Gender dan Kegagalan Sosialisme
Gender dan Kegagalan Sosialisme
* Oleh Junaidi Abdul Munif
MENGAPA Uni Soviet runtuh dan terpecah menjadi beberapa negara? Jawabnya bisa beragam. Namun, beberapa waktu lalu saya menemukan fakta yang menarik yang jarang terekspos ke publik.Mikhail Gorbachev, sang pemimpin terakhir era Komunisme Uni Soviet, dalam catatannya, glasnost dan perestroika, membeberkan fakta bahwa kegagalan sosialisme (sosialisme) antara lain dipicu karena masuknya perempuan dalam sektor publik.
Apakah sektor publik itu? Ternyata bidang pekerjaan kasar, yang lebih pas dilakukan oleh laki-laki ketimbang perempuan. Dia mencontohkan banyaknya perempuan yang terlibat aktif dalam dunia industri sebagai teknisi (pekerja lapangan).Dia menyalahkan ide-ide kesetaraan gender yang didengungkan para feminis barat; perempuan adalah sama dengan laki-laki dalam kaitannya eksistensi dalam ruang publik.
Eksistensi perempuan ke ruang publik sebagai manifestasi wacana gender barat harus dibayar mahal dengan rapuhnya sendi-sendi harmonisasi keluarga. Puncaknya, bak bom waktu, Uni Soviet yang digdaya iu harus terpecah-belah.
Membincangkan gender dalam konteks Indonesia memang menarik. Setidaknya ada dua faktor. Pertama kenyataan Indonesia adalah negara berkembang yang sekarang sarat masalah sosial berkaitan dengan isu perempuan. Kedua, fakta bahwa Indonesia adalah negara dengan budaya timur; Islam dan Jawa sebagai dua entitas gigantis yang memiliki pengaruh tak terbantahkan.
Katakanlah ada pertarungan isu gender antara dua ’’mazhab’’. Mazhab Barat yang cenderung sekula-ristis dan mazhab Timur yang diwakili kaum Islam tekstual itu bertarung menawarkan definisi kesetaraan gender serta nilai-nilai solutif yang bisa mengangkat harkat dan martabat perempuan Indonesia.
Harus diakui, memang banyak ketimpangan yang dialami perempuan di Indonesia. KDRT, hak-hak buruh, dan penempatannya sebagai makhluk subordinat adalah isu-isu yang selalu mengemuka dalam perbincangan seputar gender.
Celakanya, feminis yang berkiblat ke Barat cenderung menganggap doktrin Islam dan kultur Jawa sebagai ’’biang keladi’’ penindasan terhadap perempuan. Padahal jika mengkaji Islam secara komprehensif, Islam sangat menjunjung tinggi wanita tanpa mendistorsi peran mereka di hadapan publik.
Setidaknya dalam kajian historis, pada masa Rasulullah SAW, perempuan sangat dijunjung tinggi. Misalnya, Rasulullah memutuskan bahwa perempuan juga memiliki majelis taklim sendiri. Sebelumnya hanya didominasi sahabat laki-laki (KH Chotib Umar sebagaimana dikutip Syafiq Hasyim dalam bukunya Hal-Hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam: 2001).
Menimbang Gorbachev
Jika melacak sejarah ide kesetaraan gender di Barat, justru yang terjadi adalah upaya dekonstruksi sistem nilai yang telah dikonstruksi filsafat dan agama-agama di barat.Aristoteles, filsuf paling berpengaruh dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan humaniora, mendefinisikan perempuan sebagai makhluk subordinat. Hubungan laki-laki dan perempuan adalah hubungan majikan dan bawahan.
Apa yang dikatakan Gorbachev adalah koreksi bagi kita semua. Bahwa Barat yang telanjur identik dengan modernisme tak selamanya menawarkan gagasan yang brilian. Selama ini kita silap oleh pesona feminisme a la Barat yang dianggap sebagai solusi terbaik untuk memecahkan masalah gender di Indonesia.
Membaca ”kejelekan” Barat dengan kacamata mereka tentu sangat sedikit terjadi. Selama ini, Barat dan Timur identik dengan persaingan, seperti disitir Huntington dalam tesisnya yang telah menjadi klasik; clash of civilization (benturan peradaban).
Lewat analisis Gorbachev, kita menjadi tahu, ada kesalahan substansial ketika menggulirkan wacana kesetaraan gender. Alih-alih ingin mengangkat harkat dan martabat perempuan karena ”tuntutan” modernitas; yang terjadi adalah marginalisasi perempuan dari kodrat asalinya.
Catatan Gorbachev tentang kegagalan sosialisme adalah parameter untuk mencari wacana tandingan kesetaraan gender dari Amerika Serikat yang telah lama menjadi musuh Uni Soviet.Namun, kapitalisme yang diusung Amerika juga setali tiga uang. Mereka menempatkan perempuan dalam posisi yang laik dan terhormat. Perempuan masih saja termarjinalisasi dari kodrat asalinya. Ia kini menjadi komersialisasi produk yang dibungkus dengan ide nilai-nilai egalitarian dan modernitas.
* Oleh Junaidi Abdul Munif
MENGAPA Uni Soviet runtuh dan terpecah menjadi beberapa negara? Jawabnya bisa beragam. Namun, beberapa waktu lalu saya menemukan fakta yang menarik yang jarang terekspos ke publik.Mikhail Gorbachev, sang pemimpin terakhir era Komunisme Uni Soviet, dalam catatannya, glasnost dan perestroika, membeberkan fakta bahwa kegagalan sosialisme (sosialisme) antara lain dipicu karena masuknya perempuan dalam sektor publik.
Apakah sektor publik itu? Ternyata bidang pekerjaan kasar, yang lebih pas dilakukan oleh laki-laki ketimbang perempuan. Dia mencontohkan banyaknya perempuan yang terlibat aktif dalam dunia industri sebagai teknisi (pekerja lapangan).Dia menyalahkan ide-ide kesetaraan gender yang didengungkan para feminis barat; perempuan adalah sama dengan laki-laki dalam kaitannya eksistensi dalam ruang publik.
Eksistensi perempuan ke ruang publik sebagai manifestasi wacana gender barat harus dibayar mahal dengan rapuhnya sendi-sendi harmonisasi keluarga. Puncaknya, bak bom waktu, Uni Soviet yang digdaya iu harus terpecah-belah.
Membincangkan gender dalam konteks Indonesia memang menarik. Setidaknya ada dua faktor. Pertama kenyataan Indonesia adalah negara berkembang yang sekarang sarat masalah sosial berkaitan dengan isu perempuan. Kedua, fakta bahwa Indonesia adalah negara dengan budaya timur; Islam dan Jawa sebagai dua entitas gigantis yang memiliki pengaruh tak terbantahkan.
Katakanlah ada pertarungan isu gender antara dua ’’mazhab’’. Mazhab Barat yang cenderung sekula-ristis dan mazhab Timur yang diwakili kaum Islam tekstual itu bertarung menawarkan definisi kesetaraan gender serta nilai-nilai solutif yang bisa mengangkat harkat dan martabat perempuan Indonesia.
Harus diakui, memang banyak ketimpangan yang dialami perempuan di Indonesia. KDRT, hak-hak buruh, dan penempatannya sebagai makhluk subordinat adalah isu-isu yang selalu mengemuka dalam perbincangan seputar gender.
Celakanya, feminis yang berkiblat ke Barat cenderung menganggap doktrin Islam dan kultur Jawa sebagai ’’biang keladi’’ penindasan terhadap perempuan. Padahal jika mengkaji Islam secara komprehensif, Islam sangat menjunjung tinggi wanita tanpa mendistorsi peran mereka di hadapan publik.
Setidaknya dalam kajian historis, pada masa Rasulullah SAW, perempuan sangat dijunjung tinggi. Misalnya, Rasulullah memutuskan bahwa perempuan juga memiliki majelis taklim sendiri. Sebelumnya hanya didominasi sahabat laki-laki (KH Chotib Umar sebagaimana dikutip Syafiq Hasyim dalam bukunya Hal-Hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam: 2001).
Menimbang Gorbachev
Jika melacak sejarah ide kesetaraan gender di Barat, justru yang terjadi adalah upaya dekonstruksi sistem nilai yang telah dikonstruksi filsafat dan agama-agama di barat.Aristoteles, filsuf paling berpengaruh dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan humaniora, mendefinisikan perempuan sebagai makhluk subordinat. Hubungan laki-laki dan perempuan adalah hubungan majikan dan bawahan.
Apa yang dikatakan Gorbachev adalah koreksi bagi kita semua. Bahwa Barat yang telanjur identik dengan modernisme tak selamanya menawarkan gagasan yang brilian. Selama ini kita silap oleh pesona feminisme a la Barat yang dianggap sebagai solusi terbaik untuk memecahkan masalah gender di Indonesia.
Membaca ”kejelekan” Barat dengan kacamata mereka tentu sangat sedikit terjadi. Selama ini, Barat dan Timur identik dengan persaingan, seperti disitir Huntington dalam tesisnya yang telah menjadi klasik; clash of civilization (benturan peradaban).
Lewat analisis Gorbachev, kita menjadi tahu, ada kesalahan substansial ketika menggulirkan wacana kesetaraan gender. Alih-alih ingin mengangkat harkat dan martabat perempuan karena ”tuntutan” modernitas; yang terjadi adalah marginalisasi perempuan dari kodrat asalinya.
Catatan Gorbachev tentang kegagalan sosialisme adalah parameter untuk mencari wacana tandingan kesetaraan gender dari Amerika Serikat yang telah lama menjadi musuh Uni Soviet.Namun, kapitalisme yang diusung Amerika juga setali tiga uang. Mereka menempatkan perempuan dalam posisi yang laik dan terhormat. Perempuan masih saja termarjinalisasi dari kodrat asalinya. Ia kini menjadi komersialisasi produk yang dibungkus dengan ide nilai-nilai egalitarian dan modernitas.
Komentar