kritik sastra

Kritik Relijiusitas dalam Cerpen Gus Mus



Pada tahun 1950-an, publik sastra Indonesia digemparkan cerpen AA Navis yang bejudul Robohnya Surau Kami. Dengan cepat cerpen ini menjadi perbincangan karena tema yang dosodorkan ”mengejek” sistem keberagamaan (Islam) yang sudah mapan.

Katakanlah, saat itu banyak orang memisahkan antar kahidupan duniawi dan ukhrowi. Kehidupan ukhrowi –dengan meninggalkan kehidupan duniawi, dianggap lebih ”suci” dan mampu mengantarkan umatnya ke surga.

Kini, Gus Mus (KH Mustofa Bisri) meneruskan estafet AA Navis dengan cerpen yang tak jauh beda. Hanya saja, Gus Mus lebih mengekplorasi dunia pesantren di Jawa, dunia tempat kyai ini bergelut dalam keseharian. Dalam cerpen-cerpennya, Gus Mus mengajak kita memahami dunia pesantren dan relijiusitas secara lengkap. Termasuk dunia sufistik yang jarang terekspos ke publik.

Salah satu cerpen Gus Mus yang menarik adalah Amplop Abu-Abu. Cerpen ini mengisahkan seorang mubaligh yang kesehariannya diisi dengan berceramah, menyampaikan taushiyah pada khalayak ramai.

Dakwah di Indonesia selama ini mayoritas adalah dakwah bil lisan. Seorang mubaligh yang memiliki kemampuan orasi baik, sering diundang dalam berbagai acara. Baik pernikahan, khitanan, hari-hari besar Islam dan acara-acara keagamaan lainnya. Gus Mus mengemas cerpen ini dengan idiom khas pesantren. Gus Mus memang juga seorang mubaligh yang sering berdakwah bi lisan, selain dikenal sebagai seniman dan intelektual muslim.

Bisa jadi, ini adalah kritik Gus Mus pada dirinya, yang juga manifestasi kondisi masyarakat (Jawa khususnya). Terminologi amplop, memiliki dimensi yang cukup luas, tak hanya sebagai wujud ucapan terima kasih atau bisyarah dari penyelenggara acara kepada mubaligh. Di sini, isi amplop juga bisa menghadirkna fkultuasi keikhlasan mubaligh.

Dunia kyai, atau dakwah adalah dunia yang menuntut keikhlasan dan semata-mata mengharap ridho Allah SWT dalam amar ma’ruf nahyi munkar. Namun, amplop bisa mendegradasi niat suci itu.

Dalam Amplop Abu-Abu, Gus Mus tentunya hendak mendedahkan sebuah humor. Bahwa dalam sebuah konstruksi dakwah yang sudah mapan bertahun-tahun dan diterima sebagai cara yang paling merakyat, toh cara ini memiliki celah negatif yang bisa dijadikan entry point untuk melakukan rekonstruksi.

Alih-alih mengkritk para audiens (pendengar), yang sering menganggap acara-acara pengajian hanya sebagai seremoni belaka, Gus Mus berani melakukan kritik pada ”kaumnya”, para mubaligh.

Pendengar mungkin hanya akan memasukkan materi dakwah dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri, tapi para mubaligh juga tak sedikit yang lupa pada apa yang ia sampaikan.

Ya, Amplop Abu-Abu adalah gambaran nyata masyarakat kita, yang masih terpesona dengan budaya oral (lisan) dan belum mau bergeser ke budaya literal. Sebuah pola pikir dan sikap yang (mungkin) memunculkan stagnasi dalam keberagamaan kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Tradisi Sound System di Pernikahan

Prie GS; Abu Nawas Zaman Posmo

coretan tentang hujan dan masa kecil