RUANG PUBLIK POLITIS
DPR Sebagai Ruang Publik Politis
Oleh Junaidi Abdul Munif
Tahun 2009 ini bangsa kita akan dilelahkan dengan event politic party (perayaan pesta politik). Mulai dari pemilihan anggota DPR, DPD dan Presiden. Semuanya bermuara pada tujuan perbaikan nasib bangsa (rakyat) ke depan. Sistem pemerintahan demokrasi yang diwujudkan dengan trias politica ala JJ Rossesau, memang tampak ideal bagi masyarakat Indonesia yang plural. Presiden sebagai eksekutif, MA sebagai yudikatif serta DPR dan DPD sebagai legislatif.
Demokrasi yang secara harfiah dimaknai sebagai sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat menyiratkan sebuah pesan bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi. Itu berarti rakyat menempati posisi vital dari sistem demokrasi ini. Karena itu dalam politik rakyat harus mendapatkan posisi dan tempat yang signifikan.
DPR sebagai wakil rakyat adalah representasi penyambung lidah rakyat untuk disampaikan kepada presiden sebagai eksekutor (pelaksana). Di sinilah peran DPR sebagai ruang publik politis sangat menentukan bagi terwujudnya sistem demokrasi yang dicita-citakan Rossesau.
Itu tataran idealitasnya. Pada tataran faktualnya, tampak bahwa DPR belum optimal menjadi penyambung suara rakyat yang benar-benar bersuara lantang demi kepentingan rakyat. Bahkan ada persepsi salah di masyarakat bahwa DPR sama dengan pemerintah. Sebuah persepsi yang menyesatkan karena memunculkan stratifikasi biner antara rakyat dan penguasa.
Terbukti dengan beberapa kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat. Meski DPR tentu saja memiliki alibi untuk membenarkan tindakannya tersebut. Namun, pada intinya DPR belum berhasil memperjuangkan aspirasi rakyat. Keterjembatan publik dengan pemerintah memang belum bisa digarap secara maksimal oleh DPR. Birokrasi yang rumit, serta prosedur yang berbelit-belit menjadi alasan utama mengapa masyarakat belum menemukan ruang publik yang hangat untuk perbaikan nasib bangsa ini ke depan.
Hannah Arendt menyebut bahwa ruang publik politis adalah ruang yang memungkinkan kesadaran keberadaan antara rakyat dan pemerintah. Sebuh ruang tanpa sekat yang membuat masyarakat nyaman untuk berkeluh kesah dan urun rembug demi perbaikan kondisi masyarakat. Semoga di tahun 2009 ini kita mendapatkan para wakil rakyat yang mampu menjadi ruang publik politis yang hangat. Wallahu a’lam.
Oleh Junaidi Abdul Munif
Tahun 2009 ini bangsa kita akan dilelahkan dengan event politic party (perayaan pesta politik). Mulai dari pemilihan anggota DPR, DPD dan Presiden. Semuanya bermuara pada tujuan perbaikan nasib bangsa (rakyat) ke depan. Sistem pemerintahan demokrasi yang diwujudkan dengan trias politica ala JJ Rossesau, memang tampak ideal bagi masyarakat Indonesia yang plural. Presiden sebagai eksekutif, MA sebagai yudikatif serta DPR dan DPD sebagai legislatif.
Demokrasi yang secara harfiah dimaknai sebagai sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat menyiratkan sebuah pesan bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi. Itu berarti rakyat menempati posisi vital dari sistem demokrasi ini. Karena itu dalam politik rakyat harus mendapatkan posisi dan tempat yang signifikan.
DPR sebagai wakil rakyat adalah representasi penyambung lidah rakyat untuk disampaikan kepada presiden sebagai eksekutor (pelaksana). Di sinilah peran DPR sebagai ruang publik politis sangat menentukan bagi terwujudnya sistem demokrasi yang dicita-citakan Rossesau.
Itu tataran idealitasnya. Pada tataran faktualnya, tampak bahwa DPR belum optimal menjadi penyambung suara rakyat yang benar-benar bersuara lantang demi kepentingan rakyat. Bahkan ada persepsi salah di masyarakat bahwa DPR sama dengan pemerintah. Sebuah persepsi yang menyesatkan karena memunculkan stratifikasi biner antara rakyat dan penguasa.
Terbukti dengan beberapa kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat. Meski DPR tentu saja memiliki alibi untuk membenarkan tindakannya tersebut. Namun, pada intinya DPR belum berhasil memperjuangkan aspirasi rakyat. Keterjembatan publik dengan pemerintah memang belum bisa digarap secara maksimal oleh DPR. Birokrasi yang rumit, serta prosedur yang berbelit-belit menjadi alasan utama mengapa masyarakat belum menemukan ruang publik yang hangat untuk perbaikan nasib bangsa ini ke depan.
Hannah Arendt menyebut bahwa ruang publik politis adalah ruang yang memungkinkan kesadaran keberadaan antara rakyat dan pemerintah. Sebuh ruang tanpa sekat yang membuat masyarakat nyaman untuk berkeluh kesah dan urun rembug demi perbaikan kondisi masyarakat. Semoga di tahun 2009 ini kita mendapatkan para wakil rakyat yang mampu menjadi ruang publik politis yang hangat. Wallahu a’lam.
Komentar