perpusda grobogan
Perpusda Setelah SOTK
Oleh Junaidi Abdul Munif
Peran Perpusda (Perpustakaan Daerah) Kabupaten Grobogan teramat penting bagi perkembangan SDM (sumber daya manusia) masyarakat Grobogan. Diharapkan, Perpusda menjadi kawah candradimuka pergulatan intelektualitas warga Grobogan yang, -jujur harus diakui- belum banyak tergali.
Sebelum SOTK (Sistem Operasional dan Tata Kerja) yang sampai sekarang belum “ketok palu”, Perpusda bernaung di bawah atau bersatu dengan bagian Pengolahan Data dan Arsip Daerah. Penyatuan dua bagian yang berbeda ini, sedikit banyak berpengaruh bagi kinerja Perpusda. Sebab, Perpusda tak bisa melaksanakan kebijakannya sendiri yang otonom. Perpusda harus mendapat persetujuan dari bagian yang secara hierarkis berada di atasnya.
Bupati Grobogan, H Bambang Pudjiono mengatakan, ada empat perda yang masih dievaluasi gubernur sehingga belum bisa dilaksanakan hingga akhir bulan Mei (Suara Merdeka, 31 Mei 2008). Yang menggembirakan, perda tentang Perpusda tak termasuk dari empat perda tersebut. Sehingga diharapkan SOTK bidang Perpusda bisa segera direalisasikan.
Dengan adanya SOTK ini, Perpusda bisa menyapihkan diri dan menjadi badan yang otonom. Kebijakan yang ingin ditempuh tidak harus menunggu ketok palu dari bagian di atasnya.
Penyapihan Perpusda ini, diharapkan menjadi titik awal bagi kiprahnya yang selama ini belum tergarap optimal.
Sebagai lembaga yang berafiliasi ke birokrasi, dalam hal ini Pemda Kab Grobogan, memang banyak hal perlu dibenahi dalam internal Perpusda sendiri. Beberapa kali penulis berkunjung ke sana, ada bebrapa catatan yang perlu diperhatikan.
Pertama, terkait dengan koleksi buku Perpusda. Selama ini kesan yang muncul adalah buku-buku yang ada di Perpusda out fo date (ketinggalan tren). Buku-buku yang ada kebanyakan buku-buku lama. Sehingga kalau ingin mencari referensi yang lebih kontemporer, pengunjung agak kecewa.
Kedua, tak adanya mesin foto kopi di dalam atau di kompleks Perpusda. Kondisi ini memang termasuk faktor sekunder. Namun apabila bisa direalisasikan akan lebih baik. Pengadaan mesin foto kopi dalam lingkup Perpusda akan memudahkan pengunjung memfoto kopi buku yang diinginkannya.
Sebab tidak semua pengunjung Perpusda adalah mereka yang telah mendaftar menjadi anggota. Perwil Jawa Tengah menjadi contoh bagaimana mesin foto kopi dalam ruangan Perwil sangat membantu pengunjung yang ingin memfoto kopi sebagian isi buku..
Ketiga, terkait dengan budaya kerja para pegawai Perpusda. Beberapa kali penulis menemukan petugas yang main game komputer, atau ngobrol dengan sesama pegawai. Kondisi ini bisa menumbuhkan semacam ”ketidakpercayaan” pada pengunjung. Sebab pegawai sendiri tidak memunculkan kultur membaca, yang seharusnya menjadi kultur yang tumbuh subur di tengah habitat bernama Perpusda.
Memanfaatkan Stakeholder
Harus diakui, selama ini Perpusda seperti singa yang bertarung sendirian. Singa memang besar, namun ketika ia harus bertarung di belantara hutan bernama Grobogan yang luas, sang singa bisa sangat kerepotan.
Belum banyak langkah yang dilakukan Perpusda untuk menunjukkan eksistensinya di ruang publik masyarakat Grobogan. Jarang terdengar ada event-event yang berkaitan dengan kepustakaan digelar di Grobogan.
Untuk itu, Perpusda perlu membangun jaringan dengan lambaga, organisasi pemuda atau mahasiswa yang concern pada pembangunan intelektualitas. Selama ini, banyak organisasi mahasiswa maupun pemuda di Grobogan yang belum banyak diketahui oleh masyarakat umum. Posisinya terkesan tersembunyi dari hiruk pikuk publik.
Sebagai contoh, Perpusda bisa memanfaatkan organisasi anak muda IPNU yang secara organisatoris memliki LPP (Lembaga Pers dan Penerbitan) yang memang secara khusus diharapkan menjadi wadah bagi perkembangan potensi anak muda NU di bidang jurnalistik dan kepenulisan.
Atau PMII Cab Grobogan yang juga memiliki Departemena Kajian Pers dan Jurnalistik. Kedua lembaga ini (PMII dan IPNU) cukup aktif di Grobogan. Meskipun kegiatan jurnalistik dan kepenulisan hanya bagian dari kegiatan lain. Namun, jika bekerja sama dengan lembaga yang berkompeten seperti Perpusda, diharapkan akan terjalin sinergi yang saling menguntungkan.
Untuk organisasi yang murni profesional dan konsentrasi penuh di bidang penulisan adalah FSPG (Forum Silaturahmi Penulis Grobogan). Organisasi ini merupakan wadah untuk sharing dan tukar gagasan mengenai dunia kepenulisan.
FSPG telah cukup banyak berkiprah dengan mengadakan seminar dan pelatihan jurnalistik, baik tingkat guru, umum maupun pelajar.
Event atau acara yang akan digelar cukup beragam. Yang sudah umum adalah seminar, pelatihan dan workshop. Namun, Perpusda bisa membuat event yang lebih bagus, semisal pameran buku, bedah buku, temu penulis ataupun lomba penulisan naskah buku. Bukankah selama ini Grobogan memang sepi dari acara-acara seperti itu?
Akhirnya, perkembangan generasi muda di Grobogan adalah tanggung jawab bersama bagi mereka yang peduli dengan itu. Dan Perpusda setelah SOTK harus menjadi pioner bagi perubahan itu.
Oleh Junaidi Abdul Munif
Peran Perpusda (Perpustakaan Daerah) Kabupaten Grobogan teramat penting bagi perkembangan SDM (sumber daya manusia) masyarakat Grobogan. Diharapkan, Perpusda menjadi kawah candradimuka pergulatan intelektualitas warga Grobogan yang, -jujur harus diakui- belum banyak tergali.
Sebelum SOTK (Sistem Operasional dan Tata Kerja) yang sampai sekarang belum “ketok palu”, Perpusda bernaung di bawah atau bersatu dengan bagian Pengolahan Data dan Arsip Daerah. Penyatuan dua bagian yang berbeda ini, sedikit banyak berpengaruh bagi kinerja Perpusda. Sebab, Perpusda tak bisa melaksanakan kebijakannya sendiri yang otonom. Perpusda harus mendapat persetujuan dari bagian yang secara hierarkis berada di atasnya.
Bupati Grobogan, H Bambang Pudjiono mengatakan, ada empat perda yang masih dievaluasi gubernur sehingga belum bisa dilaksanakan hingga akhir bulan Mei (Suara Merdeka, 31 Mei 2008). Yang menggembirakan, perda tentang Perpusda tak termasuk dari empat perda tersebut. Sehingga diharapkan SOTK bidang Perpusda bisa segera direalisasikan.
Dengan adanya SOTK ini, Perpusda bisa menyapihkan diri dan menjadi badan yang otonom. Kebijakan yang ingin ditempuh tidak harus menunggu ketok palu dari bagian di atasnya.
Penyapihan Perpusda ini, diharapkan menjadi titik awal bagi kiprahnya yang selama ini belum tergarap optimal.
Sebagai lembaga yang berafiliasi ke birokrasi, dalam hal ini Pemda Kab Grobogan, memang banyak hal perlu dibenahi dalam internal Perpusda sendiri. Beberapa kali penulis berkunjung ke sana, ada bebrapa catatan yang perlu diperhatikan.
Pertama, terkait dengan koleksi buku Perpusda. Selama ini kesan yang muncul adalah buku-buku yang ada di Perpusda out fo date (ketinggalan tren). Buku-buku yang ada kebanyakan buku-buku lama. Sehingga kalau ingin mencari referensi yang lebih kontemporer, pengunjung agak kecewa.
Kedua, tak adanya mesin foto kopi di dalam atau di kompleks Perpusda. Kondisi ini memang termasuk faktor sekunder. Namun apabila bisa direalisasikan akan lebih baik. Pengadaan mesin foto kopi dalam lingkup Perpusda akan memudahkan pengunjung memfoto kopi buku yang diinginkannya.
Sebab tidak semua pengunjung Perpusda adalah mereka yang telah mendaftar menjadi anggota. Perwil Jawa Tengah menjadi contoh bagaimana mesin foto kopi dalam ruangan Perwil sangat membantu pengunjung yang ingin memfoto kopi sebagian isi buku..
Ketiga, terkait dengan budaya kerja para pegawai Perpusda. Beberapa kali penulis menemukan petugas yang main game komputer, atau ngobrol dengan sesama pegawai. Kondisi ini bisa menumbuhkan semacam ”ketidakpercayaan” pada pengunjung. Sebab pegawai sendiri tidak memunculkan kultur membaca, yang seharusnya menjadi kultur yang tumbuh subur di tengah habitat bernama Perpusda.
Memanfaatkan Stakeholder
Harus diakui, selama ini Perpusda seperti singa yang bertarung sendirian. Singa memang besar, namun ketika ia harus bertarung di belantara hutan bernama Grobogan yang luas, sang singa bisa sangat kerepotan.
Belum banyak langkah yang dilakukan Perpusda untuk menunjukkan eksistensinya di ruang publik masyarakat Grobogan. Jarang terdengar ada event-event yang berkaitan dengan kepustakaan digelar di Grobogan.
Untuk itu, Perpusda perlu membangun jaringan dengan lambaga, organisasi pemuda atau mahasiswa yang concern pada pembangunan intelektualitas. Selama ini, banyak organisasi mahasiswa maupun pemuda di Grobogan yang belum banyak diketahui oleh masyarakat umum. Posisinya terkesan tersembunyi dari hiruk pikuk publik.
Sebagai contoh, Perpusda bisa memanfaatkan organisasi anak muda IPNU yang secara organisatoris memliki LPP (Lembaga Pers dan Penerbitan) yang memang secara khusus diharapkan menjadi wadah bagi perkembangan potensi anak muda NU di bidang jurnalistik dan kepenulisan.
Atau PMII Cab Grobogan yang juga memiliki Departemena Kajian Pers dan Jurnalistik. Kedua lembaga ini (PMII dan IPNU) cukup aktif di Grobogan. Meskipun kegiatan jurnalistik dan kepenulisan hanya bagian dari kegiatan lain. Namun, jika bekerja sama dengan lembaga yang berkompeten seperti Perpusda, diharapkan akan terjalin sinergi yang saling menguntungkan.
Untuk organisasi yang murni profesional dan konsentrasi penuh di bidang penulisan adalah FSPG (Forum Silaturahmi Penulis Grobogan). Organisasi ini merupakan wadah untuk sharing dan tukar gagasan mengenai dunia kepenulisan.
FSPG telah cukup banyak berkiprah dengan mengadakan seminar dan pelatihan jurnalistik, baik tingkat guru, umum maupun pelajar.
Event atau acara yang akan digelar cukup beragam. Yang sudah umum adalah seminar, pelatihan dan workshop. Namun, Perpusda bisa membuat event yang lebih bagus, semisal pameran buku, bedah buku, temu penulis ataupun lomba penulisan naskah buku. Bukankah selama ini Grobogan memang sepi dari acara-acara seperti itu?
Akhirnya, perkembangan generasi muda di Grobogan adalah tanggung jawab bersama bagi mereka yang peduli dengan itu. Dan Perpusda setelah SOTK harus menjadi pioner bagi perubahan itu.
Komentar