sekolah unggulan?
Paradigma Unggulan
Oleh Junaidi Abdul Munif
Dunia pendidikan kita mengalami apa yang disebut komersialisme pendidikan. Amanat undang-undang dasar 1945 menyiratkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Namun, karena komersialisme pendidikan ini, hanya warga negara yang kaya saja yang mampu menikmati pendidikan lebih baik.
Hal ini diperparah dengan paradigma unggulan di masyarakat kita. Masyarakat kita selalu menganggap bahwa sesuatu yang unggulan pasti menyediakan fasilitas dan kualitas tenaga pendidik yang baik. Fasilitas dan tenaga yang baik akan menghasilkan lulusan yang baik pula. Begitu hukum kausalitasnya.
Kuliah di Perguruan Tinggi (PT) negeri atau unggulan akan menghadirkan prestis (gengsi) tersendiri. Maka banyak calon mahasiswa memilih universitas negeri ketika mendaftar, baru PT Swasta sebagai alternatif jika tak diterima di PT Negeri.
Karena dicap sebagai universitas unggulan inilah, banyak universitas yang dengan seenaknya memberikan syarat masuk berupa sumbangan pendidikan yang jumlahnya bisa membuat jantung berdegup kencang.
Jika ini terus dibiarkan, akan memunculkan iklim dunia pendidikan yang tidak sehat. Orientasi mahasiswa manjadi orientasi kerja, bukan lagi nilai idealisme intelektual untuk memperbaiki nasib bangsa. Sebab akan ada perhitungan untung-rugi, biaya ketika kuliah dan hasil (materi) yang didapat setelah kuliah lebih besar mana.
Perhitungan untung rugi ini pada tingkat tertentu akan memunculkan sikap egoisme-individulisme: yang penting aku kerja. Nasib bangsa sudah ada yang mikir sendiri. Jika terus dibiarkan, jalur pemikir bangsa yang dihasilkan oleh kampus akan terputus. Inilah ”kiamat” bangsa kita, jika yang muncul dari kampus adalah warga dengan mentalitas pekerja.
Masyarakat juga perlu disadarkan bahwa universitas unggulan bukanlah segala-galanya. Masih ada pendidikan murah yang berkualitas, sehingga tidak memaksakan diri untuk mengejar universitas unggulan jika ternyata uang tak mencukupi.
Akhirnya, patut dicurigai paradigma unggulan adalah paradigma yang sengaja dimunculkan. Mirip iklan yang mengumbar kelebihan untuk meletupkan jiwa konsumerisme.
Oleh Junaidi Abdul Munif
Dunia pendidikan kita mengalami apa yang disebut komersialisme pendidikan. Amanat undang-undang dasar 1945 menyiratkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Namun, karena komersialisme pendidikan ini, hanya warga negara yang kaya saja yang mampu menikmati pendidikan lebih baik.
Hal ini diperparah dengan paradigma unggulan di masyarakat kita. Masyarakat kita selalu menganggap bahwa sesuatu yang unggulan pasti menyediakan fasilitas dan kualitas tenaga pendidik yang baik. Fasilitas dan tenaga yang baik akan menghasilkan lulusan yang baik pula. Begitu hukum kausalitasnya.
Kuliah di Perguruan Tinggi (PT) negeri atau unggulan akan menghadirkan prestis (gengsi) tersendiri. Maka banyak calon mahasiswa memilih universitas negeri ketika mendaftar, baru PT Swasta sebagai alternatif jika tak diterima di PT Negeri.
Karena dicap sebagai universitas unggulan inilah, banyak universitas yang dengan seenaknya memberikan syarat masuk berupa sumbangan pendidikan yang jumlahnya bisa membuat jantung berdegup kencang.
Jika ini terus dibiarkan, akan memunculkan iklim dunia pendidikan yang tidak sehat. Orientasi mahasiswa manjadi orientasi kerja, bukan lagi nilai idealisme intelektual untuk memperbaiki nasib bangsa. Sebab akan ada perhitungan untung-rugi, biaya ketika kuliah dan hasil (materi) yang didapat setelah kuliah lebih besar mana.
Perhitungan untung rugi ini pada tingkat tertentu akan memunculkan sikap egoisme-individulisme: yang penting aku kerja. Nasib bangsa sudah ada yang mikir sendiri. Jika terus dibiarkan, jalur pemikir bangsa yang dihasilkan oleh kampus akan terputus. Inilah ”kiamat” bangsa kita, jika yang muncul dari kampus adalah warga dengan mentalitas pekerja.
Masyarakat juga perlu disadarkan bahwa universitas unggulan bukanlah segala-galanya. Masih ada pendidikan murah yang berkualitas, sehingga tidak memaksakan diri untuk mengejar universitas unggulan jika ternyata uang tak mencukupi.
Akhirnya, patut dicurigai paradigma unggulan adalah paradigma yang sengaja dimunculkan. Mirip iklan yang mengumbar kelebihan untuk meletupkan jiwa konsumerisme.
Komentar