grenengan nasionalisme

Oleh Junaidi Abdul Munif
Sabtu malam, menjelang 17 Agustus, saat banyak seremoni yang digelar tiap RT, terlibat diskusi menarik dengan seorang kawan. Sambil menyaksikan meriahnya acara tujuh belasan yang digelar sebuah RT di sekitar pesantren kami, kami mulai membicangkan peristiwa yang terjadi di sana.

Kompleks itu adalah kompleks perumahan yang cukup megah. Sebagai identitas dari sebuah kawasan urban, karena memang sangat sedikit orang yang tinggal di situ merupakan warga asli, kami mempertanyakan mengapa warga begitu antusias menjalani seremoni tahunan itu.

Sengaja mempertanyakan itu, karena yang dari desa, tak bisa mendapatkan suasana seperti itu. Di mana para orang tua bukan hany datang, tapi terlibat aktif. menyaksikan sendiri para orang tua yang mempersiapkan tempat acara pagi harinya.

Saat pentas, setelah anak menari dan menyanyi, digelarlah hiburan organ tunggal. Mereka mengundang seorang biduan, dan banyak bapak-bapak yang naik panggung dan duet dengan sang biduan.

Lalu sengaja membawa diskusi ke arah individulisme dan komunalisme. Dua hal yang selama ini telanjur digunakan untuk mengidentifikais kehidupan desa dan kota.

Desa adalah komunalisme, kita semua sudah mafhum. Pendapat ini sudah berlangsung selama puluhan tahun. Sedangkan kota adalah individualisme, sebab jarang warganya bersosilisasi. Kehidupan kerja telah menyita waktu mereka, sehingga waktu untuk berkumpul bersama tetangga sekitar sangat minim.

Saya mulai melempar tesis, bahwa mengapa banyak warga kota yang sangat antusias dengan acara-acara seperti itu, karena mereka setiap hari hidup dalam individualisme. Sehingga ketika ada momen yang menuntut komunalisme, mereka menyambutnya dengan antusias. Sebab momen itu jarang terjadi.

Teman membantah. dianggap mengeluarkan tesis yang serampangan. Dia menciptakan antitesis, bahwa itu menunjukkan profesionalitas masyarakat kota yang sangat peduli pada dunia komunalisme.

Menurutnya, di desa, komunalisme telah bergeser ke simbolisme, orang tidak lagi tulus kumpul-kumpul. Yang ada hanyalah perasaan ewuh pada tetangga jika tak ikut menjadi bagian dari komunalisme, entah itu dalam wujud kerja bakti, tetangga punya hak atau lainnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Prie GS; Abu Nawas Zaman Posmo

coretan tentang hujan dan masa kecil