catatan kecil tentang Grobogan

Era Baru Industrialisasi di Grobogan
Oleh Junaidi Abdul Munif


Grobogan mengalami babak baru dalam dunia industri. Kabupaten terluas kedua di Jawa Tengah (setelah Cilacap) selama ini lebih dikenal sebagai kabupaten agraris. Dengan sektor pertanian sebagai komoditi ekonomi utama masyarakatnya.

Namun, seiring akan diteruskannya proyek pembanguan pabrik semen membuka babak baru bagi dunia industri di Grobogan. Setelah terbengkalai selama sepuluh tahun karena krisis ekonomi, proyek tersebut mulai dibuka kembali.

Bupati Grobogan Bambang Pudjiono optimistis pembangunan itu bisa terealisasi dalam waktu dua tahun ke depan. Rencananya pabrik tersebut akan mampu memproduksi semen hingga 2,3 ton per tahun dengan masa produksi 40 tahun (Kontan, 15/4/2008).

Paling tidak, pembangunan proyek itu akan mengikis image Grobogan yang selama ini ”tidak bersahabat” dengan dunia industri. Bandingkan dengan kabupaten di sekitarnya; Demak, Kudus, Blora, dan Pati yang cukup memiliki nama dengan berdirinya beberapa pabrik.

Diharapkan, pembangunan pabrik ini bisa menaikkan gengsi Grobogan. Dan masyarakatnya tidak lari keluar daerah untuk mendapat pekerjaan.

Berbasis Kerakyatan

Perlu disadari, pembangunan proyek tidak boleh menghapus jejak Grobogan sebagai kabupaten agraris. Mengingat posisi Grobogan yang telah menjadi salah satu lumbung padi nasional.

Pabrik semen tersebut rencananya akan dibangun di kecamatan Tanggungharjo, sebuah daerah yang memang memiliki kontur tanah dengan kandungan kapur yang tinggi.
Menurut penelitian, daerah itu memilki potensi 51,7 juta ton batu kapur dan 91,07 juta ton tanah liat. Sebuah sumber daya alam yang cukup melimpah untuk dijadikan bahan baku semen (Kontan, 15/4/2007).

Tentunya ini amat menggembirakan, karena daerah itu bukanlah sentra padi. Namun bukan berarti investor bisa seenaknya mengeksplorasi Sumber Daya Alam (SDA) tanpa mempertimbangkan ekosistem alam sekitar.

Pertama, meski daerah itu bukan merupakan sentra padi, tapi telah menjadi area palawija yang cukup diandalkan. Sebaiknya dipilih lahan yang memang benar-benar tidak produktif sebagai lokasi pembangunan pabrik.

Kedua, penggunaan teknologi ramah lingkungan. Penerapan teknologi ini untuk menghindari dampak terburuk terhadap kondisi daerah sekitar.

Ketiga, pengelolaan limbah yang baik. Sering terjadi konflik antara pengusaha dan masyarakat karena masalahh limbah. Diharapkan masalah tersebut tidak terjadi di sini. Perlu komunikasi yang intensif antara pihak investor dan masyarakat mengenai teknik pengelolaan limbah yang baik dan ramah lingkungan.

Keempat, melibatkan masyarakat sekitar. Ini dilakukan agar tidak terjadi gap karena kecemburunan sosial antara investor dan masyarakat. Kita harus berkaca pada kasus Freeport di Papua yang mendapat perlawanan dari warga. Pelibatan masyraakat juga bisa dilakukan dengan memanfaatkan potensi masyarakat. Potensi yang ada dikelola bersama dengan tujuan mulia ini.

Apa artinya sebuah pabrik berdiri megah, jika hanya memberikan keuntungan pada segelintir orang? Sedangkan masyarakat sebagai ”pemilik sejati” daerah itu nasibnya terabaikan?

Setidaknya ada dua lokasi indutri di Grobogan, terutama sekitar kecamatan Gubug yang selama ini masih mangkrak. Pertama adalah pengeboran minyak yang telah beroperasi sejak pertengahan 1990-an, namun entah kenapa berhenti meski peralatan berat masih di sana.
Kedua adalah pembangunan pabrik garmen di tepi jalan raya Semarang-Gubug. Pabrik ini sebentar lagi akan beroperasi. Terbukti dengan beberapa warga di daerah sekitar penulis yang mendaftar sebagai karyawan. Beberapa ada yang sudah diterima dan sekarang sedang menjalani pelatihan khusus.

Semoga saja pembangunan pabrik-pabrik itu menjadi starting point bagi kebangkitan kabupaten Grobogan dan tingkat kemakmuran masyarakat ke arah yang lebih baik. Alfatihah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Resensi Novel Akik dan Penghimpun Senja

coretan tentang hujan dan masa kecil