Jurnalisme Sastra
Oleh Junaidi Abdul Munif
Tahun 1992, ketika terjadi peristiwa Pembantaian Dili (Dili Massacre), Seno Gumira Ajidarma masih menjadi wartawan untuk majalah Jakarta Jakarta. Berita pembantaian di Dili, diekspos di majalahnya. Karena saat itu rezim orde baru begitu represif terhadap pers, maka Jakarta Jakarta pun ”dijewer” penguasa.
Sebuah peristiwa tak melulu harus hadir lewat berita. Dengan kaidah 5 W 1 H-nya. Jiwa sastrawan Seno pun memberontak untuk menyuarakan kebenaran. Dan karena berita begitu ketat sensornya, maka Seno pun tak punya cara lain. Ia menyampaikan berita lewat sastra.
Kredo-nya yang terkenal adalah Ketika Jurnalisme dibungkam, Sastra Harus Bicara. Di sini, sastra menjadi alternatif lain untuk menyampaikan berita yang begitu kejamnya.
Kini, situasi berbalik. Angin reformasi menghilangkan represifisme orde baru. Media pun bebas menulis berita, apa adanya. Tak perlu takut dengan sensor, toh sudah ada undang-undang pers yang menjamin kebebasan menulis berita.
Namun, jaman telah begitu cepat bergerak. Indonesia seolah menjadi negara yang penuh dengan darah dan kekerasan. Setiap hari media menyajikan berita yang begitu sadisnya. Televisi malah menyajikan visualisasi yang sempurna.
Ahmad Sahal dalam pengantarnya untuk Cerpen Pilihan Kompas 1999, Derabat, menulis Sastra, Ambiguitas dan Tawa Tuhan. Ambiguitas adalah spirit utama sastra. Karena itu tidak ada kebenaran tunggal dalam sastra.
Kita harus merenungkan kembali kredo Seno Gumira Ajidrama tersebut. Ijtihadnya untuk menulis berita lewat jalan sastra, bukan hanya sebatas ”berlindung” dari tangan besi penguasa. Lebih dari itu, ia seperti ingin membuat jarak antara pembaca dan realita. Jarak itu adalah sastra, dengan kata lain fiksi, bukan fakta.
Ketika kekerasan yang benar-benar ada di sekitar kita tampil vulgar apa adanya, rasa miris kita terhadap kekerasan pun tumpul karena begitu seringnya. Kekerasan menjadi bagian integral hidup kita. Kekerasan bukan lagi menjadi barang yang aneh.
Jurnalisme sastra perlu dihidupkan kembali. Terkait dengan kekerasan yang nyata di sekitar kita. Ketika orang menjumpai sastra yang bercerita kekerasan, semoga ia menganggapnya hanya dalam cerita, bukan dalam kehidupan nyata. Dan tidak akan ada cerita pengulangan kekerasan gara-gara media memberitakannya.
Junaidi Abdul Munif
Redaktur Buletin independen elwahid Universitas Wahid Hasyim SemaranG
Oleh Junaidi Abdul Munif
Tahun 1992, ketika terjadi peristiwa Pembantaian Dili (Dili Massacre), Seno Gumira Ajidarma masih menjadi wartawan untuk majalah Jakarta Jakarta. Berita pembantaian di Dili, diekspos di majalahnya. Karena saat itu rezim orde baru begitu represif terhadap pers, maka Jakarta Jakarta pun ”dijewer” penguasa.
Sebuah peristiwa tak melulu harus hadir lewat berita. Dengan kaidah 5 W 1 H-nya. Jiwa sastrawan Seno pun memberontak untuk menyuarakan kebenaran. Dan karena berita begitu ketat sensornya, maka Seno pun tak punya cara lain. Ia menyampaikan berita lewat sastra.
Kredo-nya yang terkenal adalah Ketika Jurnalisme dibungkam, Sastra Harus Bicara. Di sini, sastra menjadi alternatif lain untuk menyampaikan berita yang begitu kejamnya.
Kini, situasi berbalik. Angin reformasi menghilangkan represifisme orde baru. Media pun bebas menulis berita, apa adanya. Tak perlu takut dengan sensor, toh sudah ada undang-undang pers yang menjamin kebebasan menulis berita.
Namun, jaman telah begitu cepat bergerak. Indonesia seolah menjadi negara yang penuh dengan darah dan kekerasan. Setiap hari media menyajikan berita yang begitu sadisnya. Televisi malah menyajikan visualisasi yang sempurna.
Ahmad Sahal dalam pengantarnya untuk Cerpen Pilihan Kompas 1999, Derabat, menulis Sastra, Ambiguitas dan Tawa Tuhan. Ambiguitas adalah spirit utama sastra. Karena itu tidak ada kebenaran tunggal dalam sastra.
Kita harus merenungkan kembali kredo Seno Gumira Ajidrama tersebut. Ijtihadnya untuk menulis berita lewat jalan sastra, bukan hanya sebatas ”berlindung” dari tangan besi penguasa. Lebih dari itu, ia seperti ingin membuat jarak antara pembaca dan realita. Jarak itu adalah sastra, dengan kata lain fiksi, bukan fakta.
Ketika kekerasan yang benar-benar ada di sekitar kita tampil vulgar apa adanya, rasa miris kita terhadap kekerasan pun tumpul karena begitu seringnya. Kekerasan menjadi bagian integral hidup kita. Kekerasan bukan lagi menjadi barang yang aneh.
Jurnalisme sastra perlu dihidupkan kembali. Terkait dengan kekerasan yang nyata di sekitar kita. Ketika orang menjumpai sastra yang bercerita kekerasan, semoga ia menganggapnya hanya dalam cerita, bukan dalam kehidupan nyata. Dan tidak akan ada cerita pengulangan kekerasan gara-gara media memberitakannya.
Junaidi Abdul Munif
Redaktur Buletin independen elwahid Universitas Wahid Hasyim SemaranG
Komentar