Tragedi Prostitusi Cap OSIS

Tragedi Prostitusi Cap OSIS
Oleh Junaidi Abdul Munif

Beberapa waktu lalu Trans TV, lewat Reportase Sore-nya, menelusuri perilaku pelajar kita. Sebuah fenomena yang mencengangkan, tentang dunia prostitusi di kalangan pelajar. Bahkan dalam reportase itu ditampilkan pula seorang pelajar SMP yang sudah menjajakan kemolekan tubuhnya untuk para oom-oom hidung belang.

Fenomena prostitusi di kalangan pelajar memang bukan hal baru. Setidaknya, lewat selentingan kabar, fenomena ini telah mencuat beberapa tahun lalu. Diawali dengan fenomena ayam kampus di kalangan mahasiswa. Masyarakat tampak bersikap terbuka, atau menganggap masalah ini hanya bersifat kasuistik, tidak dapat digeneralisasi kepada semua pelajar. Atau dianggap sebagai konsekuensi dari globalisasi yang menafikan sekat geografis dan moralitas.

Awalnya fenomena itu hnaya terjadi di kota besar, sebuah ruang tempat bertemunya beragam komunitas, ideologi, dan gaya hidup yang berkembang dengan liar. Salah satunya adalah budaya hedonisme, yang menjangkiti pola pikir generasi muda.

Harus diakui, pelajar kita sekarang berkembang melebihi apa yang mampu kita pikirkan. Seorang pelajar di masa kini, bukanlah pelajar yang hanya disibukkan dengan urusan sekolah: PR, guru killer, ulangan, naik kelas dan segala hal yang tak berorientasi ke luar.

Sekolah, terutama ditunjukkan oleh sinetron kita, adalah ruang bertemunya segala kepentingan pelajar dengan atribut pubertasnya. Hal ini semakin menjadi dengan kultur komunal, geng-gengan di kalangan pelajar. Pelajar membentuk komunitas yang sealiran, kesamaan hobi, dan paling ekstrem: strata sosial dan ekonomi.

Inilah yang menjadikan gap antara pelajar dari kelas menengah dan kelas atas bersinggungan dengan segala atributnya. Pada tahap yang paling gawat, akan terjadi saling ejek dan pengucilan dari pelajar strata atas kepada pelajar strata bawah.

Seperti terungkap di wawancara Reportase Trans TV, seorang pelajar melakukan prostitusi karena “intimidasi psikologis” dari teman-temannya yang kaya. Ada pembrontakan dalam dirinya untuk membuktikan bahwa ia bisa seperti mereka. Maka cara-cara yang bagi kita ekstrem itu pun dilakukan demi hasrat untuk diakui eksistensinya dalam kelompoknya.

Dilihat dari kacamata ekonomi, adanya penawaran karena adanya permintaan. Mereka melakukan prostitusi karena ada pihak yang membutuhkan. Penempatan perempuan semata-semata sebagai faktor utama adalah sebentuk egoisme patriarki. Seperti komentar lelaki hidung belang yang dengan enteng mengatakan bahwa mereka tak akan membeli jika para pelajar itu tidak menawarkan.

Proteksi Bersama

Fenomena ini merupakan tragedi dunia pendidikan kita. Sayangnya, problem ini tak terkait langsung dengan urgensi urusan sekolah. Katakanlah ini hanya urusan sekunder, bahkan tersier dari seorang pelajar.

Bisa saja ini merupakan gejala meluasya budaya gaulisme di kalangan remaja. Di mana sikap hidup hedonistis sering menjadi cirinya. Dan kita tak bisa menyalahkan mereka an sich. Kita tak bisa melempar tanggung jawab karena hanya akan memperumit masalah. Para orang tua, pihak sekolah, dan LSM atau pihak yang concern dengan masalah pendidikan duduk bersama untuk mencegah fenomena ini semakin meluas.

Parahnya, semua ini mendapat jalan mulus dengan perkembangan teknologi informasi. Sering terjadi ketidakdewasaan menggunakan piranti ini sehingga disalahgunakan. HP adalah sebentuk ruang privat, sehingga tak semua orang bebas tahu yang dilakukan penggunanya.

Razia sekolah-sekolah terhadap HP pelajar patut terus digalakkan. Orang tua juga harus ikut mengawasi “lalu lintas” hp anaknya, meski ini terkesan terlalu masuk dalam privasi anak.
Yang lebih penting adalah komunikasi yang baik dan hangat antara komponen keluarga, sekolah agar para pelajar merasa memiliki secara aktif, bukan diangap sebagai partisipan pasif. Mental building agar mereka nyaman dengan sekolah layak diterus dikampanyekan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Prie GS; Abu Nawas Zaman Posmo

coretan tentang hujan dan masa kecil