Akademi Komunitas Berbasis Local Wisdom
Akademi Komunitas
Berbasis Local Wisdom
Oleh Junaidi Abdul Munif
Kementerian pendidikan dan
kebudayaan (Kemendikbud) telah mencanangkan program pembangunan Akademi Komunitas
(AK) sebagai implementasi dari program dikti, yakni UU No. 12/2012 tentang
Pendidikan Tinggi yang berencana membangun
20 Akademi Komunitas. Pembangunan AK merupakan pengembangan SMK yang sejak
2011 lalu disiapkan secara maksimal sebagai bentuk jenjang pendidikan yang
dapat menyiapkan tenaga terampil siap kerja.
Secara filosofis, menjadikan
pendidikan sebagai faktor determinan bagi anak didik untuk siap di dunia kerja,
bukanlah tujuan dari pendidikan itu sendiri. Mengacu pada tujuan pendidikan
nasional yang termaktub dalam UUD 1945 atau UU Sisdiknas 2003, tujuan
pendidikan sangat kompleks. Kerja, -secara harfiah (tekstual)- bahkan tidak
tercantum dalam dua undang-undang tersebut.
Namun apa daya, karena tujuan
pendidikan sedemikian kompleks, seolah mustahil untuk dicapai semuanya. Kerja
pada akhirnya berterima sebagai tujuan utama pendidikan. Anekdotnya; anak didik
boleh saja tak memenuhi tujuan pendidikan di bidang humaniora (akhlak, karakter,
takwa, nasionalis) tapi untuk bidang skill (keterampilan), jangan sampai
tidak terpenuhi. Kegagalan memeroleh keterampilan dalam proses pendidikan,
dapat menjadi faktor kegagalan siswa/mahasiswa dalam dunia kerja.
Secara praksis, AK merupakan “nama
lain” dari beberapa cabang ilmu yang sudah sejak lama memiliki sekolah tinggi
atau akademi sendiri. STAN yang bergerak di bidang akuntansi, STIS dalam bidang
statistik, AKBID (akademi kebidanan) dan AKPER (akademi keperawatan), institut,
politeknik, dan lain-lain yang telah lama menjamur. Nama-nama lembaga
pendidikan tersebut sudah menyiratkan makna, bahwa mereka konsentrasi dalam
cabang ilmu tertentu. Artinya, mereka sebetulnya juga adalah lembaga pendidikan
berbasis komunitas. Boleh dikatakan, bahwa selain universitas, lembaga
pendidikan tersebut bisa dibaca sebagai “Akademi Komunitas”.
AK didefinisikan sebagai “perguruan tinggi yang
menyelenggarakan pendidikan vokasi setingkat diploma satu dan/atau diploma dua
dalam satu atau beberapa cabang ilmu pengetahuan dan/atau teknologi tertentu
yang berbasis keunggulan lokal atau untuk memenuhi kebutuhan khusus” (dikti.go.id). Pertanyannya, bukankah akademi, politeknik, sekolah tinggi, juga
telah memiliki program diploma? Lantas apa bedanya dengan mahasiswa D I dan D
II yang kuliah di AK nantinya?
Bidikan
tepat
Problem utama pendidikan kita adalah belum semua rumpun/cabang ilmu
memiliki akademi yang secara khusus dapat menyerap potensi lokalitas. Akademi
pertanian dan kelautan belum banyak dibangun, meski dua bidang ini sejatinya
adalah nafas peradaban Nusantara. Semestinya, akademi pertanian dan kelautan
itu lebih banyak didirikan dari akademi lainnya. Tapi faktanya, selain
jumlahnya sedikit, minat calon mahasiswa untuk masuk ke fakultas pertanian dan
kelautan juga rendah.
Pembangunan AK mesti tepat membidik sasaran, agar dana pemerintah tidak
menguap percuma. Pertama, mesti tepat membidik potensi daerah. Potensi lokal
selama ini belum berhasil digarap secara maksimal oleh pemerintah yang
bertujuan untuk mengangkat tingkat kesejahteraan masyarakat. Lokalitas
merupakan kearifan lokal (local wisdom) dan cultural identity
(identitas kebudayaan) yang dapat menjadi landasan pembangunan sehingga
implementasinya sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat (Helmy Faisal
Zaini, Jurnas Nasional, 18/10/2012).
Kedua, mengubah paradigma masyarakat terkait cara pandang mereka dalam melihat
potensi daerahnya. Banyak masyarakat mendapat informasi dari luar (terutama televisi)
dan adagium bahwa orang yang ingin sukses harus pergi daerah asal (merantau). Televisi
kita yang jakartasentris membuat masyarakat melupakan kekayaan lokal di
sekitarnya. Kesadaran masyarakat mesti ditumbuhkan, bahwa apa yang ada di
sekitarnya merupakan entitas yang bisa meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.
Ketiga, akibat pola pendidikan yang
seolah mengunggulkan bidang-bidang tertentu, masyarakat telah terbentuk pola
pikirnya untuk mengejarnya, meski itu bertolak dengan potensi daerahnya. Sebagai
contoh, di banyak desa agraris, ditemui siswa SMA yang ditanya setelah lulus
akan melanjutkan ke mana, jawaban yang paling umum adalah, kalau tidak di
AKPER, AKBID, dan STAN. Jika nanti akhirnya mereka memilih pendidikan di universitas,
itu merupakan pilihan kelas dua, yang terjadi karena faktor biaya atau tidak
diterima di akademi impiannya.
Menghadapi tipologi masyarakat yang
seperti ini, Kemendikbud mesti bergerak cepat untuk melakukan pemerataan
pembangunan AK dengan menggali potensi-potensi yang ada di masyarakat, seraya
mengubah paradigma masyarakat yang masih enggan menggali-memanfaatkan potensi
lokal. Pembangunan AK harus menunjukkan kelebihan dan keberbedaan dengan
nama-nama seperti institut, sekolah tinggi, politeknik, dan akademi tertentu.
Hal ini penting agar tidak terjadi tumpang tindih dan rebutan calon mahasiswa.
Konsep AK dengan model yang telah dulu ada harus dibedakan agar mahasiswa dapat
menentukan pilihan dengan baik. Mahasiswa kuliah di sekolah tinggi, politeknik,
akademi, itu untuk apa.
Lebih
murah
Harapan dari pembanguan AK adalah bukan
hanya untuk penyiapan tenaga kerja yang siap bersaing, namun juga yang kreatif
menciptakan lapangan kerja dan pandai menangkap peluang. Agar sindirian bahwa
perguruan tinggi selama ini hanya mencetak pengangguran terdidik, bisa
dihilangkan. Pengangguran terdidik tercipta karena dua hal. Pertama, mereka
tidak menguasasi materi yang kelak dibutuhkan dalam dunia kerja, dan kedua,
perbandingan jumlah kelulusan mahasiswa dengan jumlah lapangan kerja yang
tersedia tidak berimbang.
Sudah jamak diketahui, bahwa pendidikan model akademi biayanya mahal.
Alasannya, lebih menekankan pada praktikum, bukan sekadar berkutat dengan
teori. Hal ini juga berlaku di perguruan tinggi, di mana jurusan eksak dan
teknik lebih mahal biayanya dibanding jurusan humaniora. Kemendikbud sedang
berhadapan dengan stereotipe masyarakat, bahwa yang mahal itu
berkualitas, yang murah itu abal-abal.
Tugas dari Kemendikbud adalah
mengusahakan agar biaya pendidikan di AK lebih murah dan terjangkau oleh
masyarakat luas. Murah namun berkualitas. Dalam hal ini, subsidi pendidikan untuk
AK tidak bisa dianak-tirikan. Masyarakat kelas menengah ke bawah memiliki
paradigma bahwa pendidikan merupakan cara mereka untuk menaikkan taraf hidup.
Mereka sekolah, kuliah, disertai membangun mimpi untuk keluar dari jerat
kemiskinan.
Komentar