Petani dan Nelayan Berpolitiklah
Petani dan Nelayan
Berpolitiklah
Oleh Junaidi Abdul
Munif
Dalam running text Metro TV (13/1) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menghimbau kepada petani dan nelayan agar tak berpolitik. Pernyataan ini meski
hanya bersifat himbauan namun menyimpan makna yang cukup dalam.
SBY mungkin jengah dengan perilaku
aktor politik kita yang degil, mementingkan ego pribadi dan kelompok, serta
tidak aspiratif pada suara rakyat. Tahun 2010 disebut Sukardi Rinakit sebagai
tahun politik saling mengunci. Kasus-kasus besar (Century, Gayus, Cek
Perjalanan) adalah kartu truf bagi partai politik. Dibukanya satu kasus berarti
siap saling terkam antar partai politik.
Secara terminologi politik adalah asosiasi
atau komunitas manusia untuk mewujudkan kebaikan utama, highest good (Aristoteles dalam Adian; 2010). Di sini, manusia, siapapun,
memang harus berpolitik demi mencapai sebuah tujuan utama itu, yakni kehidupan yang
lebih baik.
Politik
akan menampakkan wajah yang sangat beragam. Setiap orang bisa berpolitik dengan
cara apa pun, tergantung pengetahuan dan kemampuan dia. Dalam arti tertentu,
politik bisa dipahami sebagai strategi manusia untuk bertahan hidup dan
mengejar kehidupan yang lebih baik.
Himbauan
Presiden SBY mungkin bermaksud bahwa petani dan nelayan jangan berpolitik
praktis (membentuk partai nelayan atau petani). Karena jika itu terjadi, betapa
besar potensi sumbar daya manusia (kuantitas) petani dan nelayan yang bisa
meletus menjadi people power.
Dunia politik
kepartaian yang ada sekarang menampakkan saling berebut sumber daya ekonomi
(kekuasaan). Politik kepartaian kita hari ini adalah politik lobi,
transaksional, kepentingan sesaat dan tiadanya kawan dan lawan abadi. Mitra
koalisi (kawan) terjalin selama terjadi imbal balik yang saling menguntungkan.
Dilematis
Berita tentang dua kelompok
masyarakat itu lebih banyak menghadirkan kepiluan yang menggambarkan
ketidakmampuan mereka untuk melawan. Yang hadir justru adalah kepasrahan dan
siasat mereka bertahan hidup yang menjadi elan petani dan nelayan. Sungguh
ajaib mereka mampu bertahan hidup di tengah kerasnya alam dan apatisme
pemerintah pada nasib mereka. Bagi petanu dan nelayan, jangankan mendapatkan
yang berlebih dari kerja nelayan dan bertani, bisa menyambung hidup untuk besok
saja sudah untung.
Sebagai
negara kepulauan dan agraris, tentu sangat mengherankan jika nelayan dan petani
kita hidup di lumbung kemiskinan. Kampung nelayan dan petani adalah potret
buram gagalnya pemerintah mengelola negara. Kebijakan yang diambil pemerintah
(yang lahir dari proses politik) tak menempatkan mereka sebagai pihak paling
utama dalam sasaran kebijakan kemakmuran rakyat. Janji-janji kampanye menyapa
mereka dengan manis saat musim politik (pemilu).
Selama ini kebjiakan pemerintah di
bidang pertanian, semisal penyediaan pupuk, harga beras yang bergerak secara
liar dan pemerintah hanya diam di antara permainan spekulan menambah luka para
petani kita. Dalam kebijakan untuk nelayan, BBM menjadi barang langka. Padahal
tanpa BBM nelayan tak bisa melaut. Harga BBM dari pangkalan (SPBU) sampai ke
nelayan bisa naik berkali lipat. Ongkos pertanian dan mencari ikan menjadi
mahal dan tak sebanding dengan hasil yang didapat.
Dalam
situasi seperti ini, pengambil kebijakan tetap bergeming dan saling lempar
tanggung jawab. Mereka justru sibuk bertarung di tingkat elite sehingga agenda
kebangsaan yang bersifat mendesak itu terabaikan.
Dalam situasi ini, petani dan
nelayan berpolitik (praktis sekalipun) sebetulnya adalah sebuah keniscayaan,
kalau tak boleh disebut keharusan. Ketika para politisi tak lagi peduli, mereka
harus tampil menngorganisir diri untuk merebut hak-hak mereka sebagai mayoritas
rakyat.
Kita melihat adanya ketimpangan
antara pemerintah, pengusaha, dan politikus (borjuis) di pihak lain serta nelayan
dan petani (proletar) di kubu yang lain. Akan muncul kembali pertentangan
kelas, sebagaimana yang terjadi di akhir abad 19 dan awal abad 20.
Pada
konteks ini, kita mungkin masih trauma dengan partai buruh yang dulu
menampakkan diri dalam partai komunis. Filsafat Marxisme menjadi idelogi
gerakan kaum proletar untuk melawan kaum borjuis yang bertindak sewenang-wenang
kepada kaum proletar.
Jika tak berpolitik praktis, petani
dan nelayan hanya artefak sejarah yang ditelan peradaban. Mereka seperti tikus
yang dibunuh di lumbung padi, justru oleh tuan tikus sendiri.
Komentar