Mengonkretkan Kebudayaan Sebagai Elemen Membangun Karakter Bangsa



Mengonkretkan Kebudayaan Sebagai Elemen Membangun Karakter Bangsa
Oleh:
JUNAIDI ABDUL MUNIF
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam
 Universitas Wahid Hasyim Semarang

ABSTRAKSI

Kebudayaan sebagai konsep nilai mengandung arti luas dan kadang membingungkan. Terma kebudayaan dengan mudah dipersandingkan dengan terma pariwisata atau kesenian. Padahal ketiganya adalah entitas yang berbeda. Kebudayaan adalah konsep nilai, sementara pariwisata dan kesenian adalah konsep material (benda) yang merupakan hasil kebudayaan itu sendiri. Masyarakat seiring perkembangannya selalu melahirkan budaya yang merupakan hasil kreasi akal, budi, dan respon terhadap kondisi lingkungan. Produk-produk kebudayaan adalah hasil dialektika masyarakat dengan lingkungannya ketika mengalami perkembangan permasalahan yang lebih kompleks. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kebudayaan yang beragam, seiring pengaruh dari kebudayaan bangsa lain yang pernah menjalin hubungan dengan Nusantara. Konsekuensinya adalah kebudayaan antar daerah menjadi beragam dan rentan bertentangan dengan daerah lain. Menjadikan kebudayaan sebagai character building (membangun karaker) bangsa dan masyarakat kini yang tercerabut dari kebudayaannya, menjadi tugas besar bagi beberapa pihak. Dari membangun karakter bangsa melalui kebudayaan, diharapkan permasalahan (krisis) multidimensi bangsa ini bisa diselesaikan.

Kata Kunci: kebudayaan, pariwisata, kesenian, character building.









A. Pendahuluan

Masyarakat adalah sekelompok orang yang mendiami wilayah atau daerah tertentu. Masyarakat disatukan oleh kesamaan kebudayaan, meski tidak sama sepenuhnya. Nasionalisme masyarakat, sebagaimana digambarkan oleh Ben Anderson sebagai imagined communities (komunitas-komunitas terbayang)[1] yakni sebuah masyarakat yang disatukan kesamaan nasib, nilai, kebudayaan, suku, dan entitas lain sebagainya meski antar elemen (individu) tersebut tidak saling mengenal.
Menelusuri kebudayaan Indonesia adalah sesuatu yang rumit dan melelahkan. Artefak kebudayaan sebagai sumber yang bisa dilacak, kondisinya sungguh memprihatinkan. Masyarakat kita menjadi masyarakat yang acuh pada sejarah mereka. Apatisme terhadap artefak kebudayaan material, semisal candi, situs kebudayaan, dan kesenian tradisional menjangkiti hampir seluruh masyarakat kita.
Sementara menelusuri jejak literer kebudayaan kita, sungguh melelahkan karena tradisi nenek moyang kita adalah tradisi lisan, bukan tradisi tulis. Inilah kiranya yang membuat bangsa ini seperti penuh dengan mitos karena banyak cerita yang anonim (tanpa nama pengarang), sehingga kebenaran ilmiahnya masih perlu dipertanyakan. Meski mungkin saja cerita-cerita lisan tersebut adalah “dokumen sejarah” lisan nenek moyang kita[2].
Kondisi inilah yang merepotkan para pengkaji kebudayaan karena kebudayaan dan sejarah kita justru banyak ditulis oleh sarjana barat. Tulisan Marcopolo menjadi rujukan awal ketika ingin menuliskan sejarah Indonesia. Thomas Stamford Rafless dengan History of Java, Clifford Gertz dengan The Religion of Java[3], atau Dennys Lombard dengan seri Nusa Jawa: Silang Budaya.
Dari catatan penjelajah dan sarjana baratlah justru kita mesti belajar tentang sejarah dan kebudayaan Nusantara. Pertanyaannya adalah apakah penulisan sejarah kebudayaan Nusantara yang ditulis oleh orang-orang barat itu benar-benar objektif dalam menuliskan sejarah kebudayaan kita? Adakah kepentingan di balik penulisan tersebut, mengingat kedatangan mereka juga bersamaan dengan eskpansi kolonialisme-imperialisme?[4]

B. Pembahasan

i. Mencari Kebudayaan Indonesia
 
            Berdasarkan sejarah Nusantara (Jawa) yang oleh Dennys Lombard disebut sebagai tempat persilangan budaya, lantas di manakah kita mesti mencari kebudayaan asli Indonesia, yang dulu disebut Nusantara?
            Ingatan kolektif sejarah bangsa mungkin akan tertuju pada zaman Majapahit. Era inilah nama Nusantara dicetuskan di zaman Gajah Mada, yang dengan sumpah palapanya berhasil menyatukan Nusantara seperti wilayah Indonesia sekarang, bahkan ditambah dengan Tumasik (Singapura) dan beberapa wilayah yang kini termasuk Filipina?[5]
            Jika sepakat bahwa mencari akar sejarah kebudayan Indonesia dengan menjadikan zaman keemasan Majapahit sebagai titik tolak untuk meneguhkan identitas bangsa, lantas dari mana menelusuri sejarah kerajaan Majapahit, jika sumber sejarah, situs dan artefak materi budaya tidak terawat dengan baik, sedangkan sumber tulisan tentang kerajaan Majapahit ada di Belanda? Majapahit dengan maritimismenya menjadi ilusi untuk membangkitkan Indonesia yang selami ini dikenal sebagai negara agraris.
            Kebangkitan maritimisme Majapahit diharapkan menjadi pemicu kebangkitan Indonesia yang tangguh dan diakui oleh dunia internasional. Dan harus diakui, meski sejarah Majapahit dengan Gajah Mada adalah sejarah yang gilang gemilang, masyarakat Sunda menyimpan sejarah kelam dengan Gajah Mada karena tragedi perang bubat[6]. Bisakah semangat Majapahit menjadi spirit nasional jika salah satu elemen bangsa ini memendam luka sejarah yang dalam? Dengan modal minimnya literasi sejarah Majapahit itukah sejarah dan kebudayaan Indonesia ini dibangun?
            Akhirnya sejarah Nusantara (Indonesia) mesti diterima sebagaimana layaknya Dennys Lombard menyebutnya sebagai daerah silang budaya. Dalam kebersilangan kebudayaan dan pengaruh kebudayaan aisng tersebut, Indonesia masih memiliki kebudayaan yang khas dan berbeda dengan kelompok lainnya.
            Masyarakat Nusantara sejak lama sudah menggunakan strategi selektivitas untuk merespons kebudayaan yang masuk ke Nusantara. Sejauh baik dan bisa menjalin komunikasi, tidak masalah. Justru karena persilangan kebudayaan antara kebudayaan luar dengan kebudayaan Nusantara, memunculkan kebudayaan baru yang khas. Semisal perayaan keagamaan; selamatan di Jawa yang merupakan sinkretisme antara agama Hindu dan Islam[7].

ii. Hegemoni Kebudayaan Barat

            Banyak orang berkoar-koar bahwa kita memiliki kebudayaan sendiri yang khas Indonesia dan menjunjung tinggi adat ketimuran. Oleh karena itu segala budaya barat yang masuk ke Indonesia tidak semuanya akan berterima di masyarakat. Mana yang baik diambil, mana yang bertentangan dengan adat ketimuran akan ditolak. “Doktrin” ini sering dilontarkan orang tua kepada generasi muda yang bergaya kebarat-baratan[8].   
Kebudayaan Indonesia pun masih bisa dipecah-pecah lagi menjadi kebudayaan pada suku-suku tertentu. Budaya di suku tertentu belum tentu berterima di suku lain. Karena setiap suku atau pulau di Indonesia, dipengaruhi oleh budaya-budaya bangsa pernah datang dan berinteraksi secara sosial-politik-ekonomi dengan masyarakat suku asli. Maka kebudayaan di propinsi-propinsi pulau Sumatera dengan Jawa atau Bali berbeda. Juga dengan Sulawesi dan Papua yang berbeda[9].    
Kebudayaan Indonesia sejatinya adalah kebudayaan persimpangan antar berbagai bangsa yang pernah singgah di Indonesia. Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya, Batas-batas Pembaratan (1996) mendendahkan bagaimana pengaruh bangsa Eropa memengaruhi kebudayaan Indonesia, dia mengambil contoh pembaratan busana, upacara, kendaraan (108-109). 
            Budaya berasal dari bahasa sansekerta, buddhayah jamak dari kata buddhi (akal)[10]. Jadi budaya adalah hasil pemikiran manusia, baik dalam bentuk norma, aturan, konsensus masyarakat, hingga hasil pemikiran yang berbentuk benda (materi) seperti rumah, candi, patung, dan lain sebagainya. Kebudayaan tersebut akan menjadi peradaban masyarakat  di mana masyarakat itu tumbuh, berkembang, dan mengalami dialektika dengan perubahan lingkungan sekitar.
Dari situ jelas, bahwa kebudayaan memiliki dua bentuk, yakni kebudayaan psikologis dan kebudayaan fisiologis (materi). Dari kebudayaan material tersebut muncullah apa yang disebut sebagai kesenian. Benda cagar budaya, tarian, alat musik, kini lebih menonjol dianggap sebagai kebudayaan di banding kebudayaan psikologis yang sarat dengan muatan nilai-nilai luhur.
Kebudayaan material karena sifatnya fisik dan kasat mata, sehingga lebih mudah diamati dan dipelajari. Kebudayaan material seperti ini yang rentan mengalami persinggungan dengan kebudayaan lain sebagaimana digambarkan Lombard tersebut.     
Dari sini kemudian muncul apa yang disebut sebagai pariwisata[11], yang dikatakan  sebagai aset daerah untuk mendapatkan laba (devisa). Ternyata kesenian yang dikatakan sebagai hasil kebudayaan tersebut laku dijual dan mendatangkan uang. Maka dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II yang diumumkan SBY pada Oktober 2009, menempatkan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata di bawah Menko Perekonomian, tidak lagi di bawah koordinasi Menko Kesejahteraan Rakyat.
Hal ini ditindaklanjuti dengan anggaran RAPBN 2010 yang memberi alokasi anggaran untuk kebudayaan sebesar 300 milyar (0,028%) dan kesenian sebesar 78 milyar (0,0074%). Angka statistik ini menunjukkan betapa rendahnya perhatian pemerintah bagi pembangunan kebudayaan bangsa. Padahal kebudayan adalah alas bagi mentalitas dan orientasi nilai di masyarakat dalam menghadapi tantangan dan sengkarut zaman.
Krisis kehidupan sosial-politik-ekonomi-hukum di negeri ini terbukti gagal diselesaikan dengan seperangkat aturan yang terlegitimasi undang-undang. Meski merekonstruksi nilai-nilai kebudayaan agar menjadi spirit mentalitas dan sikap masyarakat adalah megaproyek jangka panjang untuk meneguhkan identitas keindonesiaan kita. 
Krisis kebudayaan kita tidak hanya bersifat internal, tapi juga eksternal, di mana kebudayaan asing masuk melalui globalisasi, yang lantas menghegemoni kebudayaan kita. Apa yang disebut kebudayaan global dianggap lebih unggul, sedangkan kebudayaan lokal dianggap kuna, jadul dan kampungan. Hegemoni, menurut Gramsci, adalah konsep di mana suatu idelogi tertentu, baik politis, kultural, yang membuat suatu kelompok tertentu membangun kepemipinannya atas kelompok lain[12].
Tarikan identitas antara menjadi manusia global, sementara bangunan kesadaran budaya lokalitas rapuh adalah tragedi bagi generasi yang kehilangan identitas. Mereka gagap mengikuti arus budaya global yang berlari kencang, sementara kebudayaan lokal sudah ditinggalkan. Inilah potret masyarakat kita yang tanpa identitas.  

iii. Juru Bicara Kebudayaan

Kebudayaan sebagai konsep nilai-nilai luhur bagi perkembangan karakter kemanusiaan masih bersifat abstrak. Karena sifatnya yang abstrak ini, sulit mendefinisikan pengaruh kebudayaan menjadi nilai praksis sebuah masyarakat. Meski harus tetap diakui faktor kebudayaan bisa menjadi elan vital masyarakat dalam merespon perubahan sosial-politik-ekonomi di sebuah komunitas masyarakat[13].
            Maka untuk menerjemahkan konsep yang abstrak tersebut, muncullah apa yang disebut sebagai kesenian. Kesenian yang hadir di sebuah zaman sesungguhnya adalah rekam jejak historiografi kondisi sosial-politik-ekonomi sebuah masyarakat pada kurun waktu tertentu. Pada titik ini, kesenian menjadi semacam juru bicara kebudayaan untuk menyampaikan nalai-nilai adiluhung dari sebuah kebudayaan[14].
            Ekspresi musik, tari, lukisan, bahasa, bentuk rumah, dan sistem sosial masyarakat adalah dokumen yang bercerita tentang kondisi masyarakat[15]. Nilai filosofis yang dikandung kebudayaan akan diungkapkan dengan bahasa simbol; melalui gerak tari misalnya.  
            Adalah sesuatu yang “merepotkan” bagi generasi muda sekarang yang mayoritas larut dalam arus kehidupan pragmatisme dan instan. Generasi muda hari ini seperti teralienasi dari akar budaya yang dianggap adiluhung pada zaman orang tua mereka. Mungkin terlalu ruwet untuk menggali lebih jauh sebuah nilai luhur kebudayaan yang dihadirkan kesenian[16].
            Nilai kebudayaan yang adiluhung-transendental tersebut ketika diungkapkan dengan alat kesenian; musik, tari, dolanan tanpa bahasa pengantar (prolog) tentang nilai kebudayaan tersebut seperti gagal dilahap oleh anak muda sekarang. Mereka tak mau repot-repot menyelam lebih dalam pusaran kebudayaan tersebut. Musik hanya dinikmati sebatas iramanya, tari hanya dinikmati sebatas gerakannya, dan dolanan hanya dinikmati sebatas kesenangannya.
            Sejarah panjang integrasi kebudayaan dan kesenian adalah modal berharga untuk menyampaikan nilai-nilai kebudayaan. Dengan catatan, prosentase kegagalan penerjemahan kesenian harus diminimalisir. Contoh adalah bagaimana ketika kebudayaan adiluhung transendental yang diungkapkan dalam kesenian tayub justru jatuh dalam kesenian picisan dan kelas rendahan.    
            Maka tantangan besar sekarang adalah bagaimana kebudayaan yang adiluhung  tersebut hadir melalui kesenian sebagai juru bicaranya. Jika kita masih sepakat bahwa Indonesia (dengan segala kebhinekaan budayanya) memiliki kebudayaan sendiri yang khas, “doktrin’ ini mesti kita jaga terus sebagai penguat identitas kebangsaan kita. Identitas ini penting sebagai bagian integral masyarakat dalam menerjemahkan sikap politik-budaya-ekonomi-hukum di negeri ini.

iv. Lokalitas dalam Globalisasi

            Kini dunia mengidap apa yang disebut globalisasi, yang mereduksi nilai-nilai lokal. Dunia seolah berada pada satu kebudayaan, yakni globalisasi itu sendiri. Dengan konsekunsi, negara dengan teknologi maju yang menguasai jaringan informasi menjadi pemimpin dari kebudayaan global ini. Globalisai ekonomi mulai merajai dunia ini dengan menjamurnya multinational corporation yang memiliki kekuatan modal tak terbatas. Hubungan bilateral, binational, multinational, dan cosmopolitan[17] menjadi penanda sahih bagaimana globalisasi itu menciutkan dunia dalam satu “ideologi”.
Lokalitas, karena keterbatasan modal akhirnya tergerus dan takluk oleh kebudayaan global ini. Maka entitas-enitas lokalitas yang dimiliki oleh negara-negara berkembang dan miskin menjadi orang asing di negeri sendiri. Atas nama globalisasi, lokalitas-lokalitas itu mesti diredam karena hanya akan menghambat globalisasi. Kondisi seperti itu memungkinkan adanya kesenjangan antara negar maju dengan negara bekembang dan negara miskin.
Namun, apa yang sebenarnya disebut sebagai globalisai itu sebenarnya juga merupakan lokalitas yang diglobalkan karena dukungan teknologi informasi. Bagaimana kebudayaan MTV yang khas Amerika itu menjadi budaya global? Bagaimana musik hip hop, reggae, blues yang bersifat lokal itu bisa mendunia? Gaya dandanan punk, hippies, harajuku, itu bisa mendunia? Kebudayaan tersebut mengglobal karena dukungan teknologi informasi yang menyebarkan kebudayaan tersebut ke belahan dunia lain.
Sementara lokalitas kita: musik dangdut, keroncong, pakaian kemben, tayuban, ketoprak, ludruk, hanya bertahan menjadi entitas lokalitas yang kini hidup di negeri sendiri  pun membutuhkan tenaga ekstra karena masyarakat kita telanjur menjadi korban hegemoni globalisasi[18].
Mulailah apa yang kini didengungkan dengan think globally, act locally (berpikir global, beraksi lokal)[19] menjadi jargon untuk mencounter infiltrasi budaya global agar tak menggerus budaya lokal. Entitas-entitas lokal ini berusaha eksis untuk menjadi global juga, minimal diakui oleh dunia internasional.
Dengan cara seperti inilah, kebudayaan dan identitas Indonesia mesti dibangun. Sebagai negara dengan keragaman suku dan kebudayaan yang berlimpah, menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia untuk meneguhkan identitasnya. Sementara perdebatan kebudayaan nasional dan daerah kita beberapa waktu lalu juga menyisakan permasalahan yang panjang[20].
Perdebatan tentang penerapan RUU APP yang diduga akan mendapat penolakan sebagian masyarakat karena batas antara yang porno dan tidak di setiap daerah berbeda adalah contoh betapa sulitnya menyatukan satu pandangan di tengah pandangan yang plural[21]. Lalu apakah Indonesia akan mengalami perpecahan sebagaimana layaknya Uni Soviet, atau menjadi negara federal seperti Amerika Serikat?
Potensi disintegrasi ini bisa saja terjadi ketika -karena alasan politis-, beberapa dearah (propinsi) bergolak untuk memisahkan diri dari Indonesia. Aceh, Papua, Timor Timur[22], adalah contoh betapa propnsi ini mesti mengalami konflik dengan Jakarta (pemerintah pusat) karena tidak adilnya pemegang kebijakan di negeri ini dalam pembagian “jatah” ekonomi. Daerah-daerah tersebut dikeruk sumber daya alamnya, namun yang mendapatkan hasil berlimpah adalah Jakarta.
Nasionalisme pinggiran atau partikular rentan terjadi jika pemerintah tak bisa mengakomodir kepentingan dan potensi lokalitas. Lokalitas dengan segala keunikannya akan merasa dianaktirikan jika nasionalisme pusat dipaksakan. Ini seperti ketika globalisasi memaksakan diri untuk masuk ke lokalitas. Lokalitas sebagai sebuah entitas yang unik juga ingin eksis di tengah merebaknya penguatan identitas.
Tantangan masyarakat ke depan adalah bagaimana kebudayaan-kebudayaan lokalitas itu tumbuh berbaur dalam lokalitas yang lain tanpa ada saling hegemoni dan mengklaim kebenaran (truth claim) sebagai sebuah etnisitas yang lebih unggul dari etnisitas-lokalitas yang lain.
Ke depan, bagaimana spirit lokalitas kita, seperti masyarakat adat samin di pedalaman Pati dan Badui di Jawa Barat misalnya, yang teguh memegang adat dengan nilai-nilai kejujurannya, menjadi spirit bangsa Indonesia yang kini dihinggapi krisis multidimensi. Penerimaan kebudayaan tanpa saling curiga adalah spirit yang mesti dijaga di zaman ini, ketika batas-batas teritorial dinihilkan oleh globalisasi dan teknologi.    

Kesimpulan

Masyarakat dan kebudayaan adalah dua etntitas yang tak bisa dipisahkan. Kebudayaan masyarakat tumbuh seiring perkembangan masyarakat itu sendiri. Tantangan kebudayaan antara lokalitas dan globalitas menjadi problem masyarakat kita. Tuntutan menjadi manusia global, sementara bangunan sejarah kebudayaan lokal belum terbangun dengan baik harus dihadapi, sekaligus hegemonisasi kebudayaan barat yang menjajah masyarakat kita. Globaliasi yang diandaikan sebagai situasi masyarakat milenium ini justru menguatkan apa yang disebut lokalitas. Lokalitas mendapatkan ruang melalui teknologi untuk menjadi kebudayaan global. Pencarian identitas dan penguatan karakter masyarakat harus dibangun dengan menumbuhkan nasionalisme pinggiran di tengah nasionalisme Indonesia. Pluarisme dan pluralitas kebudayaan menjadi tantangan besar bagi Indonesia untuk meneguhkan eksistensi di dunia.      
   

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Benedict, Imagined Communities, Reflection on the Origin and Spread of Nationalism (London, 1991).
Dahana, Radhar Panca, Mitos Indonesia, Kompas 19 Mei 2010
Dhakidahe, Daniel, Pengantar untuk terjemahan bahasa Indonesia buku Beneditc Anderson, Imagined Communities,
Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra; dari Strukturalisme Genetik Sampai Post-Modernisme, Pustak Pelajar, Yogyakarta, 2005.
Huntington, Samuel P, Who Are We?; Americas great debate, (London: The Free Press, 2004)
Lombard, Dennys, Nusa Jawa, Silang Budaya; Batas-batas Pembaratan, Kedutaan Besar Perancis dan Universitas Indonesia, Jakarta, 1996.
al-Maula Reisya, Sugiyanto, Think Globally Act Locally, Nasionalisme Indonesia, Reconsidered, Jurnal Edukasi, Volume V, Juni 2008, LPM Edukasi, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, Semarang.
Maulana, Soni Farid, Khazanah, Pikiran Rakyat, 16 mei 2010
Munif, Junaidi Abdul, Juru Bicara Kebudayaan, Kompas Jawa Tengah, 23 April 2010.
Wikipedia Indonesia, diakses pada tanggal 4 Juli 2010, pukul 15:05 WIB.


[1] Benedict Anderson, Imagined Communities, Reflection on the Origin and Spread of Nationalism (London, 1991).
[2] Kita sangat kaya dengan folkrole (cerita rakyat) yang hidup dalam ingatan masyarakat tertentu. Legenda sebuah kota atau asal mula suatu nama daerah adalah mitos-mitos yang menghidupi sejarah sebuah kota dan daerah. Mitos-mitos ini dipercaya, meski sulit dibuktikan secara ilmiah. Lihat Radar Panca Dahana, Mitos Indonesia, Kompas, 19 Mei 2010. Artikel ini sangat reflektif (sekaligus nyinyir) untuk menggugah kesadaran kita bahwa gara-gara budaya tulis yang rendah (juga dokumentasi) sejarah penting Indonesia menjadi kontroversial.  
[3] Buku Clifford Gertz, The Religion of Java yang membagi strata (tingkat) masyarakat Jawa menjadi tiga, yakni santri, priyayi, dan abangan menuai banyak krtitik karena terlalu menyederhanakan entitas masyarakat yang sangat plural di Indonesia. Namun penulisan ini menyumbang pengaruh besar bagii perkembangan sosial politik kita selanjutnya. Di mana kini dikenal partai politik santri (Islam) dan abangan (nasionalis). Sedangkan priyayi (bangsawan) mungkin bisa mengambil contoh masyarakat borjuis (bourgeois society) dalam The German Ideology, yang digambarkan Karl Marx sebagai masyarakat kapital, pemilik modal. Priyayi, dalam konteks tertentu, adalah mereka yang memiliki basis sosial-ekonomi yang kuat. Meski kepriyayian mereka (di samping karena darah biru) juga merupakan hasil dari mengabdi kepada pemerintah Belanda. Semisal sebagai demang.
[4] Marcopolo, adalah penjelajah Italia yang singgah ke Indonesia dalam rangka berdagang, atau mencari  rempah-rempah. Thomas Stamford Rafles menulis buku History of Java ketika menjabat gubernur jenderal selama tiga tahun. Ini adalah akibat kekalahan politk-militer Belanda di Eropa yang berakibat Belanda harus menyerahkan wilayah jajahannya kepada Inggris. Meski setelah tiga tahun Inggris harus mengembalikan Nusantara kepada Belanda sesuai perjanjian.
[5] Dhaniel Dhakidae dalam pengantar edisi terjemahan bahasa Indonesia untuk buku Ben Anderson, Imagined Communities memberikan uraian yang cukup menarik bagaimana Majapahit yang maju itu berusaha melanggengkan hegemoni kekuasaannya dengan telik sandi (intelejen). Telik sandi ini bertugas mengintai musuh dan mencari kelemahannya, untuk kemudian di jaladi mantry-kan (dilenyapkan) dari muka bumi. Artinya, di zaman Majapahit sudah ada upaya kudeta, dan ini menunjukkan bahwa kemajuan Majapahit di bidang militer memang cukup baik.
[6] Soni Farid Maulana, Khazanah, Pikiran Rakyat, 16 Mei 2010 menuliskan laporan hasil diskusi yang diselenggrakan oleh koran Pikiran Rakyat yang membahas kebangkitan Ki Sunda dengan dilatari Perang Bubat, yang menurut Ki Sunda adalah pengkhianatan Patih gajah Mada. Gajah Mada disebut membantai Raja Pajajaran, Sri Baduga Maha Raja dan pasukannya yang sebetulnya ingin mengantarkan putrinya yang inign dinikahi oleh hayam Wuruk. Luka sejarah ini sampai membuat di Bandung tidak ada nama jalan Gajah Mada sebagai bentuk protes luka sejarah itu sendiri.     
[7] Acara-acara kelahiran dan kematian, gerebeg mulud, gerebeg sura, gerebeg syawal adalah beberapa contoh hasil akulturasi kebudayaan Hindu dan Islam.
[8] Sejarah penolakan terhadap kebudayaan asing memiliki rekam jejak yang cukup panjang. Di masa kolonialisme, para kyai sempat mengharamkan memakai celana, dasi, sepatu, dan sekolah yang dibangun Belanda. Tentu pengharaman ini bersifat politis sebagai counter untuk melawan penjajahan.
[9] Papua dan Timor Timur yang kini kental dengan budaya Portugis dan agama Kristen, tentu berbeda jauh dengan Sumatera Barat yang kental dengan kebudayaan agama Islam. Di Padang dikenal petuah, adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah (adat bersandar syariat, syariat bersandar kitabullah-agama).
[10] Wikipedia Indonesia, diakses pada 4 Juli 2010 pukul 15:05 WIB.
[11] Menyandingkan terminologi budaya, kesenian, dan pariwisata adalah tindakan yang sembrono. Budaya sebagai konsep nilai, filsafat, pandangan hidup masyarakat memang bisa mengejawantah dalam kesenian. Sedangkan pariwisata bisa jadi adalah strategi untuk menjual apa yang dianggap sebagai kesenian yang mengandung keindahan dan ciri khas lokalitas tertentu demi mendatangkan uang. Justru karena konsentrasi pada kesenian dan pariwisata ini, konsep kebudayaan sebagai ruh dari kesenian itu terdeusir. Kesenian adalah salah satu alat agar kebudayaan itu berbicara kepada masyarakat.
[12] Faruk, Pengantar Sosiologi, hal 62-63.
[13] Hukum adat adalah contoh bagaimana masyarakat berhasil merumuskan metode punishment and reward kepada masyarakat yang melanggar tatanan sosial. Di Bali, beberapa waktu lalu terjadi pernikahan antara ABG dan sapi betina gara-gara ABG melakukan tindakan asusila kepada sapi. Trans TV, 11 Juni 2010
[14] Junaidi Abdul Munif, Juru Bicara Kebudayaan, Kompas Jateng, 23 April 2010
[15] Sebagai contoh, musik keroncong di Jawa yang lembut dan melankolis, menggambarkan karakter masyarakat Jawa (keraton) yang halus, sopan. 
[16] Nilai-nilai filosofis dari sebuah kebudayaan menemukan hambatan ketika mesti berbicara kepada generasi muda. Konsep-konsep kebudayaan tersebut dianggap berat, karena budaya, -terlebih Jawa- diasumsikan sebagai budaya yang adiluhung sehingga cenderung disampaikan secara “kaku”. Inilah kiranya yang memunculkan adagium wong Jawa ora nJawani,
[17] Samuel P Huntington, Who Are We?; Americas great debate, (London: The Free Press, 2004), hal. 14-15.
[18] Hegemoni adalah konsep yang ditawarkan oleh pemikir Marxis Italia, Antonio Gramsci. Bagi Gramsci, hegemoni adalah bentuk dominasi dari satu kelompok ke kelompok lain. Hegemoni bisa bersifat ekstrem, melalui militer, hukum, undang-undang yang menguntnugkan satu pihak dan merugikan pihak lain. Juga bisa melalui jalan halus, semisal hegemoni kebudayaan. Hegemoni barat terhadap lokalitas ditunjukkan bagaimana barat dianggap sebagai entitas yang maju, sementara timur (Indonesia) adalah entitas yang sedang berkembang. Hegemoni kebudayaan inilah yang memunculkan perasaan rendah diri bagi masyarakat dengan kebudayaan lokal karena mendapat stigma sebagai masyarakat yang tidak maju.
[19] Sugiyanto al Maula-Reisya, Think Globally Act Locally, Nasionalisme Indonesia, Reconsidered, Jurnal Edukasi, Volume V, Juni 2008, LPM Edukasi, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, Semarang. Hal.90-91.
[20] Kebudayaan nasional dan kebudayaan daerah menjadi dua entitas yang merepotkan. Jika kebudayaan daerah sebagai bagian kebudayaan nasional, lantas kebudayaan Indonesia itu seperti apa? Bukankah Indonesia sendiri adalah entitas politik-teritorial yang juga terdiri dari berbagai teritorial dengan segala keunikannya. Politik menyatukan kebudayaan daerah menjadi kebudayaan Indonesia dilakukan alm. Ibu Tien Soeharto ketika membangun Taman Mini Indonesia Indah. Meski ini untuk ke sekian kali lebih menonjolkan keseniannya dari pada kebudayaan daerah sendiri. Lihat Dhaniel Dakhidae, pengantar untuk terjemahan buku Imagined Communities. 
[21] Menurut pandangan para penolak RUU APP, Undang-undang ini jika disahkan justru akan memicu disintegrasi bangsa. Sebagai contoh, apa yang dianggap porno di Papua tentu berbeda dengan di Aceh yang menerapkan syariat Islam. Papua adalah contoh daerah yang (maaf) kebudayaan berpakaian pun belum merata. Di Bali, di mana terdapat banyak pantai dan turis asing juga dianggap akan mematikan potensi pariwisata jika RUU APP disahkan.
[22] Timor-Timur adalah propinsi ke-27 Republik Indonesia yang menjadi negara merdeka karena referendum, jajak pendapat, pada tahun 1999 yang menunjukkan bahwa masyarakat Timor-Timur mayoritas memilih menjadi negara yang berdaulat dan kini menjadi Timor Leste.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Prie GS; Abu Nawas Zaman Posmo

coretan tentang hujan dan masa kecil