai terindikasi terpapar radikalisme.
Bagi
orangtua awam keislaman, pada awalnya mungkin akan merasa bangga bahwa anaknya
yang awalnya tidak shalat mendadak rajin shalat. Media pop menyebut tren
seperti ini sebagai hijrah. Misalnya anak yang awalnya menyukai musik, tapi
setelah mengikuti pengajian tertentu, berubah jadi mengharamkan musik.
Pemikiran
radikalisme, jika mengacu pada kebiasaannya, bisa dilihat dari tiga aspek.
pertama, pakaian dan atribut. Tanpa mengesampingkan bahwa tidak semuanya orang
dengan pakaian corak tertentu merupakan orang yang berpikir radikal. Kedua,
bahasa, bahwa bahasa-bahasa tertentu menunjukkan corak pemikiran radikal dan
ekstrem. Ketiga, preferensi dan sikap terhadap radikalisme, video-video yang
ditonton dan disebarkan merupakan video kekejaman di negara-negara muslim yang
sedang konflik.
Menurut
Rubaidi (2010) ada lima ciri gerakan radikalisme. Pertama, menjadikan
Islam sebagai ideologi final dalam mengatur kehidupan individual dan juga
politik ketatanegaraan. Kedua, nilai-nilai Islam yang dianut mengadopsi budaya
Timur Tengah, tanpa mempertimbangkan perkembangan sosial dan politik ketika
Al-Quran dan hadits hadir.
Ketiga,
perhatian terfokus pada teks Al-Qur’an dan hadist, maka terjadi purifikasi. Berhati-hati
menerima tradisi lokal karena khawatir mencampuri Islam dengan bid’ah. Keempat,
menolak ideologi Non-Timur Tengah termasuk ideologi Barat, seperti demokrasi,
sekularisme dan liberalisme. Kelima, gerakan kelompok ini sering
berseberangan dengan masyarakat luas termasuk pemerintah, terkadang terjadi
gesekan ideologis bahkan fisik dengan kelompok lain.
Tidak
semua pemikiran radikal akan berujung pada terorisme. Sebagaimana setiap
organisasi, ada kader puncak dan kader semenjana. Pemahaman tekstual yang yang
disampaikan secara doktrinal tentu adalah pondasi bagi kekerasan budaya dan
kekerasan sosiologis. Namun kita mesti waspada, karena kita tidak tahu siapa
orang berpaham radikal yang berani melakukan kekerasan sosiologis.#sahabatkeluarga
Junaidi
Abdul Munif
Direktur
el-Wahid Center, Semarang
Komentar