Dilema Hubungan Indonesia-Australia
Potensi Geografis Indonesia-Australia:
Modal Menjadi Macan Asia Pasifik
Esai Junaidi Abdul Munif
Indonesia dan Australia adalah dua negara bertetangga yang sudah menjalin hubungan diplomatik sejak lama. Australia membutuhkan Indonesia, terutama karena hampir seluruh lalu lintas perdagangan yang menuju Australia melewati perairan Indonesia. Sedangkan Indonesia, membutuhkan Australia lebih bernuansa politis, karena bargaining power Australia di mata internasional. Hal ini perlu dilakukan sebagai ujung tombak lobi Indonesia di tengah kebijakan global.
Kedekatan secara geografis, mestinya menjadi titik awal bagi kerja sama yang solid di kawasan pasifik. Secara ekonomi, Indonesia memiliki sumber daya alam (SDA) yang berlimpah. Australia memiliki sumber daya manusia (SDM) yang memadai sebagai aktor intelektual pengelolaan SDA di Indonesia.
Namun, sebagai dua negara yang bertetangga, Indonesia-Australia layaknya dua orang yang bertetangga. Ada konflik sebagai bumbu romantisme hubungan bertetangga. Pernah begitu hebat konflik itu, namun juga tak jarang hanya riak-riak kecil yang menambah kehangatan hubungan keduanya.
Sebetulnya, daftar timbal balik hubungan Indonesia-Australia memunculkan satu pertanyaan, siapa lebih membutuhkan siapa? Apakah Indonesia lebih membutuhkan Australia ketimbang Australia membutuhkan Indonesia. Secara pikiran awam, mungkin tampak bahwa seharusnya Indonesia lebih berkepetingan dengan Australia. Secara ekonomi-politik-sosial, Indonesia dan Australia bagaikan bumi dan langit.
Secara pikiran awam dan permukaan memang bsa terjadi konklusi seperti itu. Tapi fakta menunjukkan bahwa Australia lebih berkepentingan dengan Indonesia. Sebagai analogi, seorang tetangga yang lebih sering mengunjungi tetangga lainnya akan mendapat stigma bahwa ia berkepentingan dengan tetangga yang dikunjunginya. Begitupun Australia. Pemerintah Australia (Perdana Menteri) lebih sering mengunjungi Indonesia dari pada pemerintah Indonesia mengunjungi Australia.
Presiden Soeharto yang memerintah Indonesia selama 32 tahun, tercatat hanya mengunjungi Australia satu kali, tepatnya pada tahun 1974. Sementara Gus Dur yang relatif lebih singkat memerintah Indonesia, mengunjungi Australia selama lima hari, tepatnya pada 25 Juni 2001. Ini bisa dianggap sebagai sinyal ”ketidakpedulian” Indonesia terhadap Australia.
Sejak orde baru, benih-benih ketidakharmonisan mulai tampak ketika pers Australia mengkritik Presiden Soeharto. Presiden Soeharto pun kebakaran jenggot, lantas mengirim utusan, yakni Dubes RI August Marpaung menemui Menlu Australia Bill Hayden untuk membicarakan artikel yang ditulis David Jenkins dan dimuat di The Sidney Morning Heradl (10 April 1986).
Ya, sejak orde baru memang banyak terjadi konflik Indonesia-Australia. Namun, konflik hanya masalah ”sepele”. Bahkan pernah untuk merekatkan hubungan Indonesia-Australia, Indonesia mengundang artis Australia, Rebecca Gilling, pemeran Stephanie dalam serial Return to Eden. Ketika tiba di bandara sambutan masyarakat kita sangat antusias.
Sebuah cara yang aneh, saya kira, untuk merekatkan hubungan diplomatik dua negara besar yang sarat kepentingan. Hal ini bisa dibaca, bahwa pemerintah Indonesia lebih konsentrasi (atau terkecoh?) pada hal-hal yang bersifat artifisial, dari pada yang substansial. Bukan pada agenda kebangsaan demi kesejahteraan rakyat.
Ketika pihak Australia lebih sering mengirim pemerintahnya ke Indonesia, kita tak menangkap maksud di balik pengiriman itu. Yang diketahui hanyalah sebatas kunjungan kenegaran biasa antara dua negara yang saling berdekatan. Orang Indonesia, yang terbiasa dengan husnuzzon, mungkin hanya menganggap itu adalah silaturahmi biasa yang tak memiliki motif politik-ekonomi.
Perbedaan kultur dan cara pandang inilah yang sering membuat kita kalah bertarung dalam iklim persaingan global, terutama menyangkut kebijakan luar negeri. Sebagai contoh, faktor ras, bahasa, rumpun, dan sesama melayu tak cukup ampuh untuk membuat Malaysia bertindak semena-mena terhadap Indonesia. Klaim pulau dan kebudayaan oleh Malaysia adalah imbas karena kita telanjur menganggap mereka sebagai saudara serumpun, sama-sama melayu.
Artikel yang ditulis David Jenkins, saya rasa hanya sebuah test case untuk ”menguji” karakter Indonesia. Dan memang terbukti, hal itu cukup ampuh untuk merapuhkan hubungan diplomatik. Karena sifatnya yang artifisal dan permukaan, maka penyelesaian yang juga secara artifisial telah dianggap cukup untuk meredam konflik tersebut.
Campur Tangan Australia
Indonesia di tangan Soeharto cukup disegani di mata Internasional. Politik represif di dalam negeri turut menyumbangkan kewibawaan Indonesia di antara negara lain. Meski bisa disebut sebagai kewibawaan semu karena pintarnya Indonesia menjaga image di mata internasional, serta perspektif global terhadap Indonesia yang disaring pers sehingga masyarakat menerima yang baik-baik saja tentang Indoensia. Kondisi ini membuat negara-negara lain, terutama Australia, perlu waktu yang lama untuk mempelajari kondisi sosial-politik Indonesia.
Kebijakan Australia tentang politik luar negeri, terutama menyangkut Indonesia berubah-rubah. Isu Timtim adalah isu yang terus bergolak bahkan menjadi komoditas isu politik dalam negeri Australia. Awalnya Australia mengakui Timtim sebagai bagian syah dari NKRI. Tapi Australia mengalami inkonsistensi kebijakan politik luar negeri.
Sejak John Howard menjadi PM Australia menggantikan Paul Keating pada 1996, isu Timtim kembali menyeruak. Secara umum hubungan RI-Australia baik, namun kembali ternodai dengan statement Indonesia harus memberikan kemerdekaan pada Timtim. Benih keretakan semakin gawat.
Dan itu terbukti pada 1999, ketika Timor-Timur lepas dari Indonesia, adalah juga karena lobi John Howard kepada BJ Habibie, presiden Indonesia waktu itu. Menlu Ali Alatas beserta Mendagri Muhammad Yunus pada 27 Januari mengatakan bahwa keputusan melepaskan Timor Timur diawali disposisi BJ Habibie setelah menanggapi surat yang dikirim PM Australia John Howard beberapa waktu sebelumnya.
Saya rasa, ini adalah akibat jangka panjang ketika pada masa Presiden Seoharto kita lebih banyak terpesona pada hal-hal yang bersifat artifisial. Maka ketika tampuk kepemimpinan dipegang BJ Habibie, Indonesia saat itu baru mengalami shock berat, baik karena hantaman badai krisis moneter-ekonomi maupun sosial-politik pasca reformasi. Posisi tawar kita dalam posisi lemah saat itu. Secara psikologis, BJ Habibie pun tak bisa ”berpikir jernih” dengan keputusan untuk melakukan jajak pendapat tentang mengenai masa depan Timtim.
Tampak sekali bahwa Australia sangat ngotot dengan isu Timtim. Sebetulnya, ada dua negara yang berkepentingan soal Timtim. Pertama adalah Portugal dan Australia. Portugal punya sejarah panjang penjajahan di situ dan berhasil meninggalkan jejak kultural: bahasa. Namun, Australia berhasil mengendalikan isu Timtim karena kedekatan dengan PBB, dalam hal ini peran Amerika tak bisa dipandang remeh.
Secara ekonomi, Australia berkepentingan dengan cadangan minyak bumi yang melimpah di perbatasan Timtim dan Australia. Secara politik, sebagai identitas super power dan benteng pertahanan dari luar. Ketika Australia sudah memesuki wilayah Timtim, mereka akan mudah memantau gerakan yang mengancam stabilitas negara.
Harus diakui, Australia terlalu banyak campur tangan terhadap kebijakan dalam negeri dan luar negeri Indonesia. Kita tahu, Australia adalah tempat yang nyaman bagi beberapa warga Indonesia yang memiliki masalah politik di dalam negeri. Beberapa warga Papua (saat itu masih Irian Jaya), sempat menikmati keterbukaan Australia sebagai suaka politik ketika hak-hak dan kebebasan politiknya di Indonesia terancam.
Bagi Indonesia, para pencari suaka politik itu adalah “pengkhianat” versi pemerintahan orde baru. Mereka tak jarang dituduh melakukan gerakan makar dan subversif. Ini tentu menimbulkan kesan Australia telah menginjak-injak kedaulatan Indonesia dengan memberi suaka politik bagi warga Indonesia yang bermasalah.
Indonesia kurang bisa membaca hidden agenda (agenda tersembunyi) dari situasi regional maupun internasional. Kita belum bisa seperti Derrida, yang dengan konsep dekonstruksinya, mengajarkan kita untuk tidak mudah percaya apa yang terbcaa dan terus berusaha mencari makna yang tidak tampak.
Bom Bali: Kepentingan di balik Rahmat
Yang paling memilukan bagi hubungan RI-Australia tentu saja adalah tragedi Bom Bali pada 12 Oktober 2002. Banyak warga Australia yang jadi korban. Indonesia dicap sebagai negara sarang teroris dan tidak aman. Maka banyak negara memberlakukan larangan warganya untuk berkunjung ke Indonesia. Indonesia seperti kebakaran jenggot, bagai anak kecil yang disulut emosi, ia membalas melakukan sweeping terhadap warga Australia.
Bom Bali adalah rahmat di balik bencana (blessing in disguise). Karena peristiwa ini merekatkan kembali hubungan RI-Australia yang sempat merenggang pasca jajak pendapat Timtim. Peristiwa itu telah meneguhkan komitmen bersama untuk memerangi terorisme global yang dimotori Al Qaeda.
Tahun 2003, tepatnya di hotel JW Marriot, bom kembali meledak. RI-Australia semakin meneguhkan komitmennya untuk bahu membahu memerngi terorisme global. Terlebih, setelah otak Bom Bali tertangkap, tuduhan bahwa teorisme di Indonesia memiliki hubungan dengan Al Qaeda mendapat pembenaran. Argumentasi ini diperkuat dengan latar belakang Imam Samudra dan kawan-kawan yang alumni Afganistan, sebuah negara yang dikenal sebagai basis Al Qaeda.
Secara silaturahmi, bahwa ada rahmat di balik bencana mungkin benar. Tapi secara independensi, keamanan (Polri) RI mulai dicampuri Australia. Polisi Australia mulai ”bergerilya” di Indonesia, berkelindan di antara lalu lalang Polri. Bahkan setelah itu, ketika di Indonesia mengalami masalah keamanan, akan ada polisi Australia di sana.
Dengan dalih kemampuan polisi Indonesia yang belum maksimal, dan standar operasional yang masih jauh dari harapan, menjadi alasan Australia untuk terlibat jauh dalam pengamanan di Indonesia. Kedua lembaga ini bekerjasa sama memburu teroris yang menjadi target utama.
Sejauh tidak ada intervensi, karena operasi dilakukan dalam teritorial Indonesia, mungkin tidak masalah. Namun, pers yang menyiarkan kerja sama keamanan ini, pelan namun pasti akan membentuk opini publik di dunia internasional. Bahwa kepolisian Indonesia belum profesional dan membutuhkan kepolisian Australia untuk menangani masalah dalam negeri.
Jika opini ini dibiarkan terus menggelinding, bahaya bagi nama baik Indonesia di mata internasional. Kepercayaan internasional akan keamanan di Indonesia runtuh. Meski fakta menunjukan bahwa banyak gembong terorisme yang akhirnya berhasil tertangkap oleh Polri. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang sampai sekarang belum berhasil menemukan Osama bin Laden sejak 2001, meski Afganistan sudah porak poranda.
Potensi Menjadi Macan Asia Pasifik
Timtim yang pada akhirnya menjadi negara bernama Timor Leste yang berdaulat penuh adalah cacatan buram hubungan Indonesia-Australia. Namun, seperti kata Milan Kundera, perjuangan manusia paling berat adalah melawan lupa. Kita tak bisa begitu mudah melupakan sejarah yang telanjur tergores itu. Apakah harus direkonstruksi lagi supaya Timor Leste kembali ke pangakuan Ibu Pertiwi?
Yang paling penting adalah merekonstruksi hubungan bilateral Indonesia-Australia. Bagaimana ke depan, hubungan kerja sama keduanya tak berimbas diisntegrasi di Indonesia. Sebagai tetangga, Australia selayakanya ikut menjaga keutuhan keluarga tetangganya yang sedang didera ancaman perpecahan.
Jika melihat fakta seperti itu, semesitnya kedua negara menyadari posisinya masing-masing. Indonesia adalah negara merdeka yang berdaulat penuh atas dirinya sendiri. Begitupun Australia. Kerja sama keduanya harus diarahkan untuk perbaikan kondisi sosial, ekonomi, budaya, pendidikan dan politik yang kondusif.
Kondisi geografis yang berdekatan menjadi modal berharga untuk menjalin kerja sama ini. Banyak keuntungan yang didapat dari kondisi geografis ini. Dalam segi ekonomi, jarak yang dekat otomatis akan menurunkan biaya transportasi pengiriman barang ekspor-impor.
Sebagai Eropanya Asia, pelajar kita semestinya tak perlu belajar sampai jauh ke Eropa. Kultur, bahasa, dan model pendidikan di Australia hampir sama dengan yang ada di Eropa. Sebaliknya, Australia bisa menjadikan Indonesia sebagai basis untuk mempelajari nilai-nilai wisdom dan spiritualitas khas Timur.
Hal ini perlu, karena secara kultural, Indonesia dan Australia mewakili dua kutub peradaban yang berbeda. Indonesia adalah reprsentasi timur, sedangkan Australia adalah representasi barat yang rasional. Kedua kultur ini jika disatukan akan menghasilkan entitas baru, yang rasional sekaligus religius.
Harapanya, sinergi keduanya akan menjadikan macan Asia pasifik, yang kuat secara ekonomi, politik dan budaya. Memiliki nilai tawar dalam politik internasional. Semoga.
Modal Menjadi Macan Asia Pasifik
Esai Junaidi Abdul Munif
Indonesia dan Australia adalah dua negara bertetangga yang sudah menjalin hubungan diplomatik sejak lama. Australia membutuhkan Indonesia, terutama karena hampir seluruh lalu lintas perdagangan yang menuju Australia melewati perairan Indonesia. Sedangkan Indonesia, membutuhkan Australia lebih bernuansa politis, karena bargaining power Australia di mata internasional. Hal ini perlu dilakukan sebagai ujung tombak lobi Indonesia di tengah kebijakan global.
Kedekatan secara geografis, mestinya menjadi titik awal bagi kerja sama yang solid di kawasan pasifik. Secara ekonomi, Indonesia memiliki sumber daya alam (SDA) yang berlimpah. Australia memiliki sumber daya manusia (SDM) yang memadai sebagai aktor intelektual pengelolaan SDA di Indonesia.
Namun, sebagai dua negara yang bertetangga, Indonesia-Australia layaknya dua orang yang bertetangga. Ada konflik sebagai bumbu romantisme hubungan bertetangga. Pernah begitu hebat konflik itu, namun juga tak jarang hanya riak-riak kecil yang menambah kehangatan hubungan keduanya.
Sebetulnya, daftar timbal balik hubungan Indonesia-Australia memunculkan satu pertanyaan, siapa lebih membutuhkan siapa? Apakah Indonesia lebih membutuhkan Australia ketimbang Australia membutuhkan Indonesia. Secara pikiran awam, mungkin tampak bahwa seharusnya Indonesia lebih berkepetingan dengan Australia. Secara ekonomi-politik-sosial, Indonesia dan Australia bagaikan bumi dan langit.
Secara pikiran awam dan permukaan memang bsa terjadi konklusi seperti itu. Tapi fakta menunjukkan bahwa Australia lebih berkepentingan dengan Indonesia. Sebagai analogi, seorang tetangga yang lebih sering mengunjungi tetangga lainnya akan mendapat stigma bahwa ia berkepentingan dengan tetangga yang dikunjunginya. Begitupun Australia. Pemerintah Australia (Perdana Menteri) lebih sering mengunjungi Indonesia dari pada pemerintah Indonesia mengunjungi Australia.
Presiden Soeharto yang memerintah Indonesia selama 32 tahun, tercatat hanya mengunjungi Australia satu kali, tepatnya pada tahun 1974. Sementara Gus Dur yang relatif lebih singkat memerintah Indonesia, mengunjungi Australia selama lima hari, tepatnya pada 25 Juni 2001. Ini bisa dianggap sebagai sinyal ”ketidakpedulian” Indonesia terhadap Australia.
Sejak orde baru, benih-benih ketidakharmonisan mulai tampak ketika pers Australia mengkritik Presiden Soeharto. Presiden Soeharto pun kebakaran jenggot, lantas mengirim utusan, yakni Dubes RI August Marpaung menemui Menlu Australia Bill Hayden untuk membicarakan artikel yang ditulis David Jenkins dan dimuat di The Sidney Morning Heradl (10 April 1986).
Ya, sejak orde baru memang banyak terjadi konflik Indonesia-Australia. Namun, konflik hanya masalah ”sepele”. Bahkan pernah untuk merekatkan hubungan Indonesia-Australia, Indonesia mengundang artis Australia, Rebecca Gilling, pemeran Stephanie dalam serial Return to Eden. Ketika tiba di bandara sambutan masyarakat kita sangat antusias.
Sebuah cara yang aneh, saya kira, untuk merekatkan hubungan diplomatik dua negara besar yang sarat kepentingan. Hal ini bisa dibaca, bahwa pemerintah Indonesia lebih konsentrasi (atau terkecoh?) pada hal-hal yang bersifat artifisial, dari pada yang substansial. Bukan pada agenda kebangsaan demi kesejahteraan rakyat.
Ketika pihak Australia lebih sering mengirim pemerintahnya ke Indonesia, kita tak menangkap maksud di balik pengiriman itu. Yang diketahui hanyalah sebatas kunjungan kenegaran biasa antara dua negara yang saling berdekatan. Orang Indonesia, yang terbiasa dengan husnuzzon, mungkin hanya menganggap itu adalah silaturahmi biasa yang tak memiliki motif politik-ekonomi.
Perbedaan kultur dan cara pandang inilah yang sering membuat kita kalah bertarung dalam iklim persaingan global, terutama menyangkut kebijakan luar negeri. Sebagai contoh, faktor ras, bahasa, rumpun, dan sesama melayu tak cukup ampuh untuk membuat Malaysia bertindak semena-mena terhadap Indonesia. Klaim pulau dan kebudayaan oleh Malaysia adalah imbas karena kita telanjur menganggap mereka sebagai saudara serumpun, sama-sama melayu.
Artikel yang ditulis David Jenkins, saya rasa hanya sebuah test case untuk ”menguji” karakter Indonesia. Dan memang terbukti, hal itu cukup ampuh untuk merapuhkan hubungan diplomatik. Karena sifatnya yang artifisal dan permukaan, maka penyelesaian yang juga secara artifisial telah dianggap cukup untuk meredam konflik tersebut.
Campur Tangan Australia
Indonesia di tangan Soeharto cukup disegani di mata Internasional. Politik represif di dalam negeri turut menyumbangkan kewibawaan Indonesia di antara negara lain. Meski bisa disebut sebagai kewibawaan semu karena pintarnya Indonesia menjaga image di mata internasional, serta perspektif global terhadap Indonesia yang disaring pers sehingga masyarakat menerima yang baik-baik saja tentang Indoensia. Kondisi ini membuat negara-negara lain, terutama Australia, perlu waktu yang lama untuk mempelajari kondisi sosial-politik Indonesia.
Kebijakan Australia tentang politik luar negeri, terutama menyangkut Indonesia berubah-rubah. Isu Timtim adalah isu yang terus bergolak bahkan menjadi komoditas isu politik dalam negeri Australia. Awalnya Australia mengakui Timtim sebagai bagian syah dari NKRI. Tapi Australia mengalami inkonsistensi kebijakan politik luar negeri.
Sejak John Howard menjadi PM Australia menggantikan Paul Keating pada 1996, isu Timtim kembali menyeruak. Secara umum hubungan RI-Australia baik, namun kembali ternodai dengan statement Indonesia harus memberikan kemerdekaan pada Timtim. Benih keretakan semakin gawat.
Dan itu terbukti pada 1999, ketika Timor-Timur lepas dari Indonesia, adalah juga karena lobi John Howard kepada BJ Habibie, presiden Indonesia waktu itu. Menlu Ali Alatas beserta Mendagri Muhammad Yunus pada 27 Januari mengatakan bahwa keputusan melepaskan Timor Timur diawali disposisi BJ Habibie setelah menanggapi surat yang dikirim PM Australia John Howard beberapa waktu sebelumnya.
Saya rasa, ini adalah akibat jangka panjang ketika pada masa Presiden Seoharto kita lebih banyak terpesona pada hal-hal yang bersifat artifisial. Maka ketika tampuk kepemimpinan dipegang BJ Habibie, Indonesia saat itu baru mengalami shock berat, baik karena hantaman badai krisis moneter-ekonomi maupun sosial-politik pasca reformasi. Posisi tawar kita dalam posisi lemah saat itu. Secara psikologis, BJ Habibie pun tak bisa ”berpikir jernih” dengan keputusan untuk melakukan jajak pendapat tentang mengenai masa depan Timtim.
Tampak sekali bahwa Australia sangat ngotot dengan isu Timtim. Sebetulnya, ada dua negara yang berkepentingan soal Timtim. Pertama adalah Portugal dan Australia. Portugal punya sejarah panjang penjajahan di situ dan berhasil meninggalkan jejak kultural: bahasa. Namun, Australia berhasil mengendalikan isu Timtim karena kedekatan dengan PBB, dalam hal ini peran Amerika tak bisa dipandang remeh.
Secara ekonomi, Australia berkepentingan dengan cadangan minyak bumi yang melimpah di perbatasan Timtim dan Australia. Secara politik, sebagai identitas super power dan benteng pertahanan dari luar. Ketika Australia sudah memesuki wilayah Timtim, mereka akan mudah memantau gerakan yang mengancam stabilitas negara.
Harus diakui, Australia terlalu banyak campur tangan terhadap kebijakan dalam negeri dan luar negeri Indonesia. Kita tahu, Australia adalah tempat yang nyaman bagi beberapa warga Indonesia yang memiliki masalah politik di dalam negeri. Beberapa warga Papua (saat itu masih Irian Jaya), sempat menikmati keterbukaan Australia sebagai suaka politik ketika hak-hak dan kebebasan politiknya di Indonesia terancam.
Bagi Indonesia, para pencari suaka politik itu adalah “pengkhianat” versi pemerintahan orde baru. Mereka tak jarang dituduh melakukan gerakan makar dan subversif. Ini tentu menimbulkan kesan Australia telah menginjak-injak kedaulatan Indonesia dengan memberi suaka politik bagi warga Indonesia yang bermasalah.
Indonesia kurang bisa membaca hidden agenda (agenda tersembunyi) dari situasi regional maupun internasional. Kita belum bisa seperti Derrida, yang dengan konsep dekonstruksinya, mengajarkan kita untuk tidak mudah percaya apa yang terbcaa dan terus berusaha mencari makna yang tidak tampak.
Bom Bali: Kepentingan di balik Rahmat
Yang paling memilukan bagi hubungan RI-Australia tentu saja adalah tragedi Bom Bali pada 12 Oktober 2002. Banyak warga Australia yang jadi korban. Indonesia dicap sebagai negara sarang teroris dan tidak aman. Maka banyak negara memberlakukan larangan warganya untuk berkunjung ke Indonesia. Indonesia seperti kebakaran jenggot, bagai anak kecil yang disulut emosi, ia membalas melakukan sweeping terhadap warga Australia.
Bom Bali adalah rahmat di balik bencana (blessing in disguise). Karena peristiwa ini merekatkan kembali hubungan RI-Australia yang sempat merenggang pasca jajak pendapat Timtim. Peristiwa itu telah meneguhkan komitmen bersama untuk memerangi terorisme global yang dimotori Al Qaeda.
Tahun 2003, tepatnya di hotel JW Marriot, bom kembali meledak. RI-Australia semakin meneguhkan komitmennya untuk bahu membahu memerngi terorisme global. Terlebih, setelah otak Bom Bali tertangkap, tuduhan bahwa teorisme di Indonesia memiliki hubungan dengan Al Qaeda mendapat pembenaran. Argumentasi ini diperkuat dengan latar belakang Imam Samudra dan kawan-kawan yang alumni Afganistan, sebuah negara yang dikenal sebagai basis Al Qaeda.
Secara silaturahmi, bahwa ada rahmat di balik bencana mungkin benar. Tapi secara independensi, keamanan (Polri) RI mulai dicampuri Australia. Polisi Australia mulai ”bergerilya” di Indonesia, berkelindan di antara lalu lalang Polri. Bahkan setelah itu, ketika di Indonesia mengalami masalah keamanan, akan ada polisi Australia di sana.
Dengan dalih kemampuan polisi Indonesia yang belum maksimal, dan standar operasional yang masih jauh dari harapan, menjadi alasan Australia untuk terlibat jauh dalam pengamanan di Indonesia. Kedua lembaga ini bekerjasa sama memburu teroris yang menjadi target utama.
Sejauh tidak ada intervensi, karena operasi dilakukan dalam teritorial Indonesia, mungkin tidak masalah. Namun, pers yang menyiarkan kerja sama keamanan ini, pelan namun pasti akan membentuk opini publik di dunia internasional. Bahwa kepolisian Indonesia belum profesional dan membutuhkan kepolisian Australia untuk menangani masalah dalam negeri.
Jika opini ini dibiarkan terus menggelinding, bahaya bagi nama baik Indonesia di mata internasional. Kepercayaan internasional akan keamanan di Indonesia runtuh. Meski fakta menunjukan bahwa banyak gembong terorisme yang akhirnya berhasil tertangkap oleh Polri. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang sampai sekarang belum berhasil menemukan Osama bin Laden sejak 2001, meski Afganistan sudah porak poranda.
Potensi Menjadi Macan Asia Pasifik
Timtim yang pada akhirnya menjadi negara bernama Timor Leste yang berdaulat penuh adalah cacatan buram hubungan Indonesia-Australia. Namun, seperti kata Milan Kundera, perjuangan manusia paling berat adalah melawan lupa. Kita tak bisa begitu mudah melupakan sejarah yang telanjur tergores itu. Apakah harus direkonstruksi lagi supaya Timor Leste kembali ke pangakuan Ibu Pertiwi?
Yang paling penting adalah merekonstruksi hubungan bilateral Indonesia-Australia. Bagaimana ke depan, hubungan kerja sama keduanya tak berimbas diisntegrasi di Indonesia. Sebagai tetangga, Australia selayakanya ikut menjaga keutuhan keluarga tetangganya yang sedang didera ancaman perpecahan.
Jika melihat fakta seperti itu, semesitnya kedua negara menyadari posisinya masing-masing. Indonesia adalah negara merdeka yang berdaulat penuh atas dirinya sendiri. Begitupun Australia. Kerja sama keduanya harus diarahkan untuk perbaikan kondisi sosial, ekonomi, budaya, pendidikan dan politik yang kondusif.
Kondisi geografis yang berdekatan menjadi modal berharga untuk menjalin kerja sama ini. Banyak keuntungan yang didapat dari kondisi geografis ini. Dalam segi ekonomi, jarak yang dekat otomatis akan menurunkan biaya transportasi pengiriman barang ekspor-impor.
Sebagai Eropanya Asia, pelajar kita semestinya tak perlu belajar sampai jauh ke Eropa. Kultur, bahasa, dan model pendidikan di Australia hampir sama dengan yang ada di Eropa. Sebaliknya, Australia bisa menjadikan Indonesia sebagai basis untuk mempelajari nilai-nilai wisdom dan spiritualitas khas Timur.
Hal ini perlu, karena secara kultural, Indonesia dan Australia mewakili dua kutub peradaban yang berbeda. Indonesia adalah reprsentasi timur, sedangkan Australia adalah representasi barat yang rasional. Kedua kultur ini jika disatukan akan menghasilkan entitas baru, yang rasional sekaligus religius.
Harapanya, sinergi keduanya akan menjadikan macan Asia pasifik, yang kuat secara ekonomi, politik dan budaya. Memiliki nilai tawar dalam politik internasional. Semoga.
Komentar