Cerpil Kompas

Badut Kecil
Oleh Junaidi Abdul Munif

Teman-teman sering memanggilku Badut Kecil. Ini semua dimulai saat Bu Tuti menyuruh seluruh murid untuk menyebutkan pekerjaan ayahnya. Aku pun menjawab badut, karena memang itulah pekerjaan ayahku. Lalu teman-temanku, terutama Rina, mulai meledekku dengan memanggilku Badut Kecil.
Aku sebel. Ingin rasanya aku marah dan gantian meledek Rina. Tapi apa yang mesti kuledek darinya? Setiap pergi kerja, ayahnya memakai jas dan dasi. Pasti pekerjaan ayahnya enak dan gajinya juga besar. Kalau aku meledeknya sebagai Bos Kecil, itu malah menjadi pujian baginya. Pokoknya sebel.
“Halo Badut Kecil,” sapa Rina meledekku saat aku baru datang ke sekolah.
Aku bergegas melangkah masuk kelas saat teman-teman lainnya ramai-ramai menertawakanku. Rasanya aku ingin menangis saja. Aku ingin pulang dan marah pada bapak karena pekerjaannya itu telah membuatku malu.
“Sabar, Nis,” hibur Dewi yang selama ini memang baik padaku. “Jangan takut diledek sebagai Badut Kecil. Yang penting pekerjaan ayahmu itu halal dan nggak merugikan orang lain,” lanjutnya.
Aku seperti mendapat penolong saat dihibur oleh Dewi.
Saat pelajaran Bahasa Indonesia, ada tugas melawak bagi kami. Rina langsung menunjukku untuk segera tampil ke depan. Yah, ternyata ledekannya belum berhenti.
“Ayo, Badut Kecil, tunjukkan kebolehanmu melucu,” kata Rina sambil tertawa.
“Rina, kamu tidak boleh bicara seperti itu. Anis itu temanmu. Apa alasanmu memanggilnya sebagai Badut?” tanya Bu Tuti marah.
“Anis kan anak seorang badut, Bu. Jadi boleh dong kalau dia dipanggil Badut Kecil,” tutur Rina mengatakan alasannya pada Bu Tuti.
“Sekarang kamu yang maju melawak, Rina. Sebagai hukuman karena kamu telah mengejek Anis,” perintah Bu Tuti. Rina pun maju ke depan sambil mengancam kepadaku.
Aku seperti mendapat kesempatan melakukan pembalasan pada Rina. Kalau Dewi tak mencegahku, aku pasti yang bersorak paling ramai untuk meledek Rina saat ia melawak di depan kelas. Rina kelihatan sangat malu. Ternyata ia sama sekali tak bisa melucu.
Ketika pulang sekolah, Rina menghampiriku. Ia berjanji akan membalasku karena ia menganggap akulah yang menyebabkan ia disuruh Bu Tuti untuk melawak di depan kelas.
“Sudah, jangan diladeni, Nis. Percuma meladeni dia. Rina nggak akan berhenti untuk meledek kamu,” tutur Dewi menyarankan aku agar tak menanggapi ancaman Rina.
***
Sore ini aku diundang Rina untuk datang ke pesta ulang tahunnya. Sebenarnya Rina tidak berniat mengundangku. Tapi Bu Tuti menyuruhnya untuk mengundang seluruh teman sekelas. Aku malas untuk datang. Tapi Dewi memaksaku. Aku takut kalau di pestanya nanti aku menjadi bahan ledekan dia dan teman-temannya.
“Bapak tidak kerja hari ini?” tanyaku pada Bapak yang masih tampak santai di ruang tamu sambil menonton televisi.
“Hari ini bapak diminta untuk menghibur di rumah yang sedang mengadakan pesta,” jawab bapak.
Aku pun segera bergegas menuju rumah Rina. Di sana teman-teman sudah datang sambil membawa kado. Hanya aku yang tidak membawa kado karena memang tidak punya uang untuk membelinya. Beberapa teman akrab Rina memandang aneh kepadaku.
Acara pesta pun dimulai. Rina menyalami kami semua. Lalu kami menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Rina tampak bahagia.
Pembawa acara menyampaikan puncak acara. Katanya kami semua akan dihibur oleh badut. Aku deg-degan. Apakah badut itu bapakku? Bukankah tadi siang bapak mengatakan akan datang ke rumah yang sedang mengadakan pesta?
Dan..... ternyata badut itu benar bapakku. Aku serasa ingin menangis dan pulang. Mengapa bapak tak bilang kalau ia akan datang ke rumah Rina? Tapi yang aku heran, sama sekali bapak tak malu saat aku menontonnya. Atraksi sulap ditunjukkan bapak. Bapak tetap bertingkah lucu untuk menghibur anak-anak yang datang ke pesta ulang tahun Rina.
Semua teman-teman merasa terhibur dengan adanya badut. Hanya aku yang merasa tidak suka. Aku menganggap teman–teman itu tertawa untuk meledekku dan bapakku.
Tiba-tiba Rina menghampiriku.
“Nis, maafkan aku, ya? Selama ini aku telah sering meledekmu sebagai Badut Kecil. Ternyata jadi badut itu bukan pekerjaan yang jelek. Bapakmu telah menghiburku dan teman-teman dengan leluconnya,” kata Rina sambil mengulurkan tangan padaku.
Aku menyambut uluran tangan itu sambil tersenyum. Ya, badut bukanlah pekerjaan yang memalukan. Meski bapak bergaji kecil, tapi aku yakin bapak mendapat pahala dari Tuhan karena telah membuat anak-anak terhibur. Aku pun nggak malu lagi dipanggil sebagai Badut Kecil. Tapi itulah, sekarang nggak ada lagi yang memanggilku seperti itu.


naskah pernah dimuat di Kompas Minggu, 27 Agustus 2007

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Prie GS; Abu Nawas Zaman Posmo

coretan tentang hujan dan masa kecil