Tiga Apatisme
Tiga Apatisme
Apatisme 1
Jumat, 15 Agustus 2008, saya diajak seorang kawan, ke Tambaklorok, sebuah kawasan pantai dan kampung nelayan di Semarang Utara. Ada acara IPNU/IPPNU Kota Semarang dan PMII Komisariat Walisongo. Mereka mengadakan acara penanaman mangrove, sekedar usaha kecil untuk menyelamatkan ekosistem pantai yang semakin tak terkendali.
Ya, Semarang Utara memang dikenal dengan kawasan rob. Dan salah satu penyebabnya adalah reklamasi pantai yang (sering) terlambat dilakukan. Kita sering kelimpungan ketika bencana sudah menghadang di depan. Kita bukan pemikir antisipatif, yang selalu mengambil ancang-ancang ketika bencana belum menghadang.
Dan, ketika kondisi pantai sudah memprihatinkan, laut tak lagi biru, air laut bukan lagi menawarkan bau garam, tapi bacin sampah dari segala kotoran. Dan pasir tak lagi putih, tapi hitam pekat.
Ah, saya teringat lagunya Iwan Fals Tak Biru Lagi Lautku, yang syairnya persis dengan yang saya jumpai di Tambaklorok jumat sore itu. Lalu saya teringat dengan kondis kita saat ini. Kita menjadi manusia apatis, pada apa pun. Pada Tuhan, manusia, dan alam.
Apakah karena kita tak hidup di Tambaklorok, lantas tak peduli dengan kondisi di sana? Apakah dengan mudah kita akan membantah bahwa masyarakat nelayan dan petambak di sana saja tak peduli dengan lingkungan yang menghidupi dirinya, apalagi kita?
Saya ingat Masaru Emoto, profesor Jepang yang menulis The Power of Water dan buku lain yang berhubungan dengna air. Pantas saja Semarang sering banjir, karena rupanya kita telah begitu mudah melukai airnya. Kita tak pernah menganggap bahwa air itu sesuatu yang hidup dan memberi respons apa yang kita perbuat padanya.
Kita mengotorinya, kita melupakan hak-hak air untuk tetap bersih. Kita membunuh bau asinnya dan menggantinya dengan bau bacin dengan sampah yang kita buang. Kita, jangan-jangan juga telah membunuh ikan-ikan di sana. Dan secara perlahan secara keji membunuh nelayan yang hidup dari ikan-ikan itu.
Hablum min al alam, telah begitu mudah kita lupakan. Kita tak lagi peduli pada keadaan pantai yang sungguh memprihatinkan. Sampah plastik dan apa pun yang terserak di sana membuktikan hal itu.
Apatisme 2
Kamis dinihari, 7 Agustus 2008, ada bencana di pondok kami. Pagi itu terjadi peristiwa yang menggemparkan. Tujuh handphone hilang. Kami kecurian. Dan itu terjadi 3 bulan setalah sebelumnya ada hp teman kami yang hilang (kecurian).
Terlepas dari kesialan kami, sebetulnya itu adalah titik kulminasi kami betapa kami telah apatis pada teman kami sendiri, bahkan dengan diri kami sendiri. Saat hp hilang, kami masih sempat tertawa-tawa dan menganggap bahwa sangat lucu, bahwa komunitas yang dihuni sekitar 30-an orang, bisa kecolongan. Padahal kami biasanya sering tidur dini hari, bahkan saya sering tidur habis sholat subuh, untuk kemudian bangun jam enam pagi.
Memang, kami tak lagi peduli dengan teman kami. Kami tak lagi peduli dengan kondisi pesantren kami. Kami tak lagi peduli ke mana teman kami pergi. Kami tak lagi peduli siapa teman kami di luar kami.
Individulisme ternyata bisa tumbuh dalam sebuah bangunan komunalisme bernama pesantren. Meski kami tidur dalam satu kamar, masak bersama dalam satu kompor gas, minum dalam satu gelas, rupanya jiwa dan pikiran tidak bersama. Jiwa dan pikiran kami adalah anak-anak liar yang berkeliaran di jalanan, membangun komunitas baru yang bertolak belakang dengan komunitas kami (pesantren).
Hablun min al naas, telah begitu mudah kita lupakan. Kepedulian kita berada dalam satu frame bernama artifisialitas (kepuara-puraan), karena sejatinya hati dan pikiran kami tak pernah satu.
Apatisme 3
Pasca hape hilang, semua santri berkumpul. Bermusyawarah. Semua ditanya kronologi dan di mana posisi masing-masing kami ketika hape tersebut hilang. Semua tampak lancar saja menjelaskan kronologi dirinya.
Tepat lima hari, kami semua disumpah, menyebut nama Allah dan dalam keadaan suci, dengan al Quran sebagai saksi sumpah kami. Semua dengan yakin bersumpah. Namun, ada satu yang mengganjal. Bahwa kami sudah apatis dengan Gusti Allah. Kami berani bersumpah menyebut namaNya dan kita sucinya, padahal (mungkin) salah satu dari kami adalah mencuri hape.
Semoga, memang benar bahwa bukan salah satu kami yang mengambil (mencuri) hape itu. Semoga saja bukan orang –orang yang kami kenal dan kami cintai yang tega melukai persahabatan kami. Semoga hanya kecelakaan kecil, sebagai penyentil dan pengingat bahwa kami telah tak peduli dengan apa pun di sekitar kami.
Kepedulian kami hanya secara artifisial, sebagai pengesah bahwa kami hidup bersama layaknya sebuah keluarga besar, maka kepedulian harus ditunjukkan.
Hablun min Allah, begitu mudah kita abaikan. Kita mengaku menyembah Allah dengan sholat lima kali sehari, tapi hak-hak Gusti Allah tak pernah kita penuhi. Ya Allah, maafkanlah kami.
Junabun, Sabtu, 16 Agustus 2008
Apatisme 1
Jumat, 15 Agustus 2008, saya diajak seorang kawan, ke Tambaklorok, sebuah kawasan pantai dan kampung nelayan di Semarang Utara. Ada acara IPNU/IPPNU Kota Semarang dan PMII Komisariat Walisongo. Mereka mengadakan acara penanaman mangrove, sekedar usaha kecil untuk menyelamatkan ekosistem pantai yang semakin tak terkendali.
Ya, Semarang Utara memang dikenal dengan kawasan rob. Dan salah satu penyebabnya adalah reklamasi pantai yang (sering) terlambat dilakukan. Kita sering kelimpungan ketika bencana sudah menghadang di depan. Kita bukan pemikir antisipatif, yang selalu mengambil ancang-ancang ketika bencana belum menghadang.
Dan, ketika kondisi pantai sudah memprihatinkan, laut tak lagi biru, air laut bukan lagi menawarkan bau garam, tapi bacin sampah dari segala kotoran. Dan pasir tak lagi putih, tapi hitam pekat.
Ah, saya teringat lagunya Iwan Fals Tak Biru Lagi Lautku, yang syairnya persis dengan yang saya jumpai di Tambaklorok jumat sore itu. Lalu saya teringat dengan kondis kita saat ini. Kita menjadi manusia apatis, pada apa pun. Pada Tuhan, manusia, dan alam.
Apakah karena kita tak hidup di Tambaklorok, lantas tak peduli dengan kondisi di sana? Apakah dengan mudah kita akan membantah bahwa masyarakat nelayan dan petambak di sana saja tak peduli dengan lingkungan yang menghidupi dirinya, apalagi kita?
Saya ingat Masaru Emoto, profesor Jepang yang menulis The Power of Water dan buku lain yang berhubungan dengna air. Pantas saja Semarang sering banjir, karena rupanya kita telah begitu mudah melukai airnya. Kita tak pernah menganggap bahwa air itu sesuatu yang hidup dan memberi respons apa yang kita perbuat padanya.
Kita mengotorinya, kita melupakan hak-hak air untuk tetap bersih. Kita membunuh bau asinnya dan menggantinya dengan bau bacin dengan sampah yang kita buang. Kita, jangan-jangan juga telah membunuh ikan-ikan di sana. Dan secara perlahan secara keji membunuh nelayan yang hidup dari ikan-ikan itu.
Hablum min al alam, telah begitu mudah kita lupakan. Kita tak lagi peduli pada keadaan pantai yang sungguh memprihatinkan. Sampah plastik dan apa pun yang terserak di sana membuktikan hal itu.
Apatisme 2
Kamis dinihari, 7 Agustus 2008, ada bencana di pondok kami. Pagi itu terjadi peristiwa yang menggemparkan. Tujuh handphone hilang. Kami kecurian. Dan itu terjadi 3 bulan setalah sebelumnya ada hp teman kami yang hilang (kecurian).
Terlepas dari kesialan kami, sebetulnya itu adalah titik kulminasi kami betapa kami telah apatis pada teman kami sendiri, bahkan dengan diri kami sendiri. Saat hp hilang, kami masih sempat tertawa-tawa dan menganggap bahwa sangat lucu, bahwa komunitas yang dihuni sekitar 30-an orang, bisa kecolongan. Padahal kami biasanya sering tidur dini hari, bahkan saya sering tidur habis sholat subuh, untuk kemudian bangun jam enam pagi.
Memang, kami tak lagi peduli dengan teman kami. Kami tak lagi peduli dengan kondisi pesantren kami. Kami tak lagi peduli ke mana teman kami pergi. Kami tak lagi peduli siapa teman kami di luar kami.
Individulisme ternyata bisa tumbuh dalam sebuah bangunan komunalisme bernama pesantren. Meski kami tidur dalam satu kamar, masak bersama dalam satu kompor gas, minum dalam satu gelas, rupanya jiwa dan pikiran tidak bersama. Jiwa dan pikiran kami adalah anak-anak liar yang berkeliaran di jalanan, membangun komunitas baru yang bertolak belakang dengan komunitas kami (pesantren).
Hablun min al naas, telah begitu mudah kita lupakan. Kepedulian kita berada dalam satu frame bernama artifisialitas (kepuara-puraan), karena sejatinya hati dan pikiran kami tak pernah satu.
Apatisme 3
Pasca hape hilang, semua santri berkumpul. Bermusyawarah. Semua ditanya kronologi dan di mana posisi masing-masing kami ketika hape tersebut hilang. Semua tampak lancar saja menjelaskan kronologi dirinya.
Tepat lima hari, kami semua disumpah, menyebut nama Allah dan dalam keadaan suci, dengan al Quran sebagai saksi sumpah kami. Semua dengan yakin bersumpah. Namun, ada satu yang mengganjal. Bahwa kami sudah apatis dengan Gusti Allah. Kami berani bersumpah menyebut namaNya dan kita sucinya, padahal (mungkin) salah satu dari kami adalah mencuri hape.
Semoga, memang benar bahwa bukan salah satu kami yang mengambil (mencuri) hape itu. Semoga saja bukan orang –orang yang kami kenal dan kami cintai yang tega melukai persahabatan kami. Semoga hanya kecelakaan kecil, sebagai penyentil dan pengingat bahwa kami telah tak peduli dengan apa pun di sekitar kami.
Kepedulian kami hanya secara artifisial, sebagai pengesah bahwa kami hidup bersama layaknya sebuah keluarga besar, maka kepedulian harus ditunjukkan.
Hablun min Allah, begitu mudah kita abaikan. Kita mengaku menyembah Allah dengan sholat lima kali sehari, tapi hak-hak Gusti Allah tak pernah kita penuhi. Ya Allah, maafkanlah kami.
Junabun, Sabtu, 16 Agustus 2008
Komentar