Gus Dur dan Sejarah Nyentrik



Gus Dur dan Sejarah Nyentrik
Oleh Junaidi Abdul Munif

            Kita boleh saja masgul pada sejarah Indonesia yang ditulis selama ini. Sejarah bangsa ini lekat dengan aroma politik hegemoni untuk menopang tegak-kukuhnya rezim. Ini dilembagakan di kurikulum pendidikan sehingga generasi bangsa hanya melihat sejarah Indonesia dari versi resmi pemerintah. Namun, kita tak boleh putus asa dan merutuk, seiring ditutupnya tabir kebenaran dari sejarah. Ini yang bisa kita contoh dari seorang alm Gus Dur, yang berupaya membuka tabir kebenaran yang lama tak tersingkap.
Menghayati buku kecil Membaca Sejarah Nusantara yang ditulis Gus Dur selepas tidak menjadi presiden, adalah menyelami identitas Indonesia yang dibangun selama berabad-abad. Di buku ini Gus Dur tampil gemilang kala mendedahkan sejarah Nusantara, terutama ketika menganalisis era transformasi dari Majapahit (Hindu) ke Demak (Islam), serta intrik-intrik politik kerajaan-kerajaan Islam yang tumbuh kemudian.
            Yang menarik adalah Gus Dur selalu menyelipkan kritik dan mengaitkan konteks sejarah masa lalu dengan situasi kekinian Indonesia, terutama saat Gus Dur menuliskan catatan sejarah” itu. Artinya, jika dibayangkan bahwa sejarah adalah gerak maju nan lurus, itu berarti peristiwa-peristiwa sejarah Indonesia hanya mengalami repetisi (pengulangan). Tokoh-tokoh besar yang hari ini mewarnai Indonesia, hanyalah mimesis dari tokoh-tokoh masa lalu. Atau jika ditamsilkan bahwa sejarah adalah manuskrip peradaban, secara substansial, gesekan antar-elite sudah ada sejak dulu.
            Gus Dus sadar, bahwa di tengah minimnya literatur sejarah, sumber lisan akhirnya harus dipakai sebagai strategi untuk mengalisis peristiwa. Mengenai asal-usul para Raja Jawa, Gus Dur menggelitik kita dengan argumentasi bahwa raja-raja Islam di Jawa itu berasal dari Tiongkok (China) dan ini bisa diverifikasi melalui nama marga. Nama-nama daerah (kota dan desa) yang menyimpan sebuah peristiwa sebagai asal usul nama daerah tersebut, bisa dianggap sebagai pembuka untuk menguak sejarah.

Strukturalisme peristiwa

            Membaca sejarah mengikuti mahzab berpikir Gus Dur adalah merenangi ruang-ruang diakronik peristiwa. Kalau diandaikan peristiwa selalu bergerak dalam struktur acak, maka memahaminya harus mengaitkannya dengan peristiwa lainnya dan tipologi kebudayaan, ideologi, dan politik masyarakat yang hidup di zaman itu. Metode ini dipakai oleh Saussure dalam fondasi memahami teks, dan berkembang luas ke bidang lain. Gus Dur menggunakan metode strukturalisme peristiwa secara tekun untuk meneropong sejarah Nusantara.
            Misalnya, LSM atau NGO yang ramai akhir-akhir ini, telah dilakukan Joko Tingkir di masa kerajaan Pajang. Ini berkaitan dengan hitung-hitungan politik Joko Tingkir yang saat itu ingin memberontak, namun ia bermimpi (wangsit) yang dianggap sebagai petunjuk, membuatnya bergerak di jalur LSM. Atau pertentangan invasi keagamaan oleh Demak yang menyebabkan pertempuran Kusuma Wardani melawan Demak, dengan menghancurkan keraton Majapahit, yang menurut Gus Dur adalah pergolakan militer yang penuh kekerasan. Di sini, Gus Dur menyelipkan kritik, bahwa perbedaan agama selalu menimbulkan ketegangan yang rawan melahirkan kekerasan. Karena itu pluralisme menjadi penting bagi Indonesia yang memiliki banyak agama. 
            Gus Dur membuka cakrawala baru penulisan sejarah kita yang monoton dan homogen, serta “menafikan” geopolitik masa itu. Secara ekstrem, Gus Dur juga mengajak (menantang) para peneliti sejarah untuk mulai melirik tuturan lisan masyarakat, yang acap diabaikan sebagai sumber sejarah. Namun, kerja ini menuntut integritas dan tanggung jawab yang besar, karena menuntut peneliti sejarah menguasai bahasa dan budaya lokal tertentu, serta selektif memilah mana tuturan lisan yang fakta atau fiksi.   
            Ini akan berkaitan erat dengan etos kerja yang tak kenal lelah serta tak mau menerima segala sesuatu secara instan. Di titik ini, manusia Indonesia harus mengalahkan sifat putus asa dan menerima pengetahuan instan dalam dirinya. Pengetahuan (sumber sajarah) yang ditemuinya harus direkonstruksi dan dikonfirmasi dengan sumber lain yang akan saling menguatkan. 
Sejarah, pada akhirnya, menjadi ruang terbuka bagi pelbagai penafsiran dan kemungkinan. Sejarah tak bisa diikat dalam sebuah simpul yang membuatnya menjadi alur yang dipahami secara seragam. Sejarah Nyentrik ala Gus Dur adalah benih bagi kerja penulisan sejarah Indonesia yang kompleks dan njlimet.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Prie GS; Abu Nawas Zaman Posmo

coretan tentang hujan dan masa kecil