apatisme demokrasi
Sikap Politik yang Apolitis
Oleh Junaidi Abdul Munif
Hajatan besar Jawa Tengah untuk memilih gubernur dan wakil gubernur telah terlaksana pada minggu, 22 Juni 2008. Untuk pertama kali inilah, warga Jawa Tengah memilih secara langsung pemimpinnya. Sebuah cara berdemokrasi yang telah lama diimpikan oleh mereka yang merindukan demokrasi rakyat yang partisipatif.
Seluruh lembaga yang berkaitan langsung maupun tidak dengan pemilihan gubernur ini sudah cukup proaktif untuk mensosialisasikan pelaksanaan pilgub. Namun, di lapangan sungguh ironis. Angka golput terbilang tinggi. Rata-rata 40 persen. Bahkan ada yang lebih dari 50 persen. Sebuah antiklimaks dari pesta demokrasi, jika menilik seharusnya gawe besar ini disambut oleh seluruh masyarakat Jawa Tengah dengan antusias.
Demokrasi yang dalam bahasa Jerman didefinisikan dengan regierung der regierten, pemerintahan dari mereka yang diperintah (F Budi Hardiman) mengandaikan sebuah ruang di mana kepentingan rakyat harus disampaikan kepada pemerintah, dalam hal ini gubernur. Pada gubernur, masyarakat seperti ”kesulitan” menemukan (menciptakan) ruang publik politik untuk menyampaikan opini mereka.
Ini disebabkan, secara politis, gubernur adalah lembaga yang kebijakannya tidak bisa dirasakan secara langsung oleh publik. Masyarakat akar rumput, lebih antusias dalam pilbup yang sscara lokalitas dekat. Atau pilpres yang me-nasional yang menghadirkan prestis, di banding pilgub yang berada di antara presiden dan bupati.
Golput (golongan putih) adalah pilihan politik yang apolitis dari sekelompok masyarakat yang memilih tak menggunakan hak pilihnya untuk memilih pemimpin. Gerakan golput adalah rekasi atas apatisme politik (demokrasi) terhadap suatu calon. Artinya, tak ada calon pemimpin yang menarik dan pantas untuk dipilih.
Wacana golput digulirkan oleh intelektual-intelektual kita yang paham betul dengan teori politik, kapabilitias calon pemimpin, dan kemungkinan-kemungkinan bila sang calon itu terpilih. Untuk mengetahui itu semua, membutuhkan pergulatan analisa yang panjang. Ketika pada akhirnya mereka memilih sikap politik golput, itu adalah hasil maksimal ijtihad mereka terhadap realita politik (calon) yang ada.
22 Juni lalu banyak masyarakat yang golput. Apakah dengan demikian masyarakat Jateng adalah masyarakat yang telah mencapai taraf intelektual tertentu sehingga memilih sikap golput? Tidak. Angkanya terlalu besar, dan kebanyakan yang golput adalah mereka, para warga kelas menengah ke bawah yang jauh dari semangat pergulatan intelektual dan analisa politik.
Golput masyarakat kita pada 22 Juni lalu adalah golput yang tak sadar intelektual. Sebuah sikap yang bisa juga karena apatisme dengan demokrasi, kurangnya sosialisasi, maupun alasan tak mengenal calon dengan baik. Namun, Golput masyarakat kita lebih disebabkan isu-isu pragmatis dan jangka pendek, bukan setelah mereka tahu program visi misi calon yang memungkinkan jika mereka terpilih kelak.
Kultur Pilkades
Perlu diingat, kita mengenal model pemilihan secara langsung seperti sekarang ini baru beberapa tahun lalu. Kita memilih presiden, gubernur dan bupati atau wali kota hanya baru satu kali periode. Sebelumnya, masyarakat kita tak terlibat langsung pemilihan pemimpin. Mereka telah diwakili oleh wakil-wakilnya yang duduk di DPR maupun DPRD I/II.
Demokrasi yang sejatinya adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat tereduksi selama orde baru. Selama itu kita hidup dalam demokrasi semu. Ketika reformasi bergulir, kita mengalami euforia demokrasi. Dan demokrasi secara langsung yang benar-benar melibatkan partisipasi rakyat secara aktif adalah pemilihan pemimpin secara langsung.
Dalam rentang waktu demokrasi semu itu, masyarakat kita telah mengenal demokrasi langsung melalui pilkades. Kita mengenal sistem pemilihan pilkades sudah berpuluh tahun lalu. Dalam pemilihan kepala desa, hampir tak ada pertarungan visi misi calon. Pertarungan berlangsung lebih menyentuh isu-isu yang pragmatis, kedekatan emosional, keluarga. Sebuah cara yang khas dilakukan pada masyarakat desa yang sering berpikir pendek.
Pada akhirnya, ketika model pil-pil ini ditransformasikan ke konteks yang lebih luas (kabupaten/kota, propinsi, dan negara) asosiasi ingatan kolektif masyarakat kembali pada kultur pilkades. Ingatan kolektif ini juga mengacu pada strategi pemenangan calon yang lebih bersifat kompensasif-ekonomis.
Masyarakat desa yang secara ekonomi belum stabil, akan menggantungkan pilihan mereka pada calon yang memberi kompensasi lebih. Inilah anomali demokrasi kita. Demokrasi jangka pendek dan pragmatis. Demokrasi yang tak bernilai idealis, karena hanya mementingkan untung rugi. Yang sering terjadi di sini adalah jual beli suara.
Untuk itu publik perlu disadarkan dengan pendidikan politik dan demokrasi yang lebih berorientasi jangka panjang. Jika apatisme demokrasi yang dilakukan oleh publik terus dibiarkan, akan menjadi preseden buruk bagi politik di Indonesia. Dan Jawa Tengah telah memulainya.
Oleh Junaidi Abdul Munif
Hajatan besar Jawa Tengah untuk memilih gubernur dan wakil gubernur telah terlaksana pada minggu, 22 Juni 2008. Untuk pertama kali inilah, warga Jawa Tengah memilih secara langsung pemimpinnya. Sebuah cara berdemokrasi yang telah lama diimpikan oleh mereka yang merindukan demokrasi rakyat yang partisipatif.
Seluruh lembaga yang berkaitan langsung maupun tidak dengan pemilihan gubernur ini sudah cukup proaktif untuk mensosialisasikan pelaksanaan pilgub. Namun, di lapangan sungguh ironis. Angka golput terbilang tinggi. Rata-rata 40 persen. Bahkan ada yang lebih dari 50 persen. Sebuah antiklimaks dari pesta demokrasi, jika menilik seharusnya gawe besar ini disambut oleh seluruh masyarakat Jawa Tengah dengan antusias.
Demokrasi yang dalam bahasa Jerman didefinisikan dengan regierung der regierten, pemerintahan dari mereka yang diperintah (F Budi Hardiman) mengandaikan sebuah ruang di mana kepentingan rakyat harus disampaikan kepada pemerintah, dalam hal ini gubernur. Pada gubernur, masyarakat seperti ”kesulitan” menemukan (menciptakan) ruang publik politik untuk menyampaikan opini mereka.
Ini disebabkan, secara politis, gubernur adalah lembaga yang kebijakannya tidak bisa dirasakan secara langsung oleh publik. Masyarakat akar rumput, lebih antusias dalam pilbup yang sscara lokalitas dekat. Atau pilpres yang me-nasional yang menghadirkan prestis, di banding pilgub yang berada di antara presiden dan bupati.
Golput (golongan putih) adalah pilihan politik yang apolitis dari sekelompok masyarakat yang memilih tak menggunakan hak pilihnya untuk memilih pemimpin. Gerakan golput adalah rekasi atas apatisme politik (demokrasi) terhadap suatu calon. Artinya, tak ada calon pemimpin yang menarik dan pantas untuk dipilih.
Wacana golput digulirkan oleh intelektual-intelektual kita yang paham betul dengan teori politik, kapabilitias calon pemimpin, dan kemungkinan-kemungkinan bila sang calon itu terpilih. Untuk mengetahui itu semua, membutuhkan pergulatan analisa yang panjang. Ketika pada akhirnya mereka memilih sikap politik golput, itu adalah hasil maksimal ijtihad mereka terhadap realita politik (calon) yang ada.
22 Juni lalu banyak masyarakat yang golput. Apakah dengan demikian masyarakat Jateng adalah masyarakat yang telah mencapai taraf intelektual tertentu sehingga memilih sikap golput? Tidak. Angkanya terlalu besar, dan kebanyakan yang golput adalah mereka, para warga kelas menengah ke bawah yang jauh dari semangat pergulatan intelektual dan analisa politik.
Golput masyarakat kita pada 22 Juni lalu adalah golput yang tak sadar intelektual. Sebuah sikap yang bisa juga karena apatisme dengan demokrasi, kurangnya sosialisasi, maupun alasan tak mengenal calon dengan baik. Namun, Golput masyarakat kita lebih disebabkan isu-isu pragmatis dan jangka pendek, bukan setelah mereka tahu program visi misi calon yang memungkinkan jika mereka terpilih kelak.
Kultur Pilkades
Perlu diingat, kita mengenal model pemilihan secara langsung seperti sekarang ini baru beberapa tahun lalu. Kita memilih presiden, gubernur dan bupati atau wali kota hanya baru satu kali periode. Sebelumnya, masyarakat kita tak terlibat langsung pemilihan pemimpin. Mereka telah diwakili oleh wakil-wakilnya yang duduk di DPR maupun DPRD I/II.
Demokrasi yang sejatinya adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat tereduksi selama orde baru. Selama itu kita hidup dalam demokrasi semu. Ketika reformasi bergulir, kita mengalami euforia demokrasi. Dan demokrasi secara langsung yang benar-benar melibatkan partisipasi rakyat secara aktif adalah pemilihan pemimpin secara langsung.
Dalam rentang waktu demokrasi semu itu, masyarakat kita telah mengenal demokrasi langsung melalui pilkades. Kita mengenal sistem pemilihan pilkades sudah berpuluh tahun lalu. Dalam pemilihan kepala desa, hampir tak ada pertarungan visi misi calon. Pertarungan berlangsung lebih menyentuh isu-isu yang pragmatis, kedekatan emosional, keluarga. Sebuah cara yang khas dilakukan pada masyarakat desa yang sering berpikir pendek.
Pada akhirnya, ketika model pil-pil ini ditransformasikan ke konteks yang lebih luas (kabupaten/kota, propinsi, dan negara) asosiasi ingatan kolektif masyarakat kembali pada kultur pilkades. Ingatan kolektif ini juga mengacu pada strategi pemenangan calon yang lebih bersifat kompensasif-ekonomis.
Masyarakat desa yang secara ekonomi belum stabil, akan menggantungkan pilihan mereka pada calon yang memberi kompensasi lebih. Inilah anomali demokrasi kita. Demokrasi jangka pendek dan pragmatis. Demokrasi yang tak bernilai idealis, karena hanya mementingkan untung rugi. Yang sering terjadi di sini adalah jual beli suara.
Untuk itu publik perlu disadarkan dengan pendidikan politik dan demokrasi yang lebih berorientasi jangka panjang. Jika apatisme demokrasi yang dilakukan oleh publik terus dibiarkan, akan menjadi preseden buruk bagi politik di Indonesia. Dan Jawa Tengah telah memulainya.
Komentar