Belajarlah dari TKI di Hongkong



Belajarlah dari TKI di Hongkong
Oleh Junaidi Abdul Munif

            Kasus kekerasan terhadap TKI, terutama TKW terus saja terjadi dan membuat kita miris. Kekerasan fisik yang dilakukan para majikan membuat para TKW mengalami luka fisik maupun trauma psikologis (mental). Kasus-kasus ini seperti gunung es yang hanya tampak permukaannya saja.
            Menjadi TKI ke luar negeri  memang menjanjikan peningkatan kondisi ekonomi di banding bekerja di dalam negeri. Perbandingan kurs mata uang membuat gaji mereka di luar negeri ketika dirupiahkan menjadi berlipat dari gaji apabila mereka mencari nafkah di dalam negeri.
            Negara-negara tujuan pengiriman TKI mayoritas adalah Timur Tengah dan Malaysia. Sisanya adalah negara-negara berkultur timur, seperti Hongkong Taiwan, Korea dan Singapura. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja (BNP2TKI) mencatat pada tahun 2008 telah dilakukan pengiriman TKI sebanyak 748.825 orang dari target 750 orang. Di Malaysia sendiri dikirim 259.840 orang (Jorie M Barondo, Wawasan, 29 Juni 2009).    
            Arab Saudi dan Malaysia menjadi negara favorit karena syaratnya lebih mudah dan biayanya juga lebih murah. Calon TKW berpendidikan SD pun bisa berangkat. Bahkan beberapa tahun lalu, tetangga penulis yang tak bisa membaca menulis pun bisa berangkat ke Malaysia.
            Namun, rendahnya pendidikan TKW dan syarat-syarara yang mudah menimbulkan konsekuensi yang besar. Rendahnya pendidikan menyebabkan para TKW kurang memahami hal yang bersifat prosedural dan undang-undang, seperti klausul kontrak kerja dan hak-hak mereka sebagai buruh migran.

TKI Hongkong

            Berbeda dari Arab Saudi dan Malaysia, Hongkong lebih menjanjikana finansial yang besar. Karena berbagai kelebihan ini proses untuk menjadi TKW di Hongkong lebih sulit dan mahal. Faktor pendidikan, minimal SMP-SMA secara tak langsung membuat mereka lebih melek hukum dan sadara posisi serta hak-hak mereka sebagai buruh migran.
            PRT di Hongkng mencapai 125.567 orang dan pada hari minggu serta hari libur mereka berkumpul di Victoria Park. Mereka menggelar berbagai acara, kesenian dan pengajian. Bahkan aksi langsung untuk menuntut hak-hak mereka (Lily Purba, Kompas, 26 Juni 2009).
            Pendidikan para PRT, kesadaran beorganisasi dan iklim politik di Hongkong yang relatif lebih teduh secara tak langsung mendorong PRT di sini untuk mengembangkan  diri sesuai bakat dan minat. Mereka juga membentuk organisasi kepenulisan, semisal Forum Lingkar Pena (FLP) dan sempat mengundang Helvy Tiana Rosa (pendiri FLP) untuk ceramah di sana.
            Bahkan, Etik Juwita, mantan TKW di Hongkng menulis cerpen bagus, Bukan Yem, yang menceritakan nasib para TKW di negeri orang. Cerpen ini berhasil masuk dalam buku 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2008. Jelaslah bahwa ada perbedaan yang mendasar tentang latar belakang dan sosio- kultural antara negara Timur Tengah, Malaysia dan Hongkong. Latar belakang ini berimbas pada perlakuan yang berbeda terhadap para TKI kita.
            Wacana untuk menghentikan pengiriman TKI ke Malaysia adalah pilihan ceroboh dan berisiko ketika di dalam negeri pemerintah belum mampu menjamin kesejahteraan warganya. Apalagi jika penghentian ini lebih disebabkan faktor emosional karena kasus Ambalat dan Manohara.
            Cara paling baik ditempuh meski membutuhkan waktu lama adalah meningkatkan kualitas SDM calon TKW yang akan berangkat ke luar negeri. Pendidikan yang tinggi, akan membantu mereka memahami sisi-sisi hukum dan hak mereka selama bekerja di laur negeri.
            Agen pengiriman jasa tenaga kerja dan pemerintah harus memberikan pelatihan dan mengajarkan mereka tentang klausul kontrak kerja dan  memberitahukan kondisi social-budaya-politik negara tujuan. Selain itu, para TKW sendiri juga harus sadar bahwa mereka tak sendirian di laur negeri. Ada ratusan ribu teman-teman mereka di sana. TKW di Arab Saudi dan Malaysia harus juga membentuk serikat buruh yang akan menjadi alat untuk memperjuangkan nasib mereka.
            Pemerintah harus mendorong ini, bersama KBRI dn pemerintah Negara tujuan sepatutnya mengadakan perjanjian lewat MoU untuk memfasilitasi buruh migran. Maka kita jarang mendengar TKW di Hongkong mendapat perlakuan di luar peri kemanusiaan seperti di Arab Saudi dan Malaysia. Meski TKI di Hongkong bukan berarti tanpa masalah.
            Rasa senasib seperjuangan di negeri orang, akan tumbuh ketika ada organisasi dan momen-momen yang mempertemukan mereka. Dari momen pertemuanlah ini akan muncul ide, bahkan aksi untuk melawan tirani yang membelenggu buruh migran kita.















Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Prie GS; Abu Nawas Zaman Posmo

coretan tentang hujan dan masa kecil